Mohon tunggu...
Valisha ArviaNabilla
Valisha ArviaNabilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

Mahasiswa tahun pertama Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Wanita Taman Siswa: Pilar Pendidikan dan Perjuangan Eminsipasi di Indonesia

3 Juli 2024   18:32 Diperbarui: 3 Juli 2024   18:36 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangkitnya pergerakan nasional di Indonesia ditandai dengan lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Tidak hanya para pemuda-pemuda saja yang melaksanakan pergerakan nasional di Indonesia ini untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, tetapi, perempuan pun turut ikut andil. Golongan perempuan atau juga bisa disebut dengan aktivis perempuan, menciptakan gerakan yang bertujuan untuk mengangkat derajat dan posisi perempuan. Langkah-langkah yang telah diambil oleh para tokoh perempuan ini menjadi bukti, bahwa mereka sangat bersungguh-sungguh dalam mengangkat nama perempuan. Perjuangan yang tidak sia-sia, akhirnya hal tersebut membuahkan hasil, kaum perempuan kemudian mendapatkan pengakuan. Hal ini sangat diperjuangkan oleh aktivis perempuan di Indonesia tentu saja, karena pada saat awal kemerdekaan, perempuan tidak diikutsertakan untuk ikut berjuang bersama-sama dengan para pemuda lainnya.

Tak hanya itu, adat dan tradisi pun turut membatasi kebebasan perempuan dalam mengejar pendidikan. Hal ini kemudian mendorong para perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka, terutama dalam hal pendidikan. Perempuan Indonesia atau aktivis perempuan kemudian membentuk organisasi-organisasi perempuan yang bersifat sukarela dan umum, dengan tujuan utama, yaitu,  mendidik gadis-gadis pribumi agar mereka dapat berkembang menjadi orang yang cerdas, memiliki keterampilan, dan mandiri. Banyaknya organisasi-organisasi perempuan di Indonesia yang kemudian didirikan dengan maksud untuk meningkatkan status dan kedudukan perempuan sehingga setara dengan laki-laki., juga memberikan pendidikan kepada perempuan pribumi agar membentuk pribadi yang cerdas agar terhindar dari segala bentuk patriarki.

Salah satu organisasi perempuan yang terbentuk pada masa pergerakan adalah Wanita Taman Siswa, yang didirikan untuk memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi perempuan. Sejarah berdirinya Wanita Taman Siswa tidak bisa dilepaskan dari peran penting dua tokoh, Ki Hajar Dewantara dan istrinya, Raden Ajeng Sutartinah, yang dikenal sebagai Nyi Hajar Dewantara. Pasangan ini memainkan peran besar dalam memajukan pendidikan di Indonesia dengan mendirikan Pendidikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Pendidikan Taman Siswa awalnya dirancang untuk semua kalangan, termasuk perempuan. Namun, dengan meningkatnya jumlah perempuan yang bergabung, muncul berbagai isu kewanitaan yang tidak bisa diatasi oleh Taman Siswa. Sebagai solusi terhadap kurangnya pendidikan bagi kaum perempuan, didirikanlah organisasi Wanita Taman Siswa. Organisasi ini bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah pendidikan yang dihadapi perempuan dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Mulanya, keanggotaan Wanita Taman Siswa terbatas pada perempuan yang terlibat dalam lingkup Taman Siswa di Yogyakarta. Tetapi, seiring berjalannya waktu, organisasi ini mengubah kebijakan menjadi lebih inklusif dengan membuka pintu bagi perempuan dari luar lingkup Taman Siswa juga. Organisasi Wanita Taman Siswa pun mulai mempunyai cabang-cabang luar kota, dan dibentuk pengurus pusat yang bernama Badan Pusat Wanita Taman Siswa di Yogyakarta. Kemudian, pada 1931, diselenggarakan Konferensi Daerah mengenai kepengurusan badan organisasi Wanita Taman Siswa dengan Raden Ajeng Sutartinah atau Nyi Hadjar Dewantara memimpin sebagai ketua, Nyi Surip bertindak sebagai panitera yang membantu di bidang peradilan, Nyi Sudarminto dan Nyi S. Sukemi sebagai anggota, dan Nyi Sri Mangunsarkoro berperan sebagai Wakil Pusat di Jawa Tengah dan Nyi Sudjarwo bertindak sebagai Wakil Pusat di Jawa Timur.

Wanita Taman Siswa menerapkan prinsip dan materi pendidikan melalui metode Among, yang disesuaikan dengan usia anak didik. Untuk anak-anak berusia 14-16 tahun, pendidikan dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan peran guru sangat dominan. Pengajar memberikan arahan dan pengawasan ketat untuk memastikan anak-anak menerima dasar pendidikan yang kuat. Sementara itu, untuk anak-anak berusia 16 tahun ke atas, guru bekerja sama dengan orang tua dalam mengawasi interaksi antar lawan jenis guna mencegah perilaku yang tidak diinginkan. Selain itu, pendidikan yang diberikan kepada anak perempuan di Wanita Taman Siswa juga diselipi dengan agenda nasionalisme, dengan tujuan agar anak-anak yang dididik memiliki semangat dan cinta tanah air serta mempunyai keinginan untuk memperluas pendidikan mereka sehingga mereka bisa menjadi individu berpendidikan tinggi dan mampu berkontribusi bagi bangsa.

Pada perkembangannya, Organisasi Wanita Taman Siswa pun menjadi semakin aktif dalam berbagai kegiatan yang bertujuan meningkatkan taraf kehidupan kaum perempuan. Raden Ajeng Sutartinah, sebagai ketua, giat menulis dan mengirimkan artikel bertema perempuan ke berbagai majalah seperti Wasita dan Pusara. Tidak hanya melalui tulisan, Raden Ajeng Sutartinah juga memanfaatkan media radio untuk menyuarakan aspirasi dan isu-isu perempuan. Organisasi Wanita Taman Siswa juga memperluas jaringannya ke tingkat nasional. Puncak dari upaya ini adalah ketika Raden Ajeng Sutartinah menjadi penggerak utama dalam penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang diadakan dari tanggal 22 hingga 25 Desember 1928 dan menjadi momen bersejarah yang menyatukan berbagai organisasi perempuan dari seluruh Indonesia.

Organisasi Wanita Taman Siswa, dalam kiprahnya berjuang untuk  pendidikan para perempuan Indonesia yang pasti tak luput dari rintangan dan tekanan. Salah satu ujian terberat mereka datang pada tahun 1932, ketika pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar. Aturan ini, yang diberlakukan tanggal 1 Oktober 1932, bertujuan untuk mengendalikan sekolah-sekolah swasta, termasuk Taman Siswa. Ordonansi ini bagaikan belenggu bagi Taman Siswa dan Wanita Taman Siswa. Keberatan mereka bukan tanpa alasan. Aturan ini mewajibkan sekolah swasta untuk mendapatkan izin dan guru-gurunya harus tersertifikasi terlebih dahulu. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat kemerdekaan Taman Siswa dalam menjalankan pendidikan sesuai dengan visinya.

Di tengah situasi genting ini, Ki Hadjar Dewantara, pemimpin Taman Siswa, mengambil langkah berani. Ia menyerukan perlawanan dengan cara Satyagraha, sebuah aksi damai tanpa kekerasan hingga titik darah penghabisan. Tekad Ki Hadjar Dewantara dan Wanita Taman Siswa ini, yang disampaikan melalui Nyi Hadjar Dewantara, membuat geram pemerintah Belanda. Reaksi keras pun tak terelakkan. Taman Siswa ditutup dan disegel oleh pemerintah kolonial. Namun, hal ini tak menyurutkan semangat juang para pejuang pendidikan ini. Dengan penuh kegigihan, mereka mencari berbagai cara untuk meneruskan perjuangannya.

Taman Siswa dan Wanita Taman Siswa tidak gentar dengan diberlakukannya Ordonansi Sekolah Liar oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mereka melawan dengan strategi "gerilya pendidikan", yaitu menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar secara sembunyi-sembunyi. Raden Ajeng Sutartinah bahkan menginstruksikan para guru Taman Siswa untuk mengunjungi rumah murid mereka untuk mengajar. Keberanian mereka mendapat respon positif dan simpati dari organisasi pergerakan dan partai-partai politik lainnya. Ratusan orang mendaftarkan diri sebagai guru sukarelawan untuk menggantikan guru yang ditangkap Belanda, siap dengan risiko ditangkap pula. Gerilya Pendidikan ini membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda terdesak dan akhirnya mencabut Ordonansi Sekolah Liar.

Perjuangan Raden Ajeng Sutartinah dan Wanita Taman Siswa menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah kesetaraan yang dapat saling melengkapi dan membantu dalam menghadapi suatu tantangan. Melalui Wanita Taman Siswa, Raden Ajeng Sutartinah mendirikan Study Fonds untuk membantu gadis yang kurang mampu bersekolah, menanamkan kesadaran agar perempuan Indonesia menjadi "Ibu Bangsa" yang mendidik generasi penerus dengan jiwa kebangsaan, memperbaiki nasib buruh perempuan melalui pendidikan, membuka Yayasan Taman Pendidikan Dewanti untuk pendidikan dini bagi perempuan di sekitar Taman Siswa.

Kiprah Wanita Taman Siswa terus berlanjut hingga saat ini, dengan fokus pada kesejahteraan dan pembinaan perempuan melalui pendidikan. Badan Pusat Wanita Taman Siswa masih aktif di Jalan Taman Siswa No. 25 Yogyakarta dengan cakupan kegiatan yang lebih luas.

Penulis: Salma Syafira Sonawan, Valisha Arvia Nabilla, Karenina Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun