Mohon tunggu...
Valeri Veriani
Valeri Veriani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku di September

15 Oktober 2016   14:36 Diperbarui: 15 Oktober 2016   15:07 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini September pertengahan di tahun 2016. Hari mulai diliputi mendung yang kelabu. Hujan mulai rajin berkunjung ke tempatku, Jakarta raya, atau nama lainnya adalah banjir raya. Ya, Jakarta terkenal sekali akan banjir yang tidak ada henti-hentinya. Itulah yang ditakuti saat musin pancarobah seperti sekarang. Air tidak pernah peduli. Ia selalu datang tanpa diundang tanpa diinginkan. Banjir terjadi karena ulah manusia. Manusia menjadi pelaku sekaligus korban. Manusia kerap tidak mempedulikan lingkungan sekitar, dan hanya mengutuk pemerintah yang tidak peduli.

Berbicara mengenai lingkungan, aku teringat ayah yang dulu gemar bercocok tanam dihalaman depan rumah. Setiap ia pulang sehabis membanting tulang, ia selalu menyempatkan diri untuk mengurus tanaman-tanaman kesayangannya. Aku selalu menemaninya walaupun hanya memperhatikan dari teras rumah. Kulihat senyum selalu menghiasi wajahnya.

Suatu sore seperti biasa aku memperhatikan ayah mengurus tanamannya sambil ditemani segelas susu bubuk putih hangat. Ayah manaruh sekop kecilnya dan berkata, “kamu mau coba ikut ayah bertanam?” Sontak aku terkejut dan langsung berlari kearah ayah. Saat itu aku bersemangat sekali. Ayah berdiri dan mengambil plastik hitam yang duduk di atas motornya. Lalu ia berkata, “ini ayah beli untuk kamu. Ayah ajari cara menanamnya ya.” Setelah tanaman tersebut sudah tertanam dengan rapih, ayah memegang pundak ku selagi berkata “kamu tau mengapa ayah menyayangi dan menjaga tanaman-tanaman ayah? “. “tidak tau yah.” Lalu ayah membalas “ayah menjaga mereka sekarang karena kelak mereka yang menjaga anak cucu ayah.” 

Tanpa di sadari hari sudah semakin gelap, dan ayah mengajak ku masuk rumah.

Sejak itu aku rajin merawatnya. Setiap hari sehabis sekolah aku langsung mengganti pakaianku dan menyiram tanamanku. Aku melakukan rutinitas ini hingga aku menyentuh bangku SMA. Walaupun pelajaran yang aku terima semakin sulit, tetapi tidak menghentikan ku untuk merawat tanamanku setiap pulang sekolah.

 Waktu berjalan dengan sangat cepat. Aku lulus SMA dengan perolehan nilai yang cukup baik. Setelah aku lulus SMA, aku pindah ke kota pahlawan, Surabaya, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Saat itu aku senang tetapi di satu sisi aku juga sedih. Aku mulai memusatkan semua perhatian ku untuk perkuliahanku. Tanamanku sekarang diurus oleh ayahku hingga besar.

Suatu saat handphone ku berbunyi. Ibu menelfon. Saat aku mengangkat telfon, terdengar suara tangis yang membuatku bingung. Sontak aku bertanya, dan ibu pun menjawab bahwa ayah sudah tidak ada. Ia meninggal karena sakit jantung saat bekerja. Kejadian ini membuat hidupku seketika hancur. Hancur sehancur hancurnya. Aku tak berhenti menangis dan menyalahkan diriku sendiri. Aku pulang ke Jakarta dengan duka yang dalam.

Semenjak hari itu, aku semakin jarang menginjakan kaki ke rumah lagi. Biasanya ibu yang menghampiriku ke Surabaya. Hingga suatu ketika, ibu datang. Ia mempertimbangkan untuk menjual rumah karena terlalu besar untuk ditinggal sendiri. Aku setuju, karena hal itu dapat membantu ekonomi keluarga.

Aku pulang ke Jakarta untuk membereskan rumah. Semua barang dipindahkan ke truk. Saat aku merasa semua sudah selesai, mataku terpaku ke sebuah tumpukan batu bata di halaman depan. Aku menghampiri tumpukan itu dan melihat isi tersebut. Aku terkejut, karena itu adalah tanaman pemberian ayah. Aku langsung mengambil sekop dan menaruh tanaman tersebut ke dalam sebuah pot.

Ibu pindah ke daerah Grogol. Awalnya aku tidak setuju karena daerah rumah tersebut rawan banjir. Tetapi ibu tetap bersikeras. Pada pertengahan September warga sekitar sedang melakukan reboisasi bersama. Ketika mengetahui itu, aku teringat kembali sosok ayah yang senang bercocok tanam.  Tiba-tiba seorang bapak menghampiriku sambil bertanya “mas, ada tanaman dengan ukuran yang cukup besar? Kami kekurangan tanaman.”  Aku menjawab tidak. Aku pulang ke rumah dan bercerita kepada ibu. “Bu ada reboisasi di depan komplek, ibu tidak ikut?” lalu ia bertanya balik “kamu kenapa tidak ikut?” “karena tidak ada tanaman yang bisa di gunakan disana, bu” “bagaimana tanaman kamu yang dari dulu kamu urus itu? Itu akan membantu sekali.” Awalnya aku menolak. Mungkinkah ini maksud ayah? Seperti kata ayah, jika kita menjaga tanaman sekarang  kelak tanamanlah yang menjaga anak cucu?

Aku mengambil tanaman itu dan membawanya ketempat tersebut. “Ini pak, saya ternyata ada tanaman ini di rumah. Semoga membantu”. Terkejut, bapak itu menjawab “wah, kokoh sekali tanaman ini, terimakasih banyak!” 

Terima kasih ayah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun