Mohon tunggu...
Van Nder
Van Nder Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa pendidikan sejarah di salah satu universitas ternama di kota Malang. Memiliki minat besar dalam bidang sejarah, politik dan budaya. Tercatat aktif dalam kegiatan organisasi mahasiswa baik intra dan ekstra kampus.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menumbuhkan Budaya Malu antara Bersubsidi dan Non-Subsidi

19 September 2014   04:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:16 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menumbuhkan Budaya Malu Antara Bersubsidi Dan Non-Subsidi

Saat ini kebutuhan konsumsi energi sangat besar, hampir segala kalangan mengkonsumsi energi mulai dari BBM, Listrik, dan Elpiji. Namun, akibatnya subsidi energi menjadi sangat besar lantaran semakin besarnya konsumsi. Indonesia bukan satu-satunya yang mengalami permasalahan terkait subsidi energi, masih ada beberapa negara lainnya. Sejumlah kalangan menilai bahwa jika “negara” yang memberi subsidi disektor energi maka struktur ekonominya menjadi tidak baik, dengan kata lain ekonominya tidak sehat. Selain itu juga subsidi yang terlalu besar akan mengakibatkan ketagihan dan dependensi yang terlalu besar. Sudah menjadi rahasia umum jika di Indonesia, subsidi energi bukan hanya dimanfaatkan oleh kalangan masyarakat ekonomi kebawah, tetapi yang paling banyak menerima manfaat adalah kalangan ekonomi menengah kebawah. Kesimpulannya, subsidi energi yang ada saat ini cenderung tidak tepat sasaran dan hanya mengakomodir kaum berpunya.

Untuk menyehatkan struktur ekonomi, maka subsidi tersebut harus dipangkas dengan menaikkan harga, pembatasan pasokan, atau merubah jalur distribusi. Selanjutnya subsidi dialihkan dalam sektor lain yang produktif dan dapat benar-benar dimanfaatkan kalangan ekonomi kebawah. Masalahnya apapun upaya dan kebijakan yang ditempuh pemerintah selalu saja menuai protes dari masyarakat. Permasalahannya bukan pemerintah yang benar atau salah dalam mengambil kebijakan terhadap masyarakat, juga bukan masyarakat yang berhak memprotes atau mendukung kebijakan pemerintah. Kemajuan dan kesuksesan sebuah negara sangat ditentukan oleh seberapa kuat budaya malu mempengaruhi perilaku masyarakatnya.

Semakin maju sebuah negara maka semakin kuat budaya malu mereka. Semakin beradab sebuah negara maka semakin kukuh budaya malu menjadi pijakan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Dewasa ini budaya malu tidak hanya kian terkikis, bahkan dapat dikatakan nyaris habis tak berbekas diberbagai tataran masyarakat. Tak terbilang seruan dari sejumlah kalangan agar kita menjadikan budaya malu sebagai panduan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, ibarat berteriak di jurang curang, seruan demi seruan itu bergema saja terbawa angin. Rasa malu masih menjadi sangat mahal untuk dijadikan pegangan.

Bersubsidi dan Non-subsidi, yang berhak dan yang tidak berhak. Beberapa kata yang harus dijadikan kunci untuk mengatasi permasalahan tersebut, bukan melalui renungan atau menimbang-nimbang saja namun dijadikan kesadaran bersama melalui budaya malu. Selain masalah BBM bersubsidi dan non-subsidi, masalah elpiji bersubsidi (3 kg) dan nonsubsidi (12 kg) setali tiga uang. Hal yang paling umum dijumpai adalah pengguna elpiji bersubsidi maupun nonsubsidi belum tepat sasaran, bayangkan saja pengguna elpiji bersubsidi sebanyak 70% didominasi kalangan ekonomi menengah-keatas. Sedangkan elpiji nonsubsidi masih 16% digunakan oleh kalangan ekonomi menengah-keatas. Lalu apa yang salah dengan fenomena tersebut.

Rasanya jawaban yang tepat adalah belum atau mungkin tidak adanya budaya malu dimasyarakat. Juga massyarakat kita saat ini sedang mabuk subsidi, merasa dirinya juga berhak menikmati meskipun memiliki daya ekonomi lebih untuk menikmati yang nonsubsidi. Menikmati yang bukan haknya adalah suatu tindakan kurang elok dipandang dan tidak mencerminkan teladan yang baik. Pembelaan pasti selalu muncul dari mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah-keatas, tetapi bukankah setiap rasa malu yang muncul pasti akan ditutupi dengan seribu alasan. Sudah waktunya budaya malu menjadi kesadaran bersama, elpiji bersubsidi menjadi hak mereka dari kalangan ekonomi kebawah dan elpiji nonsubsidi menjadi hak bagi mereka kalangan ekonomi menengah-keatas. Bukan masalah hitung-hitungan untung rugi atau murah mahal membeli elpiji nonsubsidi, tetapi masalah nurani dan tindakan yang baik. Bukankah nantinya tindakan kita akan dipertanggung jawabkan dihadapan sang Pencipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun