Bergantung pada skala bencana yang terlibat, orang-orang yang dipindahkan ke tempat penampungan sementara atau pusat evakuasi mungkin tinggal di sana untuk waktu yang lama dengan sedikit atau tanpa pengetahuan tentang kapan mereka dapat kembali untuk memperoleh solusi untuk bertahan lama lainnya. Orang-orang yang terpaksa mengungsi setelah gempa bumi Sumatera 2009 masih menghadapi penundaan dalam memperoleh izin tanah, terus menghadapi bahaya dan tidak memiliki peluang mata pencaharian lima tahun setelah pemindahan mereka. Orang-orang yang mengungsi akibat letusan Gunung Sinabung pada tahun 2013 menghadapi penundaan rekonstruksi dan relokasi. Mengingat kerusakan parah yang disebabkan oleh gempa bumi September 2018 di Sulawesi Tengah dan tsunami setinggi lima hingga enam meter, tidak jelas kapan ribuan pengungsi yang tetap terlantar akan dapat mencapai solusi yang dapat bertahan lama.
Pemindahan juga menimbulkan masalah perumahan, tanah dan hak milik. Kurangnya kepemilikan formal mempersulit orang-orang yang dipindahkan, baik karena konflik atau bencana, untuk mengklaim kembali tanah dan rumah mereka setelah kembali jika kepemilikan disengketakan oleh penggugat lain. Orang-orang yang mengungsi antara tahun 1998 dan 2004 yang gagal kembali juga mengalami kesulitan dalam menemukan tanah dan rumah baru yang dapat mereka tempati untuk kepemilikan. Banyak yang tidak mampu membeli atau mendaftarkan tanah, dan ketegangan muncul antara IDP dan tuan rumah mereka karena masalah ini.
Perpindahan seringkali melibatkan kemunduran dalam hal pendidikan, mata pencaharian, perumahan, infrastruktur, keamanan dan kehidupan sosial. Ini juga dianggap berdampak pada kesehatan fisik dan mental serta kesejahteraan emosional orang, meskipun hanya ada data kuantitatif terbatas yang mendukung hal ini. Sebagai contoh, sekitar 10.000 pengungsi di Bali dilaporkan menderita stres dan kelelahan pada Oktober 2017 akibat kondisi tempat tinggal yang tidak memadai.
Orang-orang yang terlantar akibat kekerasan di Papua dan Papua Barat telah berjuang dengan ketidakamanan fisik, pembatasan pergerakan dan kurangnya akses ke makanan, air, tempat tinggal, peluang mata pencaharian dan perawatan kesehatan.
Tentang Data di Balik Analisa IDMS
Anda dapat mendownload laporan IDMS dalam bentuk pdf di siniÂ
Pekembangan Kebijakan dan Kerangka Hukum
Pada tahun 2001, Indonesia mengeluarkan Kebijakan Nasional Penanganan Pengungsi/Pengungsi di Indonesia. Teks tersebut membahas perpindahan yang terkait dengan konflik dan kekerasan dan membuka jalan bagi solusi yang tahan lama. Namun, itu tidak berisi langkah-langkah untuk pencegahan pemindahan atau pengurangan konsekuensi pada kelompok lain.
Pada tahun 2007, Â Indonesia menerbitkan Undang- Undang Nomor 24 Tentang Penanggulangan Bencana , yang menangani bencana alam, non-alam dan sosial - termasuk konflik dan terorisme. Dokumen tersebut mendefinisikan pengungsi sebagai "orang atau kelompok orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya untuk waktu yang tidak pasti karena dampak negatif bencana", yang dapat diartikan termasuk pengungsi. Teks ini berisi tindakan pencegahan dan mempromosikan solusi yang tahan lama.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana memberikan pedoman dan arahan tentang penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Alokasi anggaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tentang Penanggulangan Bencana.
Beberapa Catatan IDMC Tentang Perpindahan Baru. Melalui situs resminya IDMC juga menyajikan, laporan, informasi baik dari pemerintah indonesia, berita mainstraim dan sumber lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara cukup lengkap