Mohon tunggu...
Valerian Itu Faris
Valerian Itu Faris Mohon Tunggu... Advokat & Konsultan Hukum -

Jangan Tunda. Lakukan Sekarang !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Get Justice for “Engeline”

3 Juli 2015   00:48 Diperbarui: 3 Juli 2015   00:48 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapolda Bali, Irjen (Pol) Ronny F Sompie, jauh sebelum penetapan tersangka ini sudah berulang kali menegaskan prinsip kerja Polri. Penyidik Polri menjalankan prosedur investigasi sesuai perintah KUHAP dan Perkap 14/2012, dimana penyelidikan dan penyidikan taat dan tunduk pada prinsip "the right of due process". Prinsip ini artinya setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan "sesuai hukum acara" yang menjunjung tinggi supremasi hukum, "diperintah oleh hukum", "bukan oleh orang / opini". Proses penyidikan-penyelidikan pidana melalui pendekatan ilmiah (Scientific Crime Investigation).

Get Justice for “Engeline”

Sesungguhnya teramat banyak pelajaran hebat yang semestinya kita petik dari peristiwa ini. Pertama, Engeline adalah korban pembunuhan yang sadis. Kenyataan ini tak terbantahkan, termasuk tim kuasa hukum Margriet sekalipun. Mengenai korban, filsuf berdarah Yahudi Emanuel Levinas pernah mengatakan, ada semacam janji keramat antara generasi lalu dan sekarang yaitu kehadiran kita di muka bumi ini dinanti. Kematian tidak meniadakan seseorang, hanya naluri pembunuh yang menghendaki seseorang lenyap. Para korban yang meninggal hidup di dalam ingatan”.

Engeline kini hidup dalam ingatan, peristiwa ini mestinya menjadi triger (pemicu) bagi kita untuk selekasnya berbenah, peka terhadap situasi sosial disekitar kita. Peran publik antara lain Pers, pegiat HAM, praktisi Hukum hingga masyarakat umum diharapkan terus mengawasi berjalannya proses hukum untuk kasus ini. Yakinlah, jika upaya kontrol ini terus diperkuat dan diperluas, maka Hakim akan memberikan hukuman yang maksimal bagi para pelaku. Hukuman maksimal menjadi peringatan bagi siapa saja untuk tidak melakukan tindakan biadab ini.

Kedua, Negara dalam hal ini pemerintah, legislatif maupun institusi yang pembiayaan-nya melalui anggaran negara (APBN/APBD) harus mampu memutus mata rantai penyebab utama. Janganlah terus menerus, berbicara dan bertindak setelah terjadinya peristiwa sadis seperti ini. Potensi kekerasan dan penelantaran anak sebetulnya hadir telanjang di depan mata. Salah satu akar utama peristiwa ini adalah kemiskinan.

Jika saja orang tua kandung Engeline memiliki biaya, mereka tentu tidak akan menyerahkan anaknya pada orang lain. Jika saja Agus Tae (25) tidak miskin, tentu ia bekerja dengan upah yang layak, miliki keberanian untuk melawan intimidasi sebagaimana pengakuannya itu. Setelah Polisi menetapkan Margriet sebagai tersangka pembunuhan, saya langsung berkesimpulan, jika pemuda asal Sumba Timur ini terkategori korban pembungkaman. Agus tentu saja akan dihukum karena perbuatannya itu, namun fakta dan bukti atas dirinya tentu akan menjadi salah satu pertimbangan hakim saat memutuskan nanti di Pengadilan.  

UU Perlindungan Anak (UUPA) sendiripun belum maksimal dalam penegasan sistem perlindungan anak. Warga masyarakat kerapkali dihadapkan pada dilematika sistem pelaporan yang ada. Pelapor justru dihadapkan pada situasi sulit ketika berhadapan dengan aparatus. Sehingga memilih sikap diam / mendiamkan sebuah potensi kekerasan dipandang “lebih nyaman”. Selain itu, saatnya Pemerintah dan DPR RI merevisi UUPA dengan menerapkan pasal hukuman mati bagi para pelaku pembunuhan anak.

Ketiga, Kewibawaan Polri kembali di uji persis memasuki usia 69 tahun (1 Juli 1946-1 Juli 2015). Sejak kasus ini mencuat, mata publik (juga) tertuju pada kinerja korps Bhayangkara ini. Rumors adanya penyuapan; sinisme kinerja yang lamban; serta pilihan perlawanan kuasa hukum Margriet melalui jalur Praperadilan menjadi catatan penting. Saat ini Polri tengah memperoleh kesempatan untuk membuktikan diri mereka sebagai institusi yang Mandiri dan Profesional.

Kematiannya yang tragis “memanggil hati kita” untuk berdoa, menghentakan bathin kita untuk bersolider, “memicu kesadaran kita” untuk ber berjuang (Get Justice for Engeline), demi tegaknya hukum dan keadilan, gugatan akan segala praktek kebijakan politik yang “memiskinkan rakyat”, juga mengingatkan diri sendiri, akan kemungkinan lahirnya peristiwa serupa di hari depan.

Akhir kata, meminjam pandangan Cok Sawitri (budayawan) dalam acara “Engeline Telah Tenang” peringatan 40 hari kematian Engeline di Denpasar, “ Kepedihan atas kepergian Engeline, janganlah dihadapi dengan sentimentil. Belajar dari peristiwa ini alangkah bermaknanya jika tumbuh kesadaran untuk bersama; anti pada kekerasan; dengan instropeksi bahwa kita ini juga tak lepas dari potensi melakukan kekerasan, pembiaran dan ketidakberanian untuk bersikap tegas dan jernih ”. (***)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun