Tarif Pajak Pertambahan Nilai, juga dikenal sebagai PPN, akan naik dari 11% menjadi 12% mulai tahun 2025 menjadi topik pembicaraan hangat di media sosial dan di mana pun. Kebijakan ini merupakan bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara.
Pemerintah mengklaim peningkatan tarif PPN untuk meningkatkan kekuatan fiskal negara. Diharapkan peningkatan pajak akan membiayai berbagai proyek pembangunan, khususnya di bidang infrastruktur dan kesejahteraan sosial. Selain itu, peningkatan penerimaan negara sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi makro di tengah ketidakpastian global.
Di Indonesia, sampai saat ini PPN masih di angka 11%, sementara rata-rata global mencapai angka 15%. Akibatnya, peningkatan tarif PPN ini diberlakukan untuk mengurangi beban keuangan negara dan memperkuat dasar perpajakan, karena pajak saat ini merupakan sumber penerimaan negara terbesar. Selain itu, kebutuhan anggaran negara yang terus meningkat, terutama dalam hal pembangunan dan pelayanan publik, membuat kebijakan ini diperlukan.Â
Namun, masyarakat, pengusaha, dan tokoh publik menolak peningkatan tarif PPN. Ini disebabkan oleh fakta bahwa kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN 12% dapat menyebabkan penurunan daya beli bagi orang-orang di kelas menengah ke bawah, khususnya karena pemerintah tidak akan menerapkan peningkatan tarif PPN hanya untuk barang-barang mewah atau multitarif, seperti rumor yang beredar sebelumnya. Ini dapat menyebabkan inflasi dan memperlambat pemulihan ekonomi setelah pandemi.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, peningkatan tarif PPN adalah kewajiban undang-undang dan diperlukan untuk menjaga kesehatan APBN. Diharapkan peningkatan penerimaan dapat mempertahankan tiga fungsi APBN: stabilisasi, alokasi, dan distribusi.Â
Pemerintah juga mengumumkan peningkatan tarif PPN pada tahun 2025 untuk menjaga ekonomi stabil. Barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, seperti beras, telur, daging, angkutan umum, layanan pendidikan, dan lainnya, tidak dikenakan tarif PPN. Sebaliknya, barang-barang konsumsi harian lainnya, seperti Minyakita, gula industri, dan tepung terigu, akan ditanggung pemerintah 1% sehingga tarifnya tetap 11%.
Jadi, apakah peningkatan tarif PPN menjadi 12% menguntungkan atau merugikan? Sebenarnya, peningkatan tarif PPN berdampak pada kedua sisi. Di satu sisi, peningkatan tarif PPN dapat menguntungkan karena dapat meningkatkan pendapatan negara, mengurangi defisit negara, dan menyesuaikan dengan standar internasional. Di sisi lain, peningkatan tarif PPN dapat merugikan karena dapat membebani masyarakat, menurunkan daya beli masyarakat, membebani perusahaan kecil dan menengah (UMKM), dan meningkatkan inflasi.
Tentunya kebijakan ini sangat tergantung pada cara kebijakan ini dilaksanakan. Pemerintah harus memastikan bahwa dana tambahan dari PPN dimanfaatkan secara tepat dan efisien demi kepentingan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan kompensasi untuk kelompok masyarakat yang paling terpengaruh oleh peningkatan tarif PPN, seperti melalui bantuan sosial atau subsidi. Meskipun hingga kini dampak dari peningkatan tarif PPN masih diperdebatkan, efektivitas kebijakan ini akan terlihat dalam jangka panjang dan bergantung pada berbagai faktor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H