Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kapitan Jonker vs Sultan Hamid II, dalam Kelayakan Menyandang Gelar Pahlawan

29 September 2021   08:39 Diperbarui: 30 September 2021   03:32 3543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah lagi, sejarah lagi. Saya jadi bingung sendiri sama diri saya, eits.. suka-suka saya dong ya!

Tapi jujur entah kenapa, belakangan ini  rasa-rasanya jemari ini mulai berenergi kembali untuk menulis, padahal sudah cukup lama vakum dalam menulis, khususnya sebagai blogger. Buset deh, lebay bangat ya?

Namun kali ini genre tulisan saya berbeda seperti biasanya. Entah karna kurang bahan atau mungkin ada trigger yang mendorong saya menulis soal sejarah kali ini.  Padahal sekalipun suka baca sejak dulu, namun belakangan ini saya kurang meluangkan waktu untuk membaca berbagai literatur, baik buku, jurnal dan artikel online tentang update sejarah zaman kolonial. Bukan pada zaman perjuangan ketika nama Indonesia sudah ada.  

Tapi tunggu dulu, saya bukan ahli sejarah, bukan pula memiliki pengalaman penelitian sejarah, apa lagi itu, jauh! Bisanya menganalisa dan beropini, dari yang sederhana hingga yang paling liar. Jadi, paling copot sana, copot sini dan dirangkum sebagai opini saya pribadi, sekalipun ujung-ujungnya menelan konsekwensi bakal "digilas" para penulis lain, sejarawan atau akun anonym lainnya. Tapi bodo ah, udah tanggung dikepala. Resiko dicacipun harus diterima. Siapa suruh nulis genre ini? Jadi bebas anda mengritik nantinya.

Nah kali ini, mungkin dilatar belakangani adanya suara dalam kesunyian tentang adanya upaya berbagai elemen masyarakat, sejahrawan, pemerintah daerah dan khususnya para keluarga pewaris pelaku sejarah bangsa ini. Tentu saja hal ini sudah menjadi hak mereka bukan? Jadi sah-sah saja. Asalkan sesuai dengan syarat dan prosedur menurut UU No. 20 Tahun 2009, tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Di intip dari Wikipedia, Kerangka undang-undang untuk gelar pada awalnya menggunakan nama Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dibuat pada saat dikeluarkannya Dekret Presiden No. 241 Tahun 1958. Dan gelar pertama dianugerahi pada 30 Agustus 1959 kepada politisi yang menjadi penulis bernama Abdul Muis, yang wafat pada bulan sebelumnya.

Nah, ada berapa sih jumlah pahlawan Nasional hingga saat ini? Kalo menurut daftar pahlawan yang dipublikasikan melalui situs kemensos.or.id terdapat 191 nama Pahlawan Nasional lengkap dengan No surat Keputusannya.

Rinciannya, dari Wikipedia lagi sumbernya, disebutkan bahwa terdapat 176 pria dan 15 wanita telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional, yang paling terbaru adalah Arnold Mononutu, Baabullah, Machmud Singgirei Rumagesan, Raden Mattaher, Soekanto Tjokrodiatmodjo, dan Sutan Mohammad Amin Nasution pada tahun 2020.

Karena pengajuan sebagai pahlawan Nasional syarat hingga nantinya prosedur lainnya harus sesuai dengan undang-undang, pertanyaannya,  selain 191 Pahlawan Nasional tersebut, apakah ada usulan seseorang (pastinya pelaku sejarah) yang "gagal" direstui pemerintah menjadi Pahlawan Nasional? 

Saya gak tau! Tapi yang sedang antri saya pastikan banyak! Nah, terkait siapa yang ditolak, setahu saya belakangan ini adalah Sultan Hamid II.  Perdebatannya  cukup santer, penuh polemik, pro dan kontra gegara Kemensos mengeluarkan keputusannya bahwa Sultan Hamid II "tidak memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional". Kisah dan perjuangan sejahrawan dan ahli waris Sultan Hamid II  dapat dibaca, melalui kompas.com dibawah tajuk Sultan Hamid II: Pahlawan atau Pengkhianat?  yang di publish pada  17/08/2020, 09:08 WIB.

Nah, sesuai judul tulisan ini, mungkin agak panjang sedikit tulisan opini saya pribadi kali ini, tapi saya berusaha menggali dari sumber refrensi yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Dengan menyandingkan nama besar Sultan Hamid II dengan Kapiten Jonker, yang hidup dan "berjuang"  mungkin berbeda kondisi pada zamannya masing-masing.  Bisa dinilai gak apple to apple. Namun menurut saya masih ada benang merahnya untuk melihat kepantasan mereka untuk menyandang pahlawan nasional. Kalau bertanya kenapa gak yang lain? ya kebetulan yang menjadi pilihan saya adalah kedua tokoh tersebut.

Sultan Hamid II. Foto Instagram @historia_nusantara 
Sultan Hamid II. Foto Instagram @historia_nusantara 

Sultan Hamid II

Saya memulainya dengan Sultan Hamid II terlebih dulu. Untuk berpanjang lebar menulis kembali kisahnya saya ngak akan berpanjang lebar. Baik peranan, masalah dan perjuangannya, karena publik dapat membaca sendiri bahkan menonton tayangan klarifikasi perdebatan polemik penolakan Pahlawan Nasional yang bagi ahli waris dan beberapa kalangan sempantasnya Sultan Hamid II layak menyandang Pahlawan Nasional. Anda bisa googling atau mencari rekaman video tentang hal ini melalui situs youtube.com.

Yang pasti sosok pria ganteng ini, adalah pemenang sayembara merancang lambang Negara. Karyanya dipilih dan ditetapkan sebagai lambang negara RIS pada 11 Februari 1950. Gambarnya kemudian mengalami beberapa kali perbaikan dan jadilah Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara Republik Indonesia sekarang ini. Dia diberi penghargaan dan diakui Presiden Soekarno, namun namanya seolah-olah dilupakan setelah divonis terlibat kudeta Westerling 1950 dan dituduh membunuh sejumlah menteri walau tak terbukti. Serta dituduh bersekongkol dengan Westerling dalam peristiwa APRA 1950 di Bandung serta isu kontovesial lainnya.

Konon penolakan sultan yang nama aslinya Sultan Syarif Hamid Alkadrie dari Kesultanan Pontianak sebagai pahlawan nasional,  salah satunya  ketika muncul perseteruan antara Kesultanan Pontianak dengan A.M. Hendropriyono, dalam sebuah video yang diunggah di saluran Youtube Agama Akal TV, dimana Hendropriyono menyebut bahwa Sultan Hamid II adalah seorang pengkhianat, jangankan sebagai seorang pahlawan. Kejam? boleh jadi. 

Sang Sultan juga disebut juga bukan perancang lambang negara Garuda Pancasila. Sehingga akumulasi persoalan, berbuntut tak sedap, dimana pihak Kesultanan Pontianak yang tentu saja geram,  kemudian melaporkan Hendropriyono ke Polda Kalimantan Barat terkait dugaan pencemaran nama baik.

Saya sempat mengikuti webinar diskusi yang berisi polemik Sultan Hamid II, bertajuk  "Sultan Hamid II, Pengkhianat atau Pahlawan?" pada 21 Juni 2020. Anshari Dimyati sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Sultan Hamid II dalam webinar nasional tersebut mengemukakan fakta bahwa Sultan memiliki banyak peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan tuduhan kepadanya adalah tidak terbukti. 

Peran sang Sultan, beberapa diantarantya adalah perundingan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun, Answari menyayangkan, peran itu justru dinafikan karena Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk sejak penyerahan kedaulatan pada KMB itu ngak dilihat secara utuh sebagai mata rantai sejarah terbentuknya  negara Kesatuan Repubik Indonesia.

Sekalipun berjibaku dan menghadirkan fakta-fakta sejarah, toh pada akhirnya, perjuangan untuk menjadikan sultan Hamid II, terganjal. Namun hingga kini masih menyisahkan banyak pertanyaan besar, apalagi melihat video youtube, dengan judul Jalan Panjang Berliku "sang Pahlawan" (Adu Data Prof Anhar Gonggong dengan Yayasan Sultan Hamid). 

Anda dapat menyimpulkan sendiri, ketika sang sejahrawan Anhar Gonggong sedikit sentimentil, gak obyektif, ketika menyinggung terbunuh keluarganya di Sulawesi, sementara menurut Anhar pada saat itu, sultan Hamid II  sedang menunaikan tugasnya  sebagai ajudan istimewa Ratu Belanda Wilhelmina pada 1946. Rasa-rasanya dengan membawa dendam pribadi untuk memverifikasi kelayakan sultan Hamid II dalam forum diskusi ilmiah, terlihat kurang elok. 

Ilustrasi perlawanan Banten terhadapVOC (kemdikbud.go.id)
Ilustrasi perlawanan Banten terhadapVOC (kemdikbud.go.id)

Kapitan Jonker (Jongker)

Kenapa pada judul saya menyinggung namanya? Karena masih hangat ketika mengikuti Webinar Festival Kapitan Jongker pada tanggal 27 September 2021 beberapa hari yang lalu. Dengan mengusung tema "Romansa Patriotisme Masa Lalu, Memperkuat Nasionalisme Masa Kini". Dimana dalam pemaparan pemerintah daerah maupun nara sumber, serta harapan masyarakat Manipa di Maluku ada kesan dan dorongan untuk mengajukan Kapitan Jongker menjadi Pahlawan Nasional.

Ditambah lagi, sehari sebelum webinar. Lagi-Lagi, oleh seorang politikus, ekonom, peneliti dan tokoh masyarakat Maluku. Ibu, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina,  yang dimuat dibeberapa situs online, dengan judul "Kapitan Jonker, Dari Perang Ke Perang".

Nah, sebenarnya dua hal ini yang mungkin menginspirasi, lebaynya mungkin yang mendorong jari saya untuk menulis tanpa ada maksud sedikitpun untuk membenturkan kepribadian atau kesukuan kedua tokoh legendaris ini.

Melalui permasalahan Perjuangan Sultan Hamid II yang gagal menyandang Pahlawan Nasional, saya mencoba menganalisa akankah sang Kapitan jagoan dalam berperang membantu VOC ini akan bernasip sama? Sebab lagi-lagi menurut saya, sekalipun mereka hidup pada kondisi zaman yang berbeda, masih ada irisan sejarah diantara kedua tokoh ini.  Berbeda dengan Sultan, untuk sososok Kapitan Jonker, apakah ada yang berani menyebutkannya penghianat seperti halanya yang dituduhkan kepada Sultan Hamid ke II?

Saya rasa ngak akan bernani. Atau ada? Kalo ada, menghianat kepada siapa? Bangsa Indonesia  yang belum terdengar namanya?  Tapi kalopun ada harus berpikir dua  kali, bahkan tujuh keliling untuk berpikir sampai di situ. Karena jelas, pada saat itu ngak terdengar di telinga Jonker bahwa adanya istilah Nusantara apalagi bangsa dan negara Indonesia.  Jika Jonker dan keluarganya melindungi negerinya dari para penjajah adalah hal wajar. Bahkan mungkin arti penjajahpun bisa ia artikan berbeda, jika mereka menyengsarakan tanah leluhurnya, yaitu Pulau Manipa, mungkin ia akan menentang mereka sebagai penjajah. Tapi daerah lain yang perlu dia lindungi pasti diluar sepengetahuannya? Tidak akan terlintas sebagai saudara sebangsa setanah air. Tanah air yang mana?  

Sehingga ngak terbantahkan fakta sejarah bahwa ia dan rombongan saktinya membantu VOC dalam menaklukan kerajaan-kerajaan yan otonom dan merdeka di "Nusantara" pada sat itu adalah benar, lagian apa hubungannya sampai kalo ada yang menyebutnya penghianat. Sekalipun terdapat romansa cerita rakyat di Betawi dan Banten mengenai sosok Kapitan yang sakti mandraguna, dan di akhir hidupnya ia berbalik melawan VOC.  Jejak sepak terjangnya membantu VOC tidak perlu dipelintir dengan karangan seolah-olah dipaksa VOC dan membantai saudaranya di nusantara. Emang dia tahu, itu saudaranya? Dasarnya apa?    

Untuk menganalisa dan membandingkan sejarah Kapitan Jonker ini,  saya peroleh dari tulisan yang disajikan Ibu Engelina, cukup runut dan detil terkait perjalanan sejaharah Kapitan Jonker dari perang ke perang bersama VOC  yang kita ketahui selama ini. Lagi-lagi kondisi ini, memaksa saya untuk mencari sumber primer dan tertua yang dapat dipakainya sebagai sebagai salah satu sumber refrensi.

Sebenarnya saya menemukan tiga refrensi utama tentang Kapitan Jonker yang disebutkan juga dalam tulisan Ibu Engelina. Namun rasanya, saya cuku[ menggunkan salah satu sumber primer dan asli, bukan catatan sejarah kemaren sore, justeru dapat dibilang cukup tua.

Adapun ketiga judul buku tersebut masing-masing adalah ud en Nieuwe Oost-Indie karya Francois Valentijn terbit tahun 1726, Geschiedenis der Nederlanders op Java of in den Nederlandsch Oost-Indischen Archipel  karya J. Rijnenberg, terbit tahun 1867 dan yang terakhir berjudul "Kapitein Jonker 1630?-1689" karya Mr. J.A. van der Chijs Terbitan Tahun 1850. Capek kan?  Kayak gak ada kerjaan kalo ngebaca eh.. menerjemahkan beberapa bagian maksudnya dari buku-buku tersebut. Ya, bagian penting sajalah.

Oleh Karena itu saya menelusuri sebagian dari buku yang ketiga. Ya, mau gak mau, sapa suruh penasaran, dengan menggunakan metode yang sama, karena sumbernya menggunakan bahasa belanda kuno, hanya bagian tertentu yang saya coba menguji (buset dah), beberapa bagian sejarah Jonker yang ditulis Ibu Engelina tersebut, terutama yang menurut saya jarang dan mungkin belum terungkap secara luas di kalangan umum. Dan merupakan pengetahuan baru. 

Tentu saja, saya juga memperbandingkan sedikit tulisan Ibu Engelina dengan beberapa refrensi yang lebih baru yang digunakan sebagai sumber rujukan pembanding yang ditulis oleh para sejahrawan, akademisi, peneliti, budayawan pengarang buku atau penulis lainnya.

Dalam hal ini, bukannya saya ngak berkeinginan mencari sumber primer dari sejarah Sultan Hamid II, namun sudah cukup banyak penulisan sejarah yang penuh dengan kontroversi, bahkan dikalangan sejahrawan sendiri.  Ditambah dengan (maaf) ditolak dirinya menjadi Pahlawan Nasional. Maka saya ingin melihat apakah keinginan yang sama untuk mengajukan Kapitan Jonker menjadi pahlawan nasional akan berujung sama, seperti halnya Sultan Hamid II. Ditolak oleh Kementrian Sosial?

Saya berusaha highlight saja mungkin bagian-bagian tertentu agar sesuai dengan judul tulisan ini.

Kisah awal Kapitan Jonker, di buku "Kapitein Jonker 1630?-1689" karya Mr. J.A. van der Chijs. mengungkapkan

Jonker was afkomstig van de negorij Toemalehoe op Manipa , een eilandje tusschen Boeroe en Kelang ten N. W. van Ambon gelegen. Zijne familie behoorde tot de aanzienlijken in die negorij en zijn vader , Kawasa (kracht, magt) geheeten , wordt door Valentijn meen bijzonder regeerzugtig man " genoemd . Deze wist zich in 1638 zoozeer in de gunst van den toen maals tijdelijk op Manipa vertoevenden Saltan van Ternate te dringen , dat hij tot Sengadji  werd verheven en voor zijn geslacht den naam Xallehoewa" verwierf Kawasa was echter door zijne geboorte niet de persoon , die als Sengadji in Toemalehoe het bestuur moest voeren, vermits dat bestuur toekwam aan een lid der familie Wellehoelan Derhalve , om aan deze familie " geen scheele oogen te geven ' verleende de Sultan te gelijker tijd den titel Sengadji aan een Orang-kaja uit laatstgenoemd geslacht. 

Jika diterjmahkan bebas dengan penyesuaian (karena bahasa belanda kuno), kira-kira dapat diartikan bahwa,

Jonker berasal dari negeri Toemalehoe di Manipa, sebuah pulau antara Boeroe dan Kelang N.W. di Ambon. Keluarganya termasuk yang terkemuka di negerinya itu. dan ayahnya, yang disebut Kawasa (kekuatan, kekuatan), disebut oleh Valentine sebagai pria yang sangat kejam. Pada tahun 1638 pria ini memutuskan dirinya mendukung Sultan van Ternate pada saat itu yang kadang-kadang tinggal sementara di Manipa dan bersikeras bahwa dia diangkat dengan gelar/nama Sengadji  dan untuk mendapatkan nama "Xallehoewa" untuk keluarganya.  

Namun, sejak lahir Kawasa bukanlah orang dengan gelar Sengadji harus menjalankan dewan di Toemalehoe, karena administrasi itu milik anggota keluarga Wellehoelan. Karena itu, agar tidak memberi keluarga ini "Squint Eyes". Pada saat yang sama, Sultan menganugerahkan gelar Sengadji pada orang kaya dari generasi pada saat itu. Tapi Kawasa secara bertahap dikenal rekannya dalam pengakuan untuk menyatakan bahwa dia mengambil semua kekuasaan atas Tumalehu. Sengadji utama di Manipa , -- karena hampir setiap negeri memiliki satu atau dua kepala dengan gelar itu, Sengadji Tuban, Negorij, yang berada di pantai selatan dari Manipa ke arah timur di Toemalehoe.

Lebih lanjut oleh Ibu Engelina dalam tulisannya menjelaskan sejarah singkat awal Kapitan Jonker, ia  lahir di Pulau Manipa namun ngak jelas kapan tanggal atau tahun kelahirannya. Manipa tepatnya berada di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku saat ini.  Ayahnya, Sangaji Kawasa merupakan orang terkemuka di Negeri Tumalehu, Pulau Manipa. Kapitan Jonker terlahir dan meninggal sebagai Muslim, memiliki dua orang anak, Pattij Lima Simar dan  Seicon atau Sjakon. Dia meninggal pada tahun 1689.

Menurut  Ibu Engelina. Pada Maret 1656, Gubernur Vlaming dan rombongan mengunjungi Pulau Manipa, yang juga diikuti Sangaji Kawasa dan Jonker. Ketika kembali dari Manipa di akhir Maret, Gubernur Vlaming membawa 30 anak muda dari Manipa yang dijadikan satu Kompi dibawa pimpinan Kapitan Raja Tahalile. Ekspedisi pertama mengarah ke Amarasi, Pulau Timor, karena perebutan pengaruh dengan Portugis atas Kupang (Benteng Concordia) dan Pulau Solor (Benteng Henricus). Di sini jelas bahwa Jonker dan kawan-kawannya di recruit oleh VOC yang dalam pemikiran saya sebagai Tentara Bayaran, yang memang terbukti keberanian dan kesaktiannya.

Dari sekian banyak ekspedisi,  yang tentu diwarnai dengan ekspansi dan perang membantu VOC  untuk menguasai (Nusantara?) dibantu oleh pasukan Ambon yang dikomandani oleh Jongker. Dalam bagian ini, saya juga akan menyelaraskan dengan catatan sejarah diluar yang ditulis Ibu Engelina, sebagai pembanding nantinya.

Setelah kemenangan VOC atas Sumatra Barat, kini VOC memfokuskan kekuatannya untuk menyarang Gowa. Belanda bersama Arung Palakka dan Kapten Jonker serta beberapa sekutunya kemudian mulai menyerang Kerajan Gowa pada tanggal 21 Desember 1666.

Selama beberapa bulan peperangan, serangan besar-besaran itu mengakibatkan kekalahan kerajaan Gowa. Raja Gowa, Sultan Hasanuddin kemudian terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667.

Sumber yang saya ambil secara mentah-mentah saja dari Wikipedia namun terkonfirmasi. Yaitu dimana tiga Jagoan yaitu seorang Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker, ketiganya memiliki sejarah penaklukan yang membuat nama mereka menjadi legenda. 

Speelman, misalnya menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu setelah terjadinya Perjanjian Bongaya yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada tanggal 18 November 1667.

Pada 23 April 1681, Kapitan Jonker mendapat kehormatan penyematan rantai dan medali emas di Kastil Batavia. Acara yang khusus pemberian penghargaan itu dihadiri Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens, Dewan Hindia dan semua petinggi di Batavia. Penghargaan VOC itu sebagai jasa Kapitan Jonker dalam berbagai ekspedisi VOC di berbagai tempat.

Jelas di sini dan menjadi catatan yang sangat penting, seorang Jongker sekalipun mencintai tanah kelahirannya dari upaya penjajahan VOC yang ditunjukan oleh perlawanan ayahandanya tercinta, namun dalam sejarah tercatat ikut terlibat dalam membantai penduduk nusantara ini atas kepentingan VOC,  atau  saya sebutkan saja warga dan penguasa Nusantara pada saat itu yang berupa kerajaan-kerajaan otonom, mandiri dan merdeka. Apalagi ikut terlibat menggulingkan Sultan Hasanudin yang juga seorang Pahlawan Nasional?

Di sinilahlah paradoksnya dimana situasi yang timbul dari sejumlah premis yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan menuju ke sebuah kontradiksi. Situasi dimana pernyataan benar dan salah pada saat yang bersamaan. Bagaimana seorang calon Pahlawan dapat dikukuhkan berdampingan dengan Pahlawan lain yang pernah dia tumbangkan bersama VOC?

Sampai di sini, bukannya saya mendahului hasil akhir dari upaya menjadikan Kapitan Jonker menjadi pahlawan nasional, sekalipun cerita dan catatan sejarah yang beredar di kalangan penduduk dan tokoh masyarakat Batavia dan Banten memuat sejarah manis ketika sang Jagoan Ambon berbalik melawan VOC dimasa akhir hidupnya?

Sebab dalam tulisan Ibu Engelina, disebutkan Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa di Kesultanan Banten sejak 1651, ngak bersahabat dengan VOC, justru sering menjadi lawan VOC. Oleh karena itu VOC melalui Kolaborasi Pasukan Kapten Tack dan Kapitan Jonker menyerang Sultan bahkan ngak membutuhkan waktu lama untuk menyergap Sultan Tirtayasa, hanya embutuhkan waktu sekitar satu pekan untuk menduduki markas Sultan Tirtayasa, sehingga Sultan menghindar ke wilayah Pandeglang. Pada tahun 1692, Sultan Tirtayasa ditangkap dan meninggal di Batavia.

Kekalahan Sultan Tirtayasa menyebabkan, pendukungnya berbalik badan (mengalah pada VOC tentunya). Salah satunya ditandai dengan  kunjungan Kiai Demang Singa Wilodra alias Buleleng bersama dengan pendukungnya mendatangi Kapitan Jonker dan mereka menerima perlakuan yang baik. Sementara Jonker dan pasukannya kembali ke Batavia pada Februari 1683 dengan semangat kemenangan.

Akan tetapi, ada benarnya Jonker berbalik badan. Seperti yang dituliskan dalam Tulisan Ibu Engelina, bahwa roda cepat berputar.  Sebab, ngak sampai satu tahun dari kemenangan itu, Gubernur Jenderal Cornelis Speelman, teman dekat dan sang jagoan belanda itu meninggal pada 11 Januari 1684. Jonker kehilangan pegangan. Ngak cukup di situ, Kapitan F Tack juga segera menyusul Speelman, meninggal dunia.

Situasi berubah drastis, karena Kapitan Jonker dan Pasukan Ambonnya mulai terlupakan. Jasa besar Kapitan Jonker seolah ngak berbekas. Apalagi, pengganti Speelman, Gubernur Jenderal Johannes Champuys ngak memiliki hubunngan dengan Kapitan Jonker dan mungkin ngak mengetahui jasa Kapitan Jonker bagi Kompeni (VOC).

Nama jonker mulai dihilangkan, baik di Pemerintah Tinggi maupun catatan harian Kastil Batavia. Begitu juga pasukan Ambon ngak muncul lagi dalam berbagai dokumen, meski pasukan pribumi lain masih tetap tercatat. Kapitan Jonker ngak pernah lagi muncul, selain selama beberapa tahun ngak ada ekspedisi dari Batavia.

Semua rencana serangan dan detail peta muncul di pusaran kekuasaan, yang mungkin saja Kapitan Jonker ngak tahu-menahu dengan semua itu. Pasukan disiapkan untuk menyerang Kapitan Jonker di Marunda, yang dipimpin Panglima van Sloot dan Wanderpoel.

Kondisi Kapitan Jonker meski datang dengan pasukannya tetapi ngak menunjukkan persiapan untuk berperang. Tetapi, ketika berjumpa Letnan Holscher spontan menyerang Kapitan Jonker. Jonker menghembuskan napas terakhir pada 24 Agustus 1689.

"Tindakan tersebut, yang disebabkan oleh semua rumor yang benar, setengah benar, dan salah tentang Jonker". Begitu tulisan Mr. J.A. van der Chijs setelah memeriksa semua informasi mengenai Kapitan Jonker. Lebih lanjut Ibu Engelina menulis.

Untuk melihat makam Kapitan Jonker masih ada sampai saat ini di Marunda, Jakarta. Pada masa lalu wilayahnya itu dikenal sebagai Kampung Pejonkeran dan juga ada "Soemoer Penjokeran" yang sangat jelas mengacu kepada nama Kapitan Jonker.

Pra Kesimpulan

Jadi sekali lagi, dengan segala keterbatasan saya dalam menilai dan menganalisa sejarah yang tentunya disajikan dalam berbagai versi. Sekalipun akan menjadi cacian dan kritikan pedas oleh teman bahkan rakyat Manipa khususnya dan Maluku pada umumnya, adalah sebuah konsekwensi seorang penulis yang harus saya terima karena seolah-olah meramalkan bahwa Kapitan Jongker bakal bernasib sama dengan Sultan Hamid ke II dalam uapaya menyandang gelar Pahlawan. Ya, jujur, lebih baik apa adanya, daripada dibelakang hari berujung kekecewaan? Boleh kan?  

Apa yang saya paparkan adalah berasal dari berbagai sumber, saya hanya kebagian analisa dan beropini saja. Khususnya memadukan versi sejarah Sultan Hamid II dan Kapitan Jonker, sekali lagi, sekalipun hidup pada waktu dan zaman yang berbeda kondisinya, salah satunya belum dikenall namanya Hindia Belanda pada saat hidup Jonker. Namun keduanya memiliki irisan sejarah yang sama, dan pada ujungnya kemungkinan akan bernasip yang sama, paling ngak bagi warga dan ahli waris yang sedang bersemangat menjadikan tokoh pejuangnya sebagai Pahlawan Nasional. Kecuali dalam keadaan yang extraordinary dianggap penting oleh sang penguasa, hasilnya bisa saja berbeda.  Argumen ini  akan saya sajikan berikut dari kaca mata seorang sejahrawan muda dan memiliki pemikiran terbuka dan kritis, yaitu J.J Rizal dibawah ini.

Carut Marut Anugerah Pahlawan Nasional

Dikutip dari, historia.id, dengan tajuk berita "Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional" yang ditulis Oleh Andri Setiawan pada tanggal 22 Jun 2020, menulis lebih lanjut pendapat sejahrawan J.J Rizal tentang pemberian gelar Pahlawan Nasional

Saya sepertinya sepakat dengan apa yang diturkan oleh sang sejarawan muda ini, J.J Rizal menyoroti mengenai kontroversi gelar Pahlawan Nasional yang sering terjadi Indonesia. Di mana persoalan gelar Pahlawan Nasional bukan hanya perihal sejarah, melainkan juga politik. Ia mencontohkan misalnya, pada 2004 muncul kontroversi kepahlawanan Sultan Hasanuddin setelah terbit buku biografi  The Heritage of Arung Palaka yang ditulis oleh Leonard Y. Andaya.

Menurutnya, dalam buku tersebut, digambarkan bahwa kejatuhan Sultan Hasanuddin dirayakan besar-besaran oleh masyarakat Bone karena dianggap sebagai kejatuhan seorang diktator. Padahal Sultan Hasanuddin telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada era Sukarno. Wacana kepahlawanan Sultan Hasanuddin pun menjadi polemik. (Bandingkan dengan catatan sejarah kejatuhan Kesultanan Bone dimana Kapitan Jonker turut berperan)

Hal lain yang dikemukakannya, tentang terjadinya polemik pada 2007 tentang kepahlawanan Imam Bonjol setelah terbit cetak ulang buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan dan  Greget Tuanku Rao dari Basyral Hamidy Harahap. Dari situ, muncul kritik keras terhadap kepahlawanan Imam Bonjol karena dianggap menggunakan kekerasan secara masif di Minangkabau dan Batak.

Menurut Rizal, kekritisan terhadap sejarah itu muncul dan menimbulkan kontroversi terkait kepahlawanan ngak terlepas dari semangat Reformasi.

Menurutnya ketika Orde Baru lengser, B.J. Habibie sebagai presiden baru memberikan Bintang Mahaputra kepada Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir. Padahal, dua tokoh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) itu pada era Sukarno dan Soeharto dianggap sebagai pemberontak.

Pasca Reformasi, narasi sejarah kedua tokoh tersebut memang berubah. Ada usaha-usaha untuk membersihkan nama baik dua tokoh tersebut. Hingga pada 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Sementara Sjafruddin ditunda karena ada kemungkinan kontroversi akan membesar. Sjafruddin baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2011.

Tapi menurut Rizal yang paling menarik menurut aalah bagaimanapun ada semangat lebih serius terkait pemberian gelar pahlawan. Ada peninjauan ulang terhadap latar belakang historis dari tokoh yang diajukan sebagai pahlawan.

Lebih lanjut menurutnya bahwa, Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kemudian juga menghapus Undang-Undang No. 33 Prps Tahun 1964 yang mencantumkan kriteria "karet" bahwa calon Pahlawan Nasional ngak boleh melakukan perbuatan yang mencederai perjuangannya. Yang pada masa Orde Baru ditafsirkan sesuai dengan kepentingan penguasa.

Berubahnya narasi sejarah Natsir dan Sjafruddin, menurut Rizal, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yang pertama, citra sejarah seperti apa yang ingin dihadirkan dan tengah menghadapi persoalan apa pemerintah saat itu. Lalu ada semangat berdamai dengan sejarah dan politik literasi dari para intelektual dan politisi.

Kemudian, ada riset sejarah besar-besaran mengenai penjernihan narasi sejarah. Dan terakhir, ada penerbitan ulang karya-karya tokoh terkait secara stimulan dan orang bisa membaca kembali tentang tokoh tersebut.

Jadi kesimpulannya, menurut Rizal adalah proses pemilihan pahlawan ini adalah peristiwa politik. Lebih banyak urusan politik daripada urusan sejarah tapi bukan menafikan sama sekali urusan sejarah.

Wallahualam, sebuah keniscayaan bahwa segala sesuatu bisa saja terjadi menurut selera pemilik mandat dan kekuasaan pada masanya. Dimana seharusnya dapat menempatkan pelaku sejarah pada masa lalu, tergantung "kacamata" mana yang digunakan, seperti kata Ibu Engelina menutup akhir tulisannya.

Semoga menjadi wacana dan membuka wawasan bersama

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun