“Alarm” Keberlangsungan Arisan di Indonesia
Kasus penipuan arisan bukanlah kasus baru yang terjadi di Indonesia, sudah berderet kasus ini memakan uang para korbannya. Namun, siapa yang bisa disalahkan dari permasalahan ini? Hingga kini, tidak ada aturan resmi yang mengikat keberlangsungan “arisan”.
Arisan online, Arisan nabung, Arisan lelang, Arisan bunga, Arisan get.
Mungkin, sebagian orang sudah tak asing dengan istilah dari berbagai jenis arisan tersebut. Jika dahulu, arisan identik dengan menabung lalu membagikan hasilnya di setiap bulan dengan berkumpul bersama, kini permainan arisan berkembang pesat dengan berbagai jenis dan mekanisme yang diterapkan oleh “pelakunya” atau yang biasa disebut dengan admin arisan.
Mempercayakan dan menitipkan uang kepada seseorang tentu dilandasi oleh kepercayaan. Namun, tidak ada yang tahu kapan kepercayaan itu akan tetap dijaga, oleh karena itu bersikap skeptis dan memastikan semua “terjamin” dengan aman sudah seharusnya dilakukan oleh para penggiat arisan.
Hancurnya kepercayaan turut dialami oleh para korban arisan yang sempat ramai di media sosial hingga media massa beberapa waktu lalu.
“Viral Arisan Bodong Diduga Pelaku Mahasiswi Asal Bandung”, “Penipuan Lelang Arisan di Bandung”, “Korban Penipuan Arisan Bodong di Bandung Laporkan Pelaku”, “Penipuan Arisan, Total Kerugian hingga Miliaran”.
Ini merupakan headline berita seputar kasus lelang arisan yang terjadi di Kota Bandung beberapa waktu lalu. Terduga pelaku JZF (20) yang masih berstatus sebagai mahasiswa Universitas Islam Bandung (UNISBA) turut menambah atensi masyarakat terkait perkembangan kasus ini.
Siapa sangka meski sudah ramai mendapatkan atensi masyarakat tidak menjadikan kasus ini cepat selesai antara terduga pelaku dengan para korbannya. Hingga kini, masih ada korban yang terus berusaha dan menanti uangnya kembali.
Akses untuk menghubungi terduga pelaku sulit dilakukan oleh para korban, tidak sederhananya proses hukum dan buramnya pengetahuan akan sistem dan aturan terkait arisan pun menjadi alasan korban untuk mundur dan “mengikhlaskan” uang mereka. Hal ini tidak hanya terjadi pada kasus lelang arisan JZF, tetapi turut dilakukan para korban kasus-kasus penipuan arisan lainnya.
Lalu, bagaimana dengan terduga pelaku? Menurut Kepala Bagian Humas UNISBA Firmansyah, terduga pelaku dikatakan juga merupakan korban, yaitu korban ketidaktahuan tentang sistem ekonomi atau investasi bodong.
“Di beberapa investasi saja, keuntungan di atas 10% itu sudah tidak mungkin, paling mentok di 6%. Apa yang dilakukan oleh pelaku dia tidak tahu mengenai sistem ini. Dia merupakan korban dari sistem ekonomi yang dia sendiri sebenarnya tidak paham. Korban dapat dikatakan sebagai pelaku karena ketika berinvestasi dia tau resiko dari investasi tersebut. Seharusnya, secara cerdas dia akan mempertanyakan kenapa keuntungannya bisa segitu besar.”
Namun, hal ini tidak menjadikan terduga pelaku dapat “bebas” dari tanggung jawabnya atas uang para korban. Apalagi terkait “modal” yang diberikan oleh korban.
Berbagai cara dilakukan para korban untuk mendapatkan uangnya kembali, mulai dari cara kekeluargaan hingga jalur hukum pun ditempuh. Namun, dalam prosesnya ternyata kedua cara tersebut tidak berjalan dengan lancar. Berbagai hambatan turut dilalui para korban.
Para korban pun memutuskan untuk mendatangi langsung rumah terduga pelaku, namun tidak berjalan mulus, para korban harus kembali dengan tangan kosong karena sulitnya korban untuk berkomunikasi dengan terduga pelaku maupun keluarganya.
Hingga pada bulan Oktober 2023, korban dan terduga pelaku akhirnya berkomunikasi dan membuat surat perjanjian. Dari pertemuan tersebut, terbentuklah grup Whatsapp yang terdiri dari para korban, sekitar 150 orang. Grup tersebut dibentuk untuk mengetahui siapa saja korban dan nominal kerugian para korban arisan JZF. Namun, grup tersebut hanya terbentuk, tidak sesuai dengan surat perjanjian yang ditandatangani bahwa akan ada ganti rugi yang dilakukan oleh terduga pelaku.
“Salahnya, pas ketahuan awal semua korban ngumpul, nah isi suratnya cuma janji mau ganti, tapi ga ada tanggal waktunya sampai kapan. Dan sempat dipermasalahkan korban dan mau bikin surat ulang. Tapi malah dimarahin sama pihak keluarga JZF dibilang kalau masa harus tandatangan lagi.” ucap A, salah satu korban arisan JZF.
Adanya surat perjanjian tersebut tidak membuat korban-korban dari arisan ini menjadi “tenang”, beberapa korban yang sudah kembali mendapatkan uangnya pun tidak memberikan keterangan lebih lanjut kepada korban yang masih berjuang mendapatkan uangnya kembali. Dapat dikatakan, dalam kasus ini, korban saling berpencar mencari keadilan untuk dirinya masing-masing.
Kronologi Kasus
Pada awalnya, JZF merupakan admin arisan dengan sistem normal atau arisan menabung dimana peserta arisan mendaftar dan hasil arisan dibagikan sesuai dengan ketentuan waktu arisan. Pada saat menerapkan arisan ini semuanya berjalan lancar, dan peserta pun mendapatkan hasil arisannya.
Namun, arisan ini mulai bermasalah ketika JZF menerapkan sistem arisan berbunga/lelang. Arisan lelang merupakan arisan yang dapat dibeli dan akan mendapatkan hasil arisannya dengan jangka waktu yang tidak lama seperti arisan pada umumnya, dalam arisan ini pun pembeli akan mendapatkan untung atau bunga dari arisan tersebut.
Mulanya, beberapa korban percaya untuk mengikuti arisan ini karena beberapa alasan. Seperti, memang sudah mengenal JZF dan mengetahui usaha serta gaya hidup JZF yang terlihat “glamour” sehingga branding yang dibangun tersebut pun membuat beberapa korban yakin untuk mengikuti lelang arisan yang diadakan oleh JZF.
Awalnya, lelang arisan ini pun berjalan lancar. Para korban, di awal mendapatkan uang arisan dan bunga yang sudah ditetapkan. Hal ini pula yang meningkatkan kepercayaan korban untuk ikut kembali lelang arisan yang diadakan oleh JZF. Perputaran uang yang sangat cepat ini awalnya pun diragukan oleh salah satu korban yaitu (A), namun karena memang mengetahui gaya hidup JZF akhirnya korban (A) pun tetap mengikuti lelang arisan ini.
Menurut kesaksian (A), ia mulai mengetahui bahwa telah ditipu ketika akhir bulan September 2023. Seharusnya, di bulan tersebut (A) mendapatkan uang arisannya dengan jumlah 22 juta.
“Harusnya dapat 22 juta, kalau enggak sama bunga 8 juta. Jadi 18 juta modal, dan 4 juta bunga”.
Sadar telah ditipu, dan terduga pelaku tidak bisa dihubungi. Korban (A) pun melaporkan kasus ini ke Polrestabes Bandung, namun korban hanya diberikan konseling dan diarahkan ke Polda karena korban-korban arisan ini bukan hanya dari Bandung. Korban (A) pun diarahkan untuk membuat laporan di Polres/Polda sesuai dengan wilayah tempat tinggal korban (A) yaitu di wilayah kota Jakarta.
“Nggak langsung lapor ke yang jakarta, karena bakal lebih ribet.”
Tak hanya itu, korban pun mendatangi rumah terduga pelaku, namun hasilnya korban hanya dijanjikan melalui “omongan” oleh orang-orang yang ada di rumah terduga pelaku. Kemudian, Korban (A), sempat ingin menggunakan bantuan pihak UNISBA untuk memproses kasus lelang arisan ini. Pihak UNISBA sendiri menawarkan bantuan hukum kepada para korban dan terduga pelaku.
“Perlindungan hukum juga kami tawarkan kepada terduga pelaku. Tapi memang kami sesalkan ternyata pelaku juga sudah punya pengacara. Sebenarnya kami coba untuk mengadvokasi agar tidak sampai ke ranah hukum karena kalau ke ranah hukum itu panjang. Daripada uang ini dipakai untuk pengacara mending dibalikin ke para korban dengan sistem cicilan. Itu yang kami sedang mediasi kemarin.” Jelas Firmansyah.
Saat ditemui (22/11) lalu, pihak Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum (PBKH) UNISBA menolak untuk memberikan keterangan lebih lanjut terkait proses mediasi yang sedang dilakukan pihak PBKH UNISBA, terduga pelaku, dan para korban.
Saat itu, PBKH UNISBA masih berusaha melakukan proses mediasi secara kekeluargaan dan sedang menghitung jumlah kerugian para korban. Namun, PBKH UNISBA tetap terbuka menerima laporan terkait kasus lelang arisan ini.
Namun, pada akhirnya, korban (A) memilih untuk menjalani proses kasus ini secara kekeluargaan dan terus berusaha menghubungi pihak JZF agar uangnya dapat kembali.
Tak hanya kesulitan menempuh jalur kekeluargaan, jalur hukum terkait kasus lelang arisan ini pun turut mengalami hambatan dalam prosesnya. Ketiadaan aturan khusus terkait sistem arisan ini pun menambah sulitnya jalur hukum yang harus ditempuh oleh para korban maupun pihak kepolisian yang menanganinya.
Pihak Polrestabes Bandung, Aipda Yuni Hermanto menjelaskan bahwa kasus terkait dugaan penipuan arisan ini berdasarkan delik aduan dan akan melalui proses hukum yang panjang, dan turut melibatkan para ahli, seperti ahli pidana, ahli kominfo, ahli bahasa, dan ahli siber.
Yuni turut menjelaskan dalam kasus ini, pasal yang didugakan adalah KUHP, dan terkait UU ITE jika ada transaksi elektronik. Dapat dikenakan pasal 378 terkait dugaan penipuan ataupun pasal 372 tentang penggelapan. Ada pun di UU ITE tentang perlindungan konsumen, apabila dalam prosesnya berkaitan dengan data elektronik.
“Dalam kasus ini, disangkakan pada dugaan penipuan namun sampai (8/12) masih dalam proses pemeriksaan. Pihak polrestabes, sudah memanggil korban untuk mengetahui mekanisme sistem arisan, dan apakah ada atau terpenuhi unsur yang terkait pasal-pasal yang didugakan. Karena penerapan unsur dalam UU, harus minimal ada dua alat bukti di pasal 184 KUHP dari beberapa kriteria untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.” ungkap Yuni.
“Pihak kepolisian belum bisa update terkait kasus ini karena terdapat beberapa hambatan. Seperti dari saksi atau korban yang banyak kegiatan sehingga sulit dimintai keterangan.” tambahnya.
Hingga (8/12), kasus masih dalam proses dan belum diketahui apakah akan ditindak secara pidana atau perdata. Meski demikian, pihak Polrestabes Bandung terus terbuka untuk menangani proses kasus ini.
“Jangan takut untuk melaporkan kejadian seperti ini ke pihak kepolisian. Saat ini, pihak kepolisian masih membutuhkan keterangan dari saksi dan korban. Masih dalam proses, dan nanti akan ada gelar perkara.”
Sulitnya proses mediasi dan advokasi bagi para korban dalam kasus lelang arisan ini sudah seharusnya menjadi alarm untuk lebih skeptis dan hati-hati dalam mengambil keputusan.
Namun, rasanya, himbauan saja tidak akan membuat “jera” para pelaku dan korban arisan untuk tidak jatuh di lubang yang sama. Keterbatasan sistem hukum tak jarang membuat akhir dari permasalahan ini diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa adanya jaminan kapan uang korban akan dikembalikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H