Mohon tunggu...
Pendidikan

Apakah Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana Mendapat Perlindungan dari Hukum?

30 November 2018   21:24 Diperbarui: 30 November 2018   21:32 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila kita mendengar tentang adanya sidang peradilan pada saat suatu tindak pidana telah terjadi, apakah yang kita pikirkan pada waktu itu ? Tentu saja, istilah-istilah yang sering kita dengar adalah terdakawa, korban, saksi, barang bukti, hukum, dan sebagainya. 

Tidak diragukan lagi, bahwa saksi yang melihat suatu tindak pidana sangatlah berperan penting dalam pengambilan keputusan di dalam persidangan. Tidak jarang juga, bahwa saksi juga terkadang merasa tertekan oleh keputusan untuk bersaksi dan terkadang bisa merasa terancam dan terintimidasi oleh pelaku tindak pidana. 

Namun, apakah yang dirasakan seorang anak, apabila dia adalah saksi penting dari tindak pidana? Apakah saksi tindak pidana yang adalah anak di bawah umur benar-benar merasa dan mendapat perlindungan dari hukum pada saat bersaksi di sidang?

Menurut penulis, secara teknis, memang benar bahwa setiap saksi tindak pidana, baik anak-anak maupun orang dewasa pasti dilindungi oleh hukum. Bahkan di Indonesia pun sudah ada hukum yang mengatur. 

Di antaranya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ("UUPSK"), sesuai ketentuan Pasal 4 UUPSK, perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Ada juga dasar hukum sebagai berikut :

1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

3.      Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada saksi dan korban

Jika dilihat dari peraturan perundangan, maka sudah pasti saksi tindak pidana mendapatkan perlindungan dari hukum, dengan syarat bahwa saksi harus mengatakan yang sejujurnya, dengan bersumpah, dan memberikan keterangan lengkap tentang yang disaksikan oleh saksi pada saat kejadian tindak pidana. Namun, tentu saja berbeda apabila yang menjadi saksi adalah seorang anak-anak di bawah umur.

hukumonline.com
hukumonline.com
Menurut penulis, anak-anak yang menyaksikan kejadian tindak pidana akan merasa bingung dan terkadang merasa tertekan dan khawatir saat melihat kejadian perkara, karena anak-anak masih mengalami masa perkembangan secara mental, dan pada umurnya, tidak seharusnya / belum seharusnya mereka menyaksikan kejadian-kejadian kekerasan misalnya pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, dan sebagainya. 

Terlebih lagi, mental anak yang masih labil masih sangat mempengaruhi kondisi anak yang menjadi saksi. Dengan melihat kejadian tindak kekerasan tersebut, pemikiran anak menjadi berubah akan dunia ini, dan terkadang bahkan bisa meniru tindak pidana tersebut.

Survey di Korea mengatakan, bahwa cukup banyak anak yang menjadi saksi suatu tindak pidana, bahkan terkadang anak bisa diancam oleh si pelaku untuk tetap diam (pada saat pelaku sadar bahwa ada saksi dari anak atas tindakan yang dilakukan), bahkan ancaman tersebut tidak tanggung-tanggung, misalnya seperti dia akan disandra, atau keluarganya akan disakiti, dan sebagainya. 

Dari sinilah, anak yang menjadi saksi menjadi lebih tertekan dan bingung apakah ia akan bersaksi atau tidak, terlebih seorang anak juga belum mengetahui tentang proses sidang.

Secara teknis / fisik, seorang saksi terlebih lagi anak-anak yang masih di bawah umur mendapat perlindungan erat dari hukum, namun menurut penulis, secara mental pasti anak tersebut juga merasa tertekan dan terancam, hal ini menyebabkan perkembangan anak nantinya, terlebih di bidang sosial. 

Dengan melihat kejadian tindak pidana, anak menjadi lebih takut bersosialisasi dengan lingkungan luarnya, karena merasa tidak aman lagi. Yang dimaksud memengaruhi perkembangan sosial dan emosional anak adalah, apabila nantinya anak yang menjadi saksi ini sulit berkomunikasi dengan dunia luar, dan lama-kelamaan tidak berani keluar rumah, dan tidak bisa percaya diri dan mandiri nantinya (semuanya tergantung dari rumah, hanya memercayai orang rumah, dan sebagainya).

Namun selain itu ada hal positif yang bisa diambil dari hal ini, yaitu bahwa anak bisa menjadi lebih waspada dan tidak mudah percaya pada orang asing. Namun tentu saja, kejadian yang disaksikannya akan selalu terbawa dalam ingatan hingga dewasa. Di negara Timur terutama Tiongkok dan Korea, dengan sekian banyak kasus tindak pidana yang disaksikan oleh seorang anak, anak tersebut bisa menjadi pelaku nantinya. 

Dan tidak hanya saksi, bahkan korban yang adalab seorang anak juga bisa menjadi seorang pelaku, karena mereka berasumsi bahwa berarti tindakan pidana tersebut boleh dilakukan, terutama apabila tindakan pidana yang mereka lihat adalah untuk kesenangan pribadi, mereka bisa saja meniru tindakan tersebut ketika dewasa.

Selain hal itu, ada juga pemikiran bahwa anak yang menjadi korban, merasakan bahwa pada saat mereka dewasa nanti, anak-anak seumurnya juga harus merasakan apa yang dirasakan korban pada saat kecil, karena korban tersebut akan diliputi rasa iri apabila anak-anak yang sekarang tidak merasakan yang dirasakan korban pada waktu kecil. Pemikiran ini yang berlanjut dan membuat dari seorang korban, menjadi pelaku.

Apabila tidak mendapatkan pendidikan dan pengawasan dari orangtua yang benar, maka hal di atas bisa saja terjadi. Maka saran dari penulis adalah orangtua dari anak yang menjadi saksi atau korban, harus diberi pengertian dan pendalaman yang benar tentang tindak pidana, dan mengubah pemikiran mereka bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang dilarang keras.

Akhir kata, pada kesimpulannya, menurut penulis, hukum tidak menjamin atau benar-benar melindungi saksi dan korban yang merupakan seorang anak. Hukum hanya melindungi secara fisik saja.

Namun mental mereka tetap perlu dijaga karena kelabilan perasaan anak, sehingga membutuhkan pengawasan yang ketat dan memberi pengertian yang benar pada anak agar mereka tidak menjadi pelaku berikutnya. Demikian pembahasan menurut penulis, semoga dapat membantu, dan mohon maaf apabila ada hal yang salah atau tidak berkenan. Terima kasih.

Ad Maiorem Dei Gloriam !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun