Eh, ntar saya disclaimer dulu ya, tulisan ini bukan bertujuan untuk mempengaruhi siapa saja yang berkeinginan menikah dan memiliki keturunan, dan saya gak akan masuk ke ranah ajaran agama. Yang saya tahu pasti wanita dan pria pada dasarnya ditakdirkan untuk hidup berpasangan dan memiliki keturunan, sekalipun ada yang memilih jalan yang berbeda.
Fakta
Saya mulai dulu dengan fakta, saya pakai info resmi dari BPS saja biar dapat dipertanggungjawabkan. Disebutkan bahwa tingkat perceraian di Indonesia terus meningkat. Pada 2015 sebanyak 5,89 persen pasangan suami istri bercerai (hidup). Jumlahnya sekitar 3,9 juta dari total 67,2 juta rumah tangga. Pada 2020, persentase perceraian naik menjadi 6,4 persen dari 72,9 juta rumah tangga atau sekitar 4,7 juta pasangan.
Demikian catatan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Namun perlu diingat, bahwa data yang didapat dari survei ini berbeda dengan data putusan perceraian yang ada di seluruh peradilan agama di Indonesia.
Nah yang lebih mengejutkan lagi, apa yang dikemukakan oleh guru besar IPB Euis Sunarti mengungkap tingginya angka perceraian di Indonesia. Bahkan, dirinya menyebut setiap satu jam terdapat 50 kasus perceraian di Indonesia. Seperti apa yang dikemukakan melalui laman Media Indonesia (4/7/2021).
"Ada 70 juta keluarga dimana 20%-nya Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), 43% belum sejahtera, 9% miskin, 10% lansia dan cerai tinggi sekitar 1.200 per hariatau 50 perceraian yang diketok palu perjam", ujar Pakar Ketahanan Keluarga IPB University ini dalam keterangan resmi.
Salah satu yang disinggung menurutnya adalah "terlebih lagi kondisi wilayah Indonesia yang rawan bencana serta adanya kemajuan teknologi informasi. Ini semua akan mendatangkan ancaman, peluang dan tantangan," imbuhnya. Selain bermanfaat, menurut Euis, Revolusi Industri 4.0 berdampak negatif terhadap kehidupan sosial, khususnya keluarga sebagai unit sosial terkecil.
Ketidaksiapan keluarga dalam menghadapi Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity (VUCA) akan melahirkan keluarga yang pecah (saturated family). Keluarga juga menghadapi perluasan kerentanan dan potensi krisis serta gangguan kualitas hidup.
Sebagai catatan saja, VUCA adalah akronim yang berarti volatility (volatilitas), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleksitas), dan ambiguity (ambiguitas), kombinasi kualitas yang jika digabungkan mencirikan sifat dari beberapa kondisi dan situasi yang sulit. Istilah ini juga kadang-kadang dikatakan untuk kata sifat: mudah menguap, tidak pasti, kompleks dan ambigu.
Istilah VUCA sendiri berasal dari United States Army War College untuk menggambarkan kondisi akibat Perang Dingin. Konsep VUCA sejak itu telah diadopsi di seluruh bisnis dan organisasi di banyak industri dan sektor untuk memandu kepemimpinan dan perencanaan strategi.