BATAS UJI PENETAPAN TERSANGKA
Dapat dikatakan jika putusan MK diatas menjadi pintu masuk (entry-point) bagi tim Hotma Sitompoel untuk menguji absah atau tidak absahnya penetapan status tersangka atas diri ibu angkat Engeline itu. Namun demikian, keseluruhan permohonan tersebut, mesti dipilah satu persatu, terutama menyangkut batas uji atas absah atau tidaknya penetapan tersangka.
Hal ini agar proses dan prosedur praperadilan tidak menimbulkan kegamangan hukum, dimana harus dibatasi hanya untuk membuktikan absah atau tidak absahnya penetapan tersangka, bukan masuk lebih jauh ke dalam pokok perkara. Pokok perkara serta proses penetapan tersangka sama-sama menggunakan sistem pembuktian minimum.
Namun meskipun begitu, antara keduanya tetap memiliki perbedaan, bahwa pada penetapan status tersangka dengan bewijs minimum; dua alat bukti, yakni untuk menentukan akurat tidaknya praduga bersalah (presumption of guilty). Sedangkan pada pemeriksaan pokok perkara yang terikat dengan negatief wettelijk bewijstheorie; dua alat bukti plus keyakinan hakim, pembuktiannya sudah tertuju pada “penetapannya” seorang bersalah ataukah tidak (guilty or not guilty).
Merujuk pada beragam pandangan terkait pengujian status seseorang sebagai tersangka, maka paling tidak ada 3 syarat yang memiliki korelasi antar satu dengan lainnya. Saya menyederhanakannya melalui 3 pertanyaan kunci dibawah ini:
Pertama, Apakah penyidik (polisi) dalam penetapan tersangka, sudah memenuhi batas minimun “bukti permulaan”, yang diamanatkan Pasal 184 KUHAP, dimana juga telah diperkuat oleh putusan MK No: 21/PUU-XII/2004?
Menurut saya, penyidik (polisi) telah memenuhi persyaratan tersebut, bahkan melampaui batas minimun alat bukti, sebagaimana yang diamanatkan putusan MK diatas. Polisi telah mengantongi lebih dari 2 alat alat bukti yang merujuk pemberitaan media sebagai berikut: Keterangan Saksi Agustinus, serta saksi-saksi lain; Keterangan Ahli dari hasil kerja tim inafis, serta tim forensik; Petunjuk dari hasil olah TKP, proses penelusuran barang bukti yang mengarah pada dugaan kuat digunakan tersangka.
Praperadilan akan menguji kualitas alat bukti tersebut, sehingga untuk hal ini, pemohon (kuasa hukum Margiet) sebagai pihak yang paling berkepentingan, akan berjuang maksimal untuk membuktikannya di depan hakim yang mulia.
Kedua, Apakah calon tersangka telah terlebih dahulu diperiksa oleh penyidik (polisi), sebelum ditetapkan sebagai tersangka?
Seperti yang diberitakan media cetak, televisi, maupun media online, sebelum menjadi tersangka, Margriet telah berulang kali menjalani pemeriksaan instensif. Bahkan penyidik menghadirkan alat uji test kebohongan untuk mengecek kebenaran ucapannya, serta saksi mahkota Agustinus. Bahkan meminta meminta pendapat psikolog, serta pakar kriminologi.
Ketiga, Apakah penyidik (polri) dalam proses menemukan alat bukti dilakukan dengan cara yang benar?