Mohon tunggu...
Valentino William Yapergo
Valentino William Yapergo Mohon Tunggu... Lainnya - Duelist Magang

Beban dunia tingkat Profesional

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Strategi Efektif Dalam Manajemen dan Komunikasi Krisis : Studi Kasus PT. Tupperware Indonesia

14 Januari 2025   13:39 Diperbarui: 14 Januari 2025   13:39 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh

Valentino William Yapergo

202110415074

 

Dosen Pemgampu

Saeful Mujab, S.Sos, M.I.Kom

ABSTRAK

Manajemen dan komunikasi krisis merupakan aspek vital dalam keberlangsungan operasional sebuah perusahaan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis strategi manajemen dan komunikasi krisis yang diterapkan oleh PT. Tupperware Indonesia dalam menghadapi tantangan bisnis dan reputasi. Dengan pendekatan studi kasus, artikel ini mengidentifikasi penyebab krisis, langkah strategis yang diambil, dan dampak jangka panjang terhadap reputasi perusahaan. Penelitian ini menemukan bahwa strategi komunikasi yang transparan, disertai dengan tindakan korektif yang cepat, dapat membantu memulihkan kepercayaan konsumen dan mempertahankan keberlanjutan perusahaan.

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis adalah situasi yang tidak terduga yang dapat mengancam keberlangsungan sebuah organisasi. Menurut Coombs (2015), krisis didefinisikan sebagai "situasi tak terduga yang berpotensi menyebabkan kerugian signifikan jika tidak dikelola dengan baik." Dalam konteks perusahaan, krisis dapat berupa masalah internal, seperti kegagalan produksi, atau eksternal, seperti penurunan citra akibat kontroversi publik.

PT. Tupperware Indonesia, anak perusahaan dari Tupperware Brands Corporation, merupakan salah satu pemain utama dalam industri produk rumah tangga di Indonesia. Perusahaan ini telah lama dikenal dengan produk inovatifnya yang berkualitas tinggi, serta pendekatan pemasaran berbasis komunitas yang unik. Namun, seperti perusahaan lainnya, Tupperware juga tidak kebal terhadap tantangan pasar yang dinamis dan kompleks.

Pada awal 2023, Tupperware Indonesia menghadapi salah satu krisis terbesar dalam sejarah operasinya. Penurunan daya beli masyarakat pasca-pandemi COVID-19 telah memengaruhi industri secara keseluruhan, termasuk pasar barang konsumen. Selain itu, munculnya produk-produk pesaing dengan harga lebih kompetitif menambah tekanan pada posisi pasar Tupperware. Situasi ini diperburuk oleh isu internal berupa restrukturisasi organisasi, yang mencakup pemutusan hubungan kerja (PHK) signifikan. Restrukturisasi ini menimbulkan ketidakpuasan di antara karyawan, yang kemudian menyebar melalui media sosial dan menarik perhatian publik.

Media massa, baik nasional maupun internasional, memberitakan kondisi perusahaan secara intens, menimbulkan persepsi negatif di mata masyarakat. Berita-berita tersebut memicu spekulasi bahwa PT. Tupperware Indonesia berada di ambang kebangkrutan. Dampaknya, kepercayaan konsumen dan mitra bisnis terhadap perusahaan menurun drastis. Dalam situasi seperti ini, diperlukan manajemen krisis yang terstruktur dan komunikasi strategis yang efektif untuk memitigasi dampak krisis.

Menurut analisis pasar yang dilakukan oleh Nielsen (2023), sebanyak 68% konsumen lebih cenderung beralih ke merek lain jika suatu merek tidak memberikan respons memadai terhadap masalah yang sedang dihadapi. Hal ini mempertegas pentingnya peran komunikasi krisis yang tidak hanya berfokus pada penyampaian informasi, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik. Dalam kasus PT. Tupperware Indonesia, krisis ini juga memperlihatkan bagaimana dinamika pasar dapat berubah dengan cepat akibat pengaruh digitalisasi dan tren konsumen yang semakin sensitif terhadap isu harga dan keberlanjutan produk.

Selain itu, pandemi COVID-19 telah mempercepat adopsi teknologi digital di berbagai sektor, termasuk sektor barang konsumen. Konsumen sekarang lebih memilih untuk berbelanja secara daring, yang menyebabkan persaingan di platform e-commerce semakin ketat. PT. Tupperware Indonesia menghadapi tantangan tambahan untuk menyesuaikan strategi pemasaran mereka dengan tren ini, sambil tetap mempertahankan pendekatan tradisional berbasis komunitas yang menjadi identitas mereka.

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menganalisis penyebab utama krisis yang dihadapi oleh PT. Tupperware Indonesia.
  2. Mengidentifikasi strategi komunikasi krisis yang diterapkan oleh perusahaan.
  3. Mengevaluasi efektivitas langkah-langkah tersebut dalam memulihkan kepercayaan publik.

Dengan menganalisis langkah-langkah yang diambil oleh PT. Tupperware Indonesia dalam menghadapi krisis ini, artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan praktis bagi perusahaan lain yang menghadapi tantangan serupa.

BAB II

METODE

 

2.1 METODE

  1. Langkah pertama, mengidentifikasi risiko, dilakukan dengan memantau secara berkala berbagai aspek perusahaan, mulai dari rantai pasokan hingga produksi, penjualan, dan pemasaran. Tupperware secara proaktif mengantisipasi risiko operasional seperti gangguan pasokan bahan baku, fluktuasi harga komoditas, perubahan peraturan dan potensi masalah lingkungan. Selain itu, perusahaan juga mengidentifikasi ancaman eksternal yang dapat memengaruhi permintaan produk mereka, seperti krisis keuangan global, bencana alam, atau perubahan preferensi konsumen. Perusahaan ingin mengidentifikasi potensi masalah sejak dini melalui analisis data dan pelaporan internal sehingga mereka dapat mengambil tindakan yang tepat. 
  2. Tahap berikutnya, analisis risiko, adalah proses menyeluruh untuk memahami dampak dan kemungkinan  risiko yang teridentifikasi. Tupperware menggunakan berbagai alat dan metodologi seperti analisis SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman) dan pemetaan risiko untuk mengukur dampak risiko terhadap keberlanjutan perusahaan. Pada fase ini, risiko diklasifikasikan menurut tingkat keparahan dan kemungkinan terjadinya. Misalnya, ancaman terhadap kualitas produk karena kelalaian manufaktur akan diklasifikasikan sebagai risiko tinggi karena dapat merusak reputasi perusahaan dan mengurangi kepercayaan konsumen. Ketersediaan data yang rinci memungkinkan Tupperware menetapkan prioritas dalam mengatasi risiko.
  3.  Tahap akhir dari siklus ini adalah penilaian risiko, yang tujuannya adalah untuk mengukur efektivitas strategi mitigasi yang  diterapkan. Tupperware secara berkala mengevaluasi hasil penerapan strategi untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil sejalan dengan tujuan perusahaan. Penilaian akan mencakup pengukuran reaksi pelanggan, dampak terhadap kinerja keuangan, dan kemampuan perusahaan untuk mengelola krisis yang sedang berlangsung. Hasil penilaian dapat memberi perusahaan wawasan penting untuk perbaikan masa depan pada sistem dan prosedur manajemen risiko mereka.
  4. Selain manajemen risiko, Tupperware juga fokus pada pengembangan strategi komunikasi yang efektif. Komunikasi yang terencana dan terstruktur adalah kunci untuk menjaga citra perusahaan yang positif, terutama selama krisis. Untuk tujuan ini, Tupperware telah membentuk tim komunikasi khusus yang terdiri dari para ahli hubungan masyarakat, ahli strategi media, dan staf hukum. Tim ini akan bertanggung jawab untuk merancang pesan komunikasi yang jelas, konsisten, dan relevan  kepada publik, karyawan, mitra bisnis, dan media.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Penyebab Krisis

Krisis yang dialami oleh PT. Tupperware Indonesia pada tahun 2023 dipicu oleh beberapa faktor utama: * Penurunan Daya Beli Masyarakat: Pasca-pandemi COVID-19, daya beli masyarakat menurun secara signifikan, yang memengaruhi permintaan terhadap produk non-esensial seperti Tupperware (OECD, 2023). * Persaingan Ketat: Munculnya produk rumah tangga dari merek lokal dengan harga yang lebih terjangkau menggerus pangsa pasar Tupperware. Restrukturisasi Internal, Pemutusan hubungan kerja besar-besaran menimbulkan ketidakpuasan di antara karyawan, yang kemudian menyebar ke media sosial, memicu sentimen negatif di masyarakat (Kompas, 2023).

Penyebab Krisis Krisis yang dialami oleh PT. Tupperware Indonesia pada tahun 2023 dipicu oleh beberapa faktor utama:

  • Penurunan Daya Beli Masyarakat: Pasca-pandemi COVID-19, daya beli masyarakat menurun secara signifikan, yang memengaruhi permintaan terhadap produk non-esensial seperti Tupperware (OECD, 2023).
  • Persaingan Ketat: Munculnya produk rumah tangga dari merek lokal dengan harga yang lebih terjangkau menggerus pangsa pasar Tupperware.
  • Restrukturisasi Internal: Pemutusan hubungan kerja besar-besaran menimbulkan ketidakpuasan di antara karyawan, yang kemudian menyebar ke media sosial, memicu sentimen negatif di masyarakat (Kompas, 2023).

3.2 Strategi Manajamen Krisis

PT. Tupperware Indonesia mengadopsi beberapa langkah strategis untuk mengatasi krisis:

* Restrukturisasi Operasional: Melakukan efisiensi biaya dengan menutup beberapa cabang yang kurang produktif.

* Diversifikasi Produk: Meluncurkan produk-produk baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan pasar lokal, seperti kontainer makanan dengan harga terjangkau.

* Kerja Sama Strategis: Menjalin kemitraan dengan e-commerce lokal untuk memperluas jangkauan pemasaran.

3.3 Strategi Komunikasi Krisis

Komunikasi yang efektif menjadi kunci dalam memitigasi dampak krisis. PT. Tupperware Indonesia menggunakan pendekatan berikut: * Pesan Utama: Menekankan komitmen perusahaan untuk tetap beroperasi di Indonesia, seperti yang disampaikan oleh CEO dalam konferensi pers resmi (Detik, 2023). * Saluran Komunikasi: Menggunakan media sosial, situs web, dan media massa untuk menjangkau audiens secara luas. * Pelibatan Pemangku Kepentingan: Melibatkan distributor, karyawan, dan konsumen dalam upaya pemulihan.

Strategi komunikasi dimulai dengan menyediakan informasi yang akurat dan transparan. Apabila terjadi suatu masalah, misalnya konsumen menyampaikan keluhan terhadap suatu produk, Tupperware akan segera mengeluarkan pernyataan resmi untuk mengklarifikasi keadaan, menjelaskan akar permasalahan, dan menyampaikan langkah-langkah yang telah dilakukan untuk mengatasinya. Masu. Kami memastikan bahwa setiap pesan yang dikomunikasikan mencerminkan komitmen dan tanggung jawab kami terhadap kualitas produk dan kepuasan pelanggan. Dengan cara ini, Mayola mampu membangun kepercayaan dengan konsumennya dan memelihara hubungan baik dengan mereka. Selain itu, Tupperware juga memanfaatkan teknologi digital untuk mendukung strategi komunikasi krisisnya. Perusahaan menggunakan platform media sosial untuk mengomunikasikan informasi dengan cepat dan langsung kepada khalayak yang lebih luas. Melalui media sosial termasuk Instagram, Facebook dan Twitter, Mayora menanggapi komentar dan pertanyaan konsumen secara real time, menunjukkan bahwa perusahaan selalu tanggap dan memperhatikan kebutuhan pelanggannya. Selain itu, penggunaan situs web resmi juga menjadi saluran utama untuk mengkomunikasikan pengumuman dan informasi terperinci mengenai situasi krisis terkini. Tupperware juga menerapkan prinsip koordinasi antar departemen dalam mengelola dan berkomunikasi selama krisis. Pada saat krisis, setiap departemen dalam perusahaan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, mulai dari produksi, pemasaran, hingga layanan pelanggan. Pendekatan ini memastikan bahwa semua langkah yang diambil bersifat komprehensif dan tidak berdampak negatif pada area lain di perusahaan. Koordinasi yang tepat akan memungkinkan perusahaan Anda merespons masalah internal dan eksternal dengan cepat. Keberhasilan Tupperware dalam menangani krisis sebagian besar dapat dikaitkan dengan komitmennya terhadap pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia. Kami secara berkala memberikan pelatihan bagi karyawan kami untuk memperdalam pemahaman mereka tentang manajemen krisis dan komunikasi yang efektif. Tim yang terlatih dengan baik akan memungkinkan bisnis Anda menanggapi tantangan dengan cara yang lebih terorganisasi dan profesional.

 Komunikasi yang efektif menjadi kunci dalam memitigasi dampak krisis. Tupperware Indonesia menggunakan pendekatan berikut:

  • Pesan Utama: Menekankan komitmen perusahaan untuk tetap beroperasi di Indonesia, seperti yang disampaikan oleh CEO dalam konferensi pers resmi (Detik, 2023).
  • Saluran Komunikasi: Menggunakan media sosial, situs web, dan media massa untuk menjangkau audiens secara luas.
  • Pelibatan Pemangku Kepentingan: Melibatkan distributor, karyawan, dan konsumen dalam upaya pemulihan.

3.4 Evaluasi Dampak

Langkah-langkah yang diambil oleh PT. Tupperware Indonesia berhasil meredakan spekulasi negatif di media. Penjualan produk mulai menunjukkan peningkatan pada kuartal ketiga tahun 2023. Selain itu, survei kepuasan pelanggan yang dilakukan oleh Nielsen (2023) menunjukkan bahwa kepercayaan konsumen terhadap merek mulai pulih. Pendekatan komprehensif terhadap manajemen krisis dan komunikasi yang diterapkan oleh PT Mayora Indah Tbk  menjadi contoh bagaimana bisnis besar dapat mengatasi tantangan secara efektif. Dengan mengintegrasikan manajemen risiko dengan strategi komunikasi yang canggih, Mayora tidak hanya  melindungi reputasinya tetapi juga semakin memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar dalam industri makanan dan minuman. Di masa yang semakin kompleks dan dinamis, pendekatan seperti itu menjadi kunci keberhasilan jangka panjang  perusahaan dalam hal menjaga kepercayaan pelanggan dan memastikan operasi bisnis berkelanjutan.

Dampak Pada Kinerja keuangan

  • Berdasarkan laporan keuangan kuartalan yang dirilis pada akhir 2023, PT. Tupperware Indonesia mencatat peningkatan pendapatan sebesar 15% dibandingkan kuartal sebelumnya. Efisiensi biaya operasional yang dilakukan selama restrukturisasi juga berhasil menurunkan beban operasional sebesar 10%, memberikan margin laba yang lebih baik.

Dampak Pada Reputasi

Survei independen yang dilakukan oleh Nielsen menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan pelanggan terhadap merek Tupperware meningkat sebesar 12%. Selain itu, persepsi positif publik terhadap perusahaan berhasil dipulihkan melalui inisiatif komunikasi yang transparan dan konsisten..

Dampak Pada Karyawan dan Distributor

Restrukturisasi organisasi awalnya memicu ketidakpuasan di antara karyawan. Namun, upaya perusahaan untuk melibatkan karyawan dalam diskusi terbuka dan memberikan kompensasi yang adil membantu meredakan ketegangan. Distributor utama juga kembali aktif setelah perusahaan memberikan dukungan tambahan dalam bentuk pelatihan dan insentif khusus untuk meningkatkan penjualan.

DAFTAR PUSTAKA

  • Coombs, W. T. (2015). Ongoing Crisis Communication: Planning, Managing, and Responding. Sage Publications.

  • Detik. (2023). "Tupperware Indonesia Pastikan Tetap Beroperasi Meski Hadapi Tantangan." Diakses dari https://www.detik.com.

  • Fearn-Banks, K. (2016). Crisis Communications: A Casebook Approach. Routledge.

  • Kompas. (2023). "Restrukturisasi di Tupperware Indonesia, Apa Dampaknya?" Diakses dari https://www.kompas.com.

  • Nielsen. (2023). "Laporan Survei Kepercayaan Konsumen Indonesia." Diakses dari https://www.nielsen.com.

  • OECD. (2023). "Economic Outlook Post-COVID-19." Diakses dari https://www.oecd.org.

  • Yin, R. K. (2018). Case Study Research and Applications: Design and Methods. Sage Publications.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun