Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menakar Batas Kewajaran Menyapa Orang Lain dengan Kata-Kata "Mesra" di Media Sosial?

15 Oktober 2021   08:58 Diperbarui: 15 Oktober 2021   09:05 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judulnya KEPO banget ya?

Eits, jangan cengir, sinis, mesem-mesem bahkan nutup artikel ini, wait.. wait.. pelase , jangan tutup dulu ya artikelnya. Tunggu bentar. 

Judul tulisan ini bukan isenk kok, seius dan beneran lho nih.  Lagian bisa menjadi diskusi sebenarnya, mau melalui bathin dan pemikiran atau di kolom komentar bahkan menginpirasi anda menulis tema yang sama.

Dan pastilah boleh dong kita berbeda pendapat lah, wong ini opini saya. Tapi dibaca dulu ya. ok?

Jadi gini, Ide ini gak ujuk-ujuk muncul dan terkesan “isenk”. Justeri ide ini saya temukan ketika membaca satu pertanyaan di situs Quora.com

Pernah berkunjung atau terdampar di situs tersebut belom?  Jadi  Quora ini, fitur utamanya adalah kumpulan peertanyaan-pertanyaan yang menjelaskan peristiwa dunia terbaru, pertanyaan yang memandu keputusan hidup yang penting, dan pertanyaan yang memberikan wawasan mengapa orang lain berpikir secara berbeda.

Nah pertanyaannya di Quora yang saya temui begini,

Why do so many people, in particular women, use words like Honey, Sweetie, etc when talking to complete strangers, and even coworkers?

Kalo diterjmahin bebas kira-kira begini,  “Mengapa begitu banyak orang, khususnya wanita, menggunakan kata-kata seperti Honey, Sweetie, dll saat berbicara dengan orang asing, dan bahkan rekan kerja?”

Nah kalo di Indonesia, biasanya kata-kata Honey atau Sweetie, diungkapkan macam, selainada yang menggunakan kata-kata yang sama misalnya honey, hon, atau sweetie, juga ada panggilan say, sayang, beb, apa lagi? Anda mungkin lebih tau dari saya.

Yang sedang bekerja, dan pernah bekerja pada satu perusahaan atau institusi, mungkin pernah melakukannya. Minimal sama yang deket atau kepada bawahan yang ada sangat menghargai kerja kerasnya.

Lalu apa hubungannya?

Pasti ada hubungannya lah.  Apalagi Media Sosial, lebih tersembunyi dari dunia nyata. Sehingga apa yang kita lakukan di dunia maya mungkin saja dapat maksud dan bermakna berbeda. 

Kebiasaan kita latah atau sudah terbiasa melontarkan kata-kata tersebut begitu saja di dunia nyata, bisa terbawa kebiasannya di dunia maya.  Namun karena lebih tertutup, ada juga  yang serius dengan tujuan dibaliknya. Tentu hal ini akan membawa konsekwensi tersendiri. Untuk hal ini, beserta  dampaknya, ntar aja kita bahas pada bagian akhir.

Bagi sebagian besar dari kita, baik pria dan wanita, beranggapan bahwa ucapan seperti itu karena kita diajari untuk berperilaku sopan (kebanyakan teman-teman saya di LN juga begitu), bahkan sebagai tanda hormat, untuk memanggil seseorang yang kita kenal dan secara emosional dekat? Bener gak?  Tergolong kata-kata sopan kah untuk orang yang secara emosional kita kenal secara dekat. Bagaimana dengan budaya kita di Indonesia?

Untuk orang yang gak  kita kenal,  panggilan mesra seperti itu serasa janggal  rasanya, tul gak? Itu kalau membaca postingan orang. Kalau kita sendiri gimana? Apalagi dialamtkan kepada orang baru pula yang baru kita kenal di dunia maya. Ntar anda jawab saja di deh!

Dalam hal ini saya gak bisa menjustifikasi salah dan benar, atau wajar dan gak nya. Namun dalam pengalamn saya, ada yang menganggap hal tesebut biasa saja dan wajar. Tapia da pula yang betul-betul menjaga cara ia bertutur dan mengirimkan pesan kepada orang lain, dengan benar-benar menjaga harga diri dan kehormatannya. Tapi jangan salah, ada yang agresif dalam pemilihan kata. Kalo cowok sih kadang dianggap biasa, nah kalau cewek?

Jika saya ditanya balik, lho malah jadi senjata makan tuan nih! Ya saya pernah tapi gak begitu sering dan pada orang-orang tertentu saja yang memang memiliki hubungan emosional alias udah kenal, ketemu dan deket bahkan sebagian besar adalah temenan. Jika pada orang lain yang saya gak kenal, kata-kata seperti itu gak bakal terucap baik lewat pembicaraan telepon, sms atau chat messenger.

Apalagi menurut saya memang gak pantas menyapa pada orang yang telah bersuami sekalipun deket, eh.. ada ding, satu dua orang. Ngaku ah!. Tapi ya tentu dengan jenis panggilan mesra yang biasa-biasa saja,  atau yang ringkas, misalnya “ok deh say..”

Kalo untuk orang yang saya ngincer, atau isengin. Kayaknya gak ada tuh? Emang gak ada yang ta incer. Diincer malah. Upsss! Hehehe. Udah tua gini, masih gaya, aja. lanjut..  Lagian saya memang memegang prinsip bahwa chat atau telepon bisa saja di rekam. Screenshot, dan dapat disalahgunakan, jadi so pasti gak akan melakukan kata-kata mesra, rayuan dan sebagainya. (Malu sama anak).
Apalagi  yang saya sangat menghindari, jika sampai terbaca oleh suami atau pacar bagi mereka yang udah punya ikatan hubungan cinta kasih, saya gak mau penyebab persoalan bagi mereka, sekalipun dianggap masalah kecil. Lebih dari itu, memang saya gak mau jejak digital saya, nantinya merugikan diri saya dimasa depan.

Dari apa yang saya jelaskan di atas, tentu anda bisa menilai sendiri karena dalam adanya hubungan “ketertarikan” khusus di media sosial, seseorang yang baru anda kenal. Wajar kemudian berusaha untuk dekat lagi, bahkan  bisa saja “jatuh hati”. Gayung bersambut anda juga tertarik. Sebaliknya  lebih bahaya jika "dimodusin" sama para predator seksual yang lagaknya sopan santun pada awalnya, mereka lebih lihai lagi.

Kata-kata seperti inilah sebagai pertanda awalnya, kita bisa terpancing atau mengukur siapa mereka tentunya, bahkan dalam hal penakar keseriusan si dia untuk menjalin hubungan dengan anda. Dan bila kata-kata tersebut menjadi hal yang biasa dan justeru mempererat hubungan anda dengan si dia, maka menurut saya apalagi bagi yang telah berkeluarga sebaiknya Hindarilah ucapan-ucapan tersebut, karena akan berlanjut pada  percakapan yang lebih intens, telepon, mengirimkan foto, hingga yang lebih serius lagi seperti terlibat dalam “sexting

Tentu saja, setiap orang memang bebas dalam berkespresi dan mengeluarkan  pendapat, bahkan kata-kata yang menurut orang lain keliru pun, gak akan berpengaruh banyak jika dalam pemahaman orang tersebut fine-fine aja, gak ada masalah. Anda juga bisa mengukur mereka yang baru anda kenal, teman sekolah bahkan mantan pacar yang ketemu lagi. Sehingga bisa memilah-milah perilaku anda yang sepantasnya untuk mereka.

Dalam catatan pengaduan dan konsultasi https://idkita.or.id, sebagian kasus pelecehan seksual secara online (ada pula yang off-line), semua dimulai dengan ketertarikan pada foto profile, kemudian dilanjutkan pada  percakapan. Dari bas-basi, kemudian merasa nayaman. Kemudian kata-kata berbau “mesra” ini akan sering terlontarkan.  Ketika sang korban (gadis), telah terbuai dengan rayuan dan “cinta buta”, maka iapun dilecehkan baik secara verbal lewat telepon maupun dalam bentuk sexting.

Untuk kasus yang kami terima seperti ini, kebanyakan orang tua, gak mau untuk terbuka ke umum (dituntut secara hukum). Mereka lebih banyak berdiskusi dan mencari informasi dan petunjuk untuk menemph rehabilitasi secara physics. Kemudian kami akan menhubungi psikolog atau kementrian terkait untuk dapat menangani sang karbon dengan baik.

Lebih jauh, pertanyaan berikutnya adalah, Does using social media make you more likely to cheat?  Atau “Apakah dengan menggunakan media sosial membuat anda cenderung untuk selingkuh?

Para ahli mengatakan bahwa jejaring sosial telah memudahkan orang-orang cenderung berselingkuh dari pasangannya, baik yang sudah dikenal maupun yang sebelumnya gak  dikenal.

"Media sosial tampaknya telah menambahkan bahan bakar ke api perselingkuhan," kata Joyce Marter, seorang psikoterapis berlisensi dan CEO dari praktik konseling Urban Balance yang berbasis di Chicago. "Jika berhbungan dengan seorang Mantan,  kenakangan alama dapat membara kembali, hanya dengan sekali klik. Batas hubungan bisa menjadi kabur. Misalnya, kapan suatu pesan bisa melewati batas kemudian menjadi perselingkuhan emosional?"

"Bagi orang-orang yang secara moral bersedia dan termotivasi untuk menggunakan media sosial menawarkan kesempatan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk terlibat dalam perilaku gak setia," Menurut Benjamin Karney, seorang profesor psikologi sosial di University of California di Los Angeles yang telah mempelajari secara ekstensif hubungan interpersonal dan pernikahan (chicagotribune.com, 2016) . "Anda bahkan gak  perlu menemukan seseorang yang ada di lingkungan Anda. Anda dapat menggoda dan bertukar komunikasi seksual dengan siapa saja yang bersedia melakukannya di planet Bumi yang memegang smartphone." Lebih lanjut katanya.

Nah jika anda telah terlanjur “terjerumus” dalam perselingkuhan fisik dan hati/perasaan. Tentu dalam agama dan norma apapun, merupakan sebuah pelanggaran berat. Oleh karena itu, sekalipun banyak data yang menunjukan peningkatan perceraian yang diakibatkan oleh media sosial atau lebih tepatnya smatphone dengan aplikasi chat messenger.

Sudah saatnya anda katakana untuk berhenti dalam hubungan terlarang tersebut. Gak ada hubungan selingkuh yang berumur panjang, hanya karena keinginan secara fisik. Kecuali persoalan keluarga menjadi kompleks.

Mengapa  harus hentikan hal tersebut sesegera mungkin?

Karena, dalam kenyataannya seseorang yang pasangannya telah berselingkuh baik udah ketahuan maupun masih sebatas rumor, pada banyak kesempatan, tetap dalam pernikahan? Dalam banyak hal,

Menurut para pakar,  "Sejarah dan ikatan yang dibangun antara pasangan tgak  hilang begitu saja ketika pasangan berselingkuh," kata Tyler Fortman, psikolog klinis berlisensi dengan penyedia konseling hubungan yang berbasis di Chicago, Couples Counseling Chicago. (chicagotribune.com, 2016). "Sebagian besar waktu, ikatan cinta itu, dan cinta yang berlanjut atau dengan harapan bahwa cinta akan dinyalakan kembali, yang membuat hubungan tetap bersama."

Beberapa orang takut akan konsekuensi negatif dari kemungkinan kehilangan hubungan, seperti ketidakstabilan keuangan, dampak pada anak-anak, atau perubahan status atau jaringan sosial.  Beberapa orang melihat semua yang telah mereka investasikan dalam hubungan mereka, seperti waktu, uang, menciptakan rumah, keluarga, dan jaringan sosial. Beberapa orang memiliki keyakinan budaya atau agama yang memotivasi mereka untuk bertahan dalam pernikahan."

Jadi anda memiliki peluang untuk memperbaiki semua itu,

Ini opini saya ya, kita bisa saja berbeda. Namun biarlah perbedaan itu membawa kita pada sebuah kebaikan.

Bagai api dalam sekam, padami jangan memulai sesuatu yang berujung pada penyesalan yang panjang

Semoga Berguna

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun