Mohon tunggu...
Valerianus KopongTupen
Valerianus KopongTupen Mohon Tunggu... Jurnalis - Saya tinggal di Kota Bumi - Tangerang

Penulis bekerja pada Kemenag Kabupaten Tangerang sebagai penyuluh agama katolik. Selain itu aktif sebagai penulis dan blogger.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kerinduan Seorang Narapidana

22 April 2020   11:58 Diperbarui: 23 April 2020   13:04 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Gambar oleh Ichigo121212 dari Pixabay

Ruang tunggu itu tak beda jauh dengan "romantic room". Semua nara pidana yang saya jumpai sedang memeluk isteri atau anaknya dengan penuh kasih sayang.

Kerinduan itu tersembul dari sorotan mata yang tak bisa menipu realita. Sambil menikmati coca-cola, saya mengobrol bersama beberapa napi yang katolik.

Ketika saya tanya, apakah banyak napi katolik? Dengan penuh kepastian, ia menjawab, sekitar 30-an orang napi katolik.

Mereka masuk atau dipaksa masuk ke situ dengan beragam masalah. Ada yang dihukum karena melakukan tindakan kriminal, ada yang terjerat masalah narkoba dan banyak lagi kasus yang menimpah mereka yang pada akhirnya menyeret mereka ke Lembaga Pemasyarakatan itu.

Socrates pernah berujar, "apabila banyak sekolah didirikan maka suatu saat, penjara-penjara bisa ditutup." Ungkapan Socrates ini membahasakan bahwa keberadaan sekolah menjadi jaminan bahwa pola perilaku manusia bisa tertata rapih dan kejahatan perlahan lenyap dari bumi ini.

Tetapi apa realita yang muncul saat ini? Pendirian sekolah hampir bersamaan dengan pendirian penjara atau sekarang disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Di depan papan pengumuman itu aku melihat data-data terutama jumlah orang yang ada dalam penjara sekitar 1000 lebih orang. Ini belum terhitung dengan jumlah nara pidana di Lapas wanita dan anak-anak. Sebuah angka yang menggila dan fantastis.

Tetapi apakah mereka adalah orang-orang terbuang dari pergaulan umum karena ulah tingkah dan salah mereka?

Melihat jumlah napi yang semakin menanjak, menjadi sebuah sindiran bagi lembaga keluarga, sekolah dan agama yang selalu mendengungkan moralitas dan nilai cinta kasih. Masing-masing institusi mempertanyakan diri. Seberapa jauh nilai cinta kasih dan moralitas ditanamkan dalam diri anak-anaknya?

Dalam rentang waktu yang tidak mengenal titik habis, kita terus bertanya, mengapa mereka terhempas dan dihempas dalam penjara? Sampai kapan mereka mengalami pertobatan yang berarti? Inilah pertanyaan yang sederhana terus menggeliat dalam lika-liku waktu.

Didik, walau dianggap sebagai pembunuh kelas kakap, tetapi beberapa tahun terakhir menunjukkan diri ke arah perubahan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun