kecantikan merupakan sesuatu yang berjalan beriringan; sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Tidak peduli seberapa keras perempuan berusaha untuk menonjolkan kualitas di luar kecantikan fisik, kecantikan wajah tetap menjadi hal pertama yang dilihat oleh orang-orang. Berapapun banyaknya produk kecantikan yang kita beli atau beauty hack yang kita coba untuk meningkatkan penampilan, semua itu tidak pernah cukup. Masyarakat tidak pernah menganggap kita cukup cantik. Sekecil apapun imperfeksi di tubuh kita dapat membuat kita merasa belum sempurna. Tekanan untuk mencapai kecantikan yang sempurna datang tidak hanya dari pandangan orang lain, tetapi juga dari kepercayaan diri kita sendiri. Kita menjadi kritikus paling keras terhadap diri sendiri, selalu merasa tidak cukup karena terus membandingkan diri dengan orang lain. Akibatnya, kita menghabiskan waktu, energi, dan uang yang tak terhitung jumlahnya untuk mencoba mencapai kesempurnaan yang sebenarnya tidak pernah bisa diraih.
Perempuan dan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas, dengan lebih dari belasan ribu pulau dan lebih dari ratusan juta penduduk, dengan keberagaman yang luas dan masing-masing memiliki suku, budaya, serta karakteristik yang berbeda. Dari Sabang sampai Merauke, setiap manusia yang lahir akan mempunyai perbedaan dan ciri fisik yang memiliki perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Meskipun Indonesia adalah negara dengan keberagaman yang sangat luas, masyarakat terkadang hanya menempatkan satu kriteria khusus untuk menjadi cantik. Menjadi cantik di Indonesia biasanya selalu dikaitkan dengan berkulit putih. Indonesia merupakan negara tropis, di mana sebagian besar orang Indonesia terlahir dengan kulit kuning langsat maupun sawo matang. Warna kulit yang eksotis ini sebenarnya sangat sesuai dengan iklim dan kondisi geografis Indonesia. Namun, ironisnya, standar kecantikan yang berlaku seringkali mengidolakan kulit putih, yang sangat berbeda dengan mayoritas warna kulit penduduk asli Indonesia. Kulit putih dianggap sebagai simbol kecantikan, yang mengakibatkan banyak orang merasa kurang percaya diri dengan warna kulit alami mereka.
Standar kecantikan di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, bahkan standar ini telah hadir sebelum nama “Indonesia” lahir. Di zaman Jawa Kuno, standar kecantikan dilukiskan dalam kisah sastra Ramayana, dengan kecantikan digambarkan melalui tokoh Sita, istri Rama. Sita merupakan seorang perempuan yang digambarkan memiliki wajah yang sangat cantik dengan sifat baik hati serta dideskripsikan memiliki warna kulit yang bercahaya seperti rembulan. Hal ini tertulis dalam Kitata Kakawin, ketika Rama sedang mengenang istrinya. Sementara itu, kulit berwarna gelap sering kali dilambangkan sebagai penderitaan dan memiliki konotasi yang buruk. Dalam kedua Epos Ramayana, baik versi India maupun Jawa, tokoh-tokoh jahat digambarkan memiliki kulit yang gelap, seolah-olah memiliki makna negatif. Dalam Ramayana Jawa Kuno, dikisahkan seorang pertapa perempuan yang kulitnya berubah menjadi hitam setelah memakan daging Dewa Wisnu. Ramayana menyebutnya "segelap warna celak".
Memasuki zaman kolonial, standar kecantikan pun mulai berubah menjadi lebih eropa sentris atau kaukasia sentris. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai iklan yang menonjolkan kecantikan perempuan kaukasia, yang biasanya diidentikkan dengan rambut pirang, kulit putih kemerahan, hidung mancung, serta mata biru. Berbagai iklan ini banyak terpampang di koran, seperti iklan mengenai sabun Lux yang dirilis pada 1938, dengan tajuk “saboen ketjantikan” dan berbagai ilustrasi perempuan eropa yang memenuhi halaman iklan tersebut. Pada era kolonial, warna kulit putih bukan hanya sekedar sebagai “warna”, tetapi sebagai suatu simbol yang memandang kedudukan seseorang serta perbedaan antara ras kaukasia dan pribumi. Putih dianggap lebih baik karena dianggap tampak lebih bersih, sedangkan kulit gelap dianggap kotor dan tidak diinginkan. Putih juga dilambangkan sebagai simbol “elit” karena para kaum eropa kebanyakan tidak melakukan pekerjaan yang mengharuskan mereka turun ke lapangan, sedangkan kaum pribumi dengan terpaksa harus hidup dengan bekerja kotor. Ditambah dengan jauhnya kedudukan warga kulit putih dibandingkan dengan pribumi pada saat itu, mengakibatkan standar kecantikan yang sangat kejam kepada kaum pribumi.
Saat Indonesia berpindah ke tangan Jepang, standar kecantikan pun ikut berpindah. Yang awalnya berpaku pada perempuan Eropa, kini pemerintah Jepang ingin mengganti standar kecantikan kepada perempuan Jepang. Hal ini terlihat dalam penerbitan majalah-majalah seperti Poetri Nippon dan Djawa Baroe pada 1943. Majalah ini memuat berbagai gambaran ideal perempuan Jepang dengan kulit putih dan rambut hitam pekatnya. Tetapi, propaganda Jepang untuk mengganti standar kecantikan tidak begitu berhasil, karena pada saat pendudukan Jepang, standar kecantikan Eropa masih begitu melekat di kalangan masyarakat Indonesia. Ditambah lagi, gambaran perempuan Eropa masih terpampang di berbagai iklan kecantikan, seperti iklan kosmetik. Pada masa kemerdekaan, walaupun dengan hilangnya penjajah dari Indonesia, standar kecantikan asing masih menempel erat di tanah air. Indonesia masih mengagungkan kulit putih dan citra kecantikan barat, dengan berbagai iklan kecantikan yang menggunakan model atau karakter kaukasia. Hal ini dapat dilihat di iklan sampo di Majalah Wanita pada 1952, yang dengan jelas menonjolkan perempuan pirang dan berhidung mancung, layaknya standar ideal barat.
Pada era reformasi hingga saat kini, standar kecantikan mulai meluas dan tak lagi terpaku pada citra kecantikan barat. Perusahaan kecantikan dan fesyen mulai mendorong diversity (keragaman) serta inclusivity (inklusivitas) dengan terpampangnya berbagai iklan yang telah menggunakan model dengan beragam bentuk badan, beragam warna kulit, maupun beragam tipe rambut. Namun, tetap saja, pandangan masyarakat terhadap standar kecantikan masih sama. Kulit putih masih menjadi pemenangnya. Bertahun-tahun dikuasainya negeri ini dengan kaum kulit putih meninggalkan colorism yang kuat terhadap pandangan masyarakat. Ditambah lagi dengan masuknya Korean wave dengan maraknya K-pop dan K-drama membuat masyarakat Indonesia kian lagi terobsesi dengan kulit putih layaknya kaca seperti idola maupun aktor yang terpampang di televisi. Korea Selatan yang terkenal dengan teknologi canggih di bidang kecantikan pun membuat warga Indonesia semakin tertarik untuk mencobanya. Mulai dari operasi plastik, produk kecantikan, serta kosmetik. Tidak hanya itu, bahkan produk-produk lokal pun mulai menggunakan aktor atau idola Korea untuk mempromosikan produk mereka. Melihat hal ini, dapat disimpulkan bahwa walaupun standar kecantikan dengan cepat berubah dan memunculkan tren baru, kalangan masyarakat Indonesia tetap berpegang teguh dengan mengagung-agungkan kulit putih. Meskipun Indonesia adalah negara kepulauan dengan suhu tropis, yang jauh berbeda dengan cuaca di Eropa dan Asia Timur, para perempuan akan terus berusaha untuk mencapai kecantikan ideal yang hampir tidak mungkin digapai. Standar kecantikan merupakan permasalahan yang tak kunjung usai, hari ke hari standar baru akan muncul yang membuat kecantikan sempurna semakin sulit untuk dicapai. Namun, perlu diingat bahwa standar kecantikan tidak lebih dari sebuah pemahaman toxic yang meracuni pemikiran kita, para perempuan. Maka dari itu, tidak ada gunanya untuk memusingkan dan membuang waktu untuk mengikuti citra ideal yang tidak ada habisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H