***
Ok, cerita di atas mengambarkan karakter guru ketika mengajar apalagi memarahi murid atau siswanya, Seolah-olah sesuka hati, kata orang jawa mulutnya asal "njeplak". Gak semua guru lho ini, tapi ada beberapa.
Nah dilihat dari karakter seperti ini, bagi kamu, baik gak tuh guru? Bisa dijadiin contoh gak? Tentu sebagian besar mengatakan gak. Atau ada yang ok-ok aja, wajar. Boleh berbeda. Â Tapi guru sekarang memang lebih lembut dari guru dahulu, ini menurut saya ya. Karna ada juga ditemuin guru yang bersikap keras di beberapa sekolah dan di daerah yang berbeda.
Nah, sekarang tiba pada perbandingan perilaku guru pada saat ini yang menurut saya mementingkan pendidikan karakter, tentu saja akan bersikap lebih bijak ketika mengajar atau memarahi siswanya jika berbuat kesalahan, gaduh di kelas atau gak kerjakan pekerjaan rumah misalnya.
Dalam kasus yang saya temuin dan langsung di sampaikan oleh kepala sekolah dan guru terkait. Di kota besar lho nih, Jakarta. Guru yang memarahi siswa di depan kelas, didatangin pengacara keluarga, dan di proses hukum. Ini serius.
Karena siswanya meras malu dimarahin, sepulang sekolah dia mengadukan kepada kedua orang tuanya. Mungkin baru pengantin baru kali ya, yang anaknya baru semata wayang. Kedua orang tuanya langsung berekasi dengan mengsomasi guru dan sekolahnya melalui jasa pengacara keluarga atau kenalan mereka.
Gurunya diproses hukum lho. Lantaran memarahi siswa, dengan bahasa yang menurut saya gak sekeras guru zaman dahulu. Tapi siswanya merasa malu. Dan rasa malu ini menjadi sebuah kasus. Apalagi pengacara pinter mencari pasal-pasal yang terkait. Minimal dari undang-undang perlindungan anak. Tepatnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Kita lihat pasal Pasal 3 yang berbunyi  Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Saya tebalin kata kekerasan. Yang bisa diartikan kekerasan fisik maupun verbal. Nah nih anak mungkin merasa diperlakukan salah karena kekerasan verbal. Bisa saja di pelintir begitu kan?
Nah di undang-udang yang sama, terjadi kontradiksi. Coba kita lihat pasal 19, disebutkan bahwa  Setiap anak berkewajiban untuk :
- menghormati orang tua, wali, dan guru;
- mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
- mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
- menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
- melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Ya jelas, tugas sang anak tanpa saya membuka undang-undang tentang pendidkan atau yang terkait dengan guru, di undang-undang ini sudah jelas kewajiban anak. Sehingga bila ia dimarahi lantaran melanggar butir 1 dan 5 saja, dan dilakukan di dalam kelas. Wajar dong gurunya "memarahinya". Dalam kasus ini menggunkan teguran yang halus, sekalupun nadanya pasti lebih tinggi seperti orang kebanyakan marah.