PRAPERADILAN
Hingga kini Margriet melalui kuasa hukumnya tetap bersikukuh tidak bersalah; menolak untuk disidik sebagai tersangka pembunuhan dan tidak mau jalani sejumlah adegan rekonstruksi sebagaimana keterangan saksi Agus Tay. Ia (Margriet) bahkan telah mengajukan permohonan praperadilan; menggugat keabsahan status tersangka dan segala pasal pidana pembunuhan yang dikenakan padanya. Sidang praperadilan akan dilangsungkan Senin ini (13/7/2015), dipimpin hakim tunggal Achmad Peten Sili di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.
Seperti yang dilansir sejumlah media; ada 2 alasan yang diajukan pemohon (Margriet) dalam praperadilan yakni (1), menyatakan tindakan termohon (penyidik) yang menetapkan tersangka dituduh melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan anak mati bertentangan dengan pasal 1 angka 14 KUHAP Jo Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI No.21/PUU-XII/2014, sehingga penetapan pemohon sebagai tersangka tersebut tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya. (2) menyatakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pemohon sebagai tersangka 29 juni 2015, tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya.
Bisa dipastikan sidang praperadilan ini akan menjadi sorotan menarik sepanjang pekan ini; sekaligus ujian terbuka bagi termohon (penyidik) yang berulang kali menyatakan jika penyidikan penyelidikan yang mereka jalankan berpegang teguh pada prinsip "Due Process" serta melalui pendekatan "Scientific Crime Investigation. Dalam perspektif hukum, upaya yang ditempuh Margriet ini, layak untuk dihormati. Hukum pidana Indonesia masih menganut azas legalitas, keseimbangan hingga praduga tak bersalah; sehingga peluang Margriet untuk lepas dari jeratan hukum tetap terbuka, sepanjang ia melalui kuasa hukumnya mampu membuktikannya di pengadilan.
Saya berkeyakinan jika sebelum hakim menjatuhkan vonis pidana bagi siapapun yang didakwa, ia akan dengan sangat hati-hati menilai kekuatan pembuktian, dengan terlebih dahulu mengadakan pemeriksaan yang cermat, seksama berdasarkan hati nuraninya. Ini artinya jika terdakwa terbukti melanggar pasal 340 KUHP, maka ganjaran sebagaimana yang sudah disebutkan diatas akan berlaku. Jikapun akhirnya pasal 340 KUHP tidak terbukti untuk menjerat terdakwa maka masih ada pasal pidana lain yang menunggu. Padahal perbuatan pidana yang dilakukan atas diri korban yang masih anak-anak ini dengan rencana terlebih dahulu maupun tidak, tetaplah sulit untuk diterima dengan akal sehat dan kejernihan nurani kita sebagai manusia yang beradab.
Saatnya bagi Pemerintah dan DPR RI untuk serius menyikapi hal ini, melalui revisi UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak dengan menaruh pasal maksimal pada pelaku pembunuhan anak seperti Angeline ini. Sebait sajak penyair Frans Nadjira “Surat Kepada Presiden” menutup catatan kecil ini,
“ Pak Presiden, Yang bersinggasana di puncak gunung. Umurku delapan tahun. Seperti sekuncup bunga sedang gairah menyambut matahari pagi. Sahabatku kupu-kupu Sungai Laut yang mengecup wajahku. Dibawah bayang-bayang langit keruh.
Pak Presiden, Kutulis surat ini di telapak tanganmu. Di alir urat darahmu. Di mulutmu. Digurat sungai tak berhulu. Tak bermuara. Di nadi dua ratus lima puluh juta pucuk rumput. Bintang jatuh di basah kata-kataku. (VAR)
*) Penulis Valerian Libert Wangge: Sekjen Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Bali tinggal di Denpasar. Tulisan ini edisi penyempurnaan dari tulisan di laman Kompasiana sebelumnya berjudul: “ Menelusuri alasan Penyidik menjerat Margriet dengan primer Pasal 340 KUHP ” - Opini dengan materi serupa (juga) hadir di laman Opini harian POS Bali, terbit di Bali pekan mendatang berjudul, “Mencari Bukti yang Tidak Diragukan”