"Nggak bisa juga (bangun smelter), nggak sambung-sambung (perpanjang kontrak)," terang dia.
Ketika Freeport terus mengulur-ulur waktu pembangunan smelter, maka pemerintah memutuskan untuk mengakuisisi 51 persen saham menjadi milik negara. Saham tersebut terbagi 41 persen pemerintah pusat dan 10 persen atas nama rakyat Papua.
Setelah akuisisi dilakukan, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas jadi memiliki kewenangan lebih menyuruh Freeport untuk membangun smelter. Barulah, proses panjang terlampaui dan pembangunan smelter ditetapkan pada 2021 di Gresik, Jawa Timur. "Kita ambil saja akuisisi 51 persen (saham), setelah dapat 51 persen, (suruh) buat smelter, baru dibikin di Gresik," pungkasnya.
Jika diukur dari time line, 2021. Sebenarnya masih ada kesempatan pemerintah membangun infrastruktur pendukung pembangunan smelter (listrik misalnya) di papua. Bahkan sejak 2017-2018 ketika, smelter direncanakan dibangun di Gresik. Â Apalagi yang ditunggu untuk rencana pembangunan smelter berikutnya di papua.
Dari perhitungan waktu ini pula, seharusnya jika janji akan dibangunya smelter di papua. Seperti pertanyaan awal, kapan? Dan apaklah infrastruktur pendukung sudah mulai di bangun di papua? Sementara itu 40 ribu tenaga kerja, yang semestinya itu tenaga kerja di Papua seperti kata Engelina apakah melibatkan rakyat papua, jika tidak, jelas bahwa rakyat papua tidak dapat menikmati multiplier effect ekonomi dari keberadaan PT. Freeport dan apakah mereka harus menunggu janji yang pembangunan di papua yang dapat saja menemui kendala? Dimana keadilan itu? Wajar saja apabila pertanyaan itu dilontarkan.
Seperti yang dikatakan Engelina, sebenarnya momentum pembangunan smelter ini merupakan satu kesempatan untuk mengurangi kesenjangan kawasan timur dan barat. Kalau seperti begini, katanya, kesenjangan kawasan akan semakin melebar. "Smelter ini merupakan ujian nyata, apakah adil atau tidak?" tegasnya
Perlu diingat, bahwa rakyat papua atau kawasan Indonesia Timur tidak hanya dihuni oleh penduduk asli tetapi sudah membaur dan bermukim berbagai suku bangsa di kawasan tersebut secara turun menurun. Sehingga jika berbicara masalah kawasan Indonesia bagian timur, jika ada respon balik dari penduduknya kepada pemerintah, jangan selalu terburu-buru menilai bahwa ada upaya penduduk asli untuk menggugat NKRI. Semua itu menurut saya, adalah karena suara hati rakyatnya yang merasa di "tinggalkan" sehingga menjadi miskin dan terjadi berbagai persoalan sosial, hukum hingga pelanggaran HAM dan lain sebagainya.
Sehingga ketika berbicara kawasan Timur Indonesia, kita berbicara Indonesia dalam bingkai NKRI seutuhnya yang di dalamnya didiami oleh segala suku bangsa Indonesia yang telah membaur, bercampur keturunannya sejak zaman dahulu, hingga anak cucunya saat ini.  Tidak ada dikotomi Barat atau Timur, yang perlu dikemukakan adalah kemajuan dan keutuhan bangsa  dan Negara Indonesia dalam jangka panjang yang pembangunannya dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata dibekahan barat maupun timur.  Sehingga jika timur mengalami kemunduran dan tidak merasa pembangunan yang merata, maka menjadi PR bersama.
Seperti kata Engelina, "Minta maaf Bapak Presiden, kebijakan ini bukan saja tidak adil, tetapi telah mengalihkan kesempatan maju bagi orang Papua. Jadi, kita jangan pernah terkejut kalau selalu ada ketidakpuasan di Papua, karena pemicunya ada di Jakarta, semisal kebijakan pembangunan smelter ini"
Oleh karena itu, sebagai penutup, pelu diingat bahwa Tujuan negara Indonesia tercantum dalam alinea ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Begini bunyinya:
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, ..."