Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pak Nadiem Maksud dan Tujuannya Baik, Kalo Tidak Puas Silahkan Judicial Review!

13 November 2021   11:35 Diperbarui: 13 November 2021   11:44 4306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Shutterstock/femina.co.id

Disclaimer dulu ya, tulisan ini bersifat opini, termasuk Interpretasi, Asumsi dan Analisis yang bersifat Pribadi. Menjadi tanggung jawab Penulis Sepenuhnya.

Wah malah jadi heboh ya, kalo dalam pemahaman saya, maksudnya baik lho. Mengenai proses mulai naskah akademik, kajian, termasuk kalo boleh uji publik saya gak tau. Tapi minimal sudah dilaluilah. Memang perlu dipersoalkan, wong udah jadi permen kok.

Yang jadi persoalan, ketika sudah diundangkan oleh Menteri Hukum dan Ham,  Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi sudah melalui pentahapan.

Dalam tata cara pengundangan peraturan peraturan perundang-undangan, disebutkan (salah satunya) bahwa  pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan memberi nomor pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk ditandatangani. Udah belon ini? Pasti udah lah. Wong udah ada nomer Permendikbudristek kok ya. Sah!

Nah, dalam pengajuan naskah, kementrian hukum dan  Ham, gak semudah itu menandatangani, tentu akan di review lagi naskahnya. Bertentangan gak dengan Undang-Undang dasar 1945 dan Pacasila, serta peraturan perundang undang-undang lainnya, jadi dicross check lho. Jenis peraturan Perundang-Undangan kan banyak kan? Nah kalo interpretasi hukumnya ada yang keliru dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 ada tuh jalurnya, Judicial Review Saja (Uji Materi) di Mahkamah Konstitusi. Bukan begitu? Mekanismenya kan udah ada, sebagai Negara hukum. Apapun argumentasinya.

Entar kalo  Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, bagi yang gak puas nih, wong udah diundangkan kan? Gak usah dirobek-robek terus maen demo, lempar-lemparanm dan beroarasi dikampus gangguin kegiatan kuliah.  Pasti banyak ada yang cerdas lah, namun bukan yan ga setuju dan protes gak cerdas, terjadi missinformatin aja. 

Nah nanti, dalam uji materi oleh pemohon yang gak setuju atau gak puas, bisa secara keseluruhan peremen atau per pasal, selanjutnya siapin para ahlinya dan ikuti prosesnya hingga hasil keputusannya secara tertib.  Toh kedua belah pihak akan berikn kesempatan yang sama, baik dimintai keterangan dan argumentasi hukumnya dan dapat menghadirkan ahlinya masing-masing, misalnya ahli bahasa dan lain lain yang dibutuhkan.

***

Menurut saya, salah satunya pemberitaan kompas (19/03/2021), disebutkan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021, terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Secara statistik. Gak gemes apa? Itupun fenomena gunung es, yang kelihatan cuman pucuknya  doang, yang terjadi jauh lebih "akeh" alias buanyakkk.

Lebih lagi nih, soal penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi, pornografi dan undang-undang yang lain banyak tuh pelanggarannya. Jadi peraturan menteri ini sejalan, dan untuk diterapkan di lingkungan pendidikan/perguruan  tinggi.

Ntar kalo ada pelanggarannya, ya peraturan ini bisa menjadi dasar pertimbangan tapi biasanya undang-undang lebih tinggi darinya jo KUHP bakalan digunakan untuk proses hukum. Apalagi terkait pasal 5 yang dipersoalkan itu. Sebanrnya sya mau pretili satu pesatu ayatnya, tapi malas ah, ntar sok teu lagi.

O ya, Permen ini adalah turunan atau di backup dengan undang-undang lain yang lebih tinggi, dan sejalan dengannya. Minimal nih UU ITE dan Undang-Undang Pornografi. Itu baru minimal.

Gini lho para pembaca, menurut saya ya, menteri kita ini ,Bapak Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A, biar lengkap deh namanya..Memang tanggap untuk langkah pencegahan dan saya akan jelaskan dugaan saya dibagian lain. Lagian wajar-wajar saja kok. Ada undang-undang dan peraturan pelaksana lainnya yang belon jadi. Yang masuk proleknas saja belon kelar-kelar kan di DPR?

Mau tau masalah penting yang pak menteri keduluan merespon di luar sudah sesuai dengan peraturan pelaksana undang-undang yang lebih tinggi di atasnya dan sudah berlaku.

Coba bedakan  convensi internasional Terkait Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) dan Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (disingkat DEVAW ) atau Declaration on the Elimination of Violence Against Women. Kontenya memang berbeda, namun masih memiliki benang merah. Yang perlu digaris bawahi bahwa Indonesia telah mendatatangani kedua deklarasi tersebut.

Hanya saja, yang diratifikasi adalah Udanng-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984, Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women)

Namun tentang penjabaran atau implementasi dari Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan apakah sudah tertuang dalam beberapa undang-undang dan peraturan pelaksana lainnya, saya gak tau. Namun  yang saya tahu yaitu UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Saya gak periksa lagi undang-undang yang ada relevansinya dan peraturan pelaksanaannya. Ntar dikomplitin yaa...

Nah! Sedangkan yang diharap-harpkan sampai saat ini, yaitu ratifikasi konvesi Organsisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization atau ILO) Nomor 190 tahun 2019 tentang penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di dunia kerja.  Ini dia yang menurut saya pak Menteri Nadiem keduluan.

Adapun Konvensi ILO No 190 tersebut adalah mendorong hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan dan dan pelecehan berbasis gender, terutama untuk kaum perempaun. Sesuai pemberitaan tribunews.com (29 Juni 2021) bertajuk RI Dukung Ratifikasi Konvensi Ilo 190 Soal Penghapusan Pelecehan dan Kekerasan di Dunia Kerja. Lho malah cuman mendukung? Ratifikasi atau pengesahan dalam undang-udangnya mana? Jangan-jangan udah ada, dan saya kelewatan. Mohon koreksi.

ILO memang telah menunjukkan kepeduliannya melalui konvensi ILO 190 tentang kekerasan dan pelecehan dan rekomendasi nomor 206 yang menyertainya.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan (Menaker),  Ida Fauziyah, tindakan kekerasan dan pelecehan seksual dimanapun termasuk di tempat kerja, tidak dapat diterima.  Memastikan hak setiap pekerja, termasuk pekerja perempuan bebas dari kekerasan dan pelecehan perlu dilakukan oleh semua pihak.  Baik dari pemerintah sampai ke akar rumput masyarakat.

Jika Negara meratifikasi konvensi tersebut maka ada sejumlah kebijakan yang harus dibuat seperti strategi untuk mencegah dan mengpaus kekerasan seksual, peraturan tentang adanya sanksi dan tentu saja dapat memastiakan adanya akases untuk pemulihan dan pendampingan pada korban

Baca deh Hasil Convesi ILO 190 tentang kekerasan dan pelecehan dan rekomendasi nomor 206 yang menyertainya. Serta hasil Konferensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional, yang telah diselenggarakan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan telah bertemu dalam Sesi ke-108 (Seratus Tahun) pada 10 Juni 2019.

Baca semua deh, kalo entar diratifikasi berarti pemerintah wajib menjalankannya. Ini yang saya  pikir pak menteri keduluan sebelum ratifikasi, sekalipun sudah sejalan dengan Undang-Undang lain di atasnya.

Kelihatan kok, dalam Pemendikbudristek tersebut tepatnya pasal 1 disebutkan bahwa Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Nih saya kasih bonus lainnya, buat informasi dan boleh jadi pengetahuan,

Berdasarkan catatan Konsep -- International Expert Group Meeting on Combating violence against indigenous women and girls: article 22 of the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples". United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues. 20 January 2012.  Sebagi bagian dari Declaration on the Elimination of Violence Against Women atau Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (disingkat DEVAW ) yang diadopsi  oleh Majelis Umum PBB di 48/104 sebagai resolusi 20 Desember 1993.

Pertemuan Kelompok Pakar Internasional tentang Pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan adat pada Pasal 1 dan 2 DEVAW memberikan "definisi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang paling banyak digunakan";  klaim ini diamini oleh Jacqui True

Pasal Satu:

Untuk maksud Deklarasi ini, istilah " kekerasan terhadap perempuan " berarti setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

Pasal Dua:

Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak terbatas pada, hal-hal berikut:

  • Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan , pelecehan seksual terhadap anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasan terkait mas kawin, pemerkosaan dalam perkawinan , mutilasi alat kelamin perempuan dan praktik tradisional lainnya yang berbahaya bagi perempuan, kekerasan non-suami dan kekerasan yang berkaitan dengan eksploitasi ;
  • Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum, termasuk pemerkosaan , pelecehan seksual , pelecehan dan intimidasi seksual di tempat kerja, di lembaga pendidikan dan di tempat lain, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa
  • Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan oleh Negara, dimanapun itu terjadi.

Kemudian tambahkan lagi nih dari komas perempuan,

Terdapat 15 sesuai hasil penelitian dan rekomendasi yang berjudul Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan yang di Susun Oleh Desain oleh Thoeng Sabrina dari Universitas Bina Nusantara yang dipersemabhkankepada komnas perempuan. Kemudian diklaim sebagai hasil pemantauan  yang ditemukan Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998-- 2013), yang selanjutnya digunakan Komnas Perempuan sebagai pedoman adalah sebagai berikut :

  • Perkosaan;
  • Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
  • Pelecehan Seksual;
  • Eksploitasi Seksual;
  • Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
  • Prostitusi Paksa;
  • Perbudakan Seksual;
  • Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
  • Pemaksaan Kehamilan;
  • Pemaksaan Aborsi;
  • Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
  • Penyiksaan Seksual;
  • Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual;
  • Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
  • Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Diberikan catatan bahwa Kelima belas bentuk kekerasan seksual ini bukanlah daftar final, karena ada kemungkinan sejumlah bentuk kekerasan seksual yang belum kita kenali akibat keterbatasan informasi mengenainya. Unrtuk kaitannya dengan hal ini dengan  Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi  akan kita bahas dalam beberapa bagian yang relevan.

Nah untruk lengkap 15 jenis kekerasan seksual di atas, googling aja deh ya. Dan di baca juga statistik tentang pemasalahan dimasyarakat yang melatar belakangi diundangkannya ,  Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.

Mari kita sama-sama belajar dan memahami, jika gak puas, jangan pakai demo ya buat Negara ini tentram dikit dengan banyak persoalan yang harus kita selesaikan dan hadapi, ada tempat tuh di Mahkamah Konstitusi, untuk uji materi.... Okay?

Makasih. Boleh kok saya dicaci dan berbeda pendapat. Tapi minimal saya sudah menunaikan hak  konstitusi saya, untuk mengeluarkan pendapat tanpa rasa takut jika sesuai dengan undang-undang yang membatasinya.  So beda boleh, sepak untuk gak sepak juga afdol tuh.

P.S buat Dek. eh Pak. Nadiem, jangan terfokus pada masalah ini saja, biar staf dan bidang hukum anda menyelesaikannya.  Banyak persoalan penting dikementrian bapak yang harus dibenahi. Apalagi tinggal 2 tahun sisa jabatan anda, kalo gak kepilih lagi di periode kepemimpinan Presiden yang baru nanti.

Semangat pak!

Udah ya, kepanjangan

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun