Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kasus IM2: Vonis Sesat untuk Indar Atmanto

14 Januari 2014   02:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:51 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_315645" align="aligncenter" width="600" caption="(ANTARA News/Wahyu Putro A)"][/caption]

Upaya banding untuk mendapat keadilan oleh Indar Atmanto, mantan Dirut IM2, Penerima Penghargaan Satyalancana dari Presiden atas jasanya mengembangkan industri internet di tanah air, justru oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya dari 4 tahun penjara menjadi 8 tahun penjara dan  membebaskan PT Indosat Mega Media (IM2) dari hukuman uang pengganti Rp 1,3 triliun. Putusan banding yang dibacakan pada 12 Desember 2013 ini tentu saja mengejutkan banyak pihak.

Logika hukum putusan banding dianggap aneh, jika majelis berpendapat bahwa yang harus dihukum dan membayar kerugian negara adalah Indosat, bukan pribadi Indar, mengapa Indar harus menanggung hukuman ini? Indar bertindak selaku direktur atas nama perusahaannya. Maka seharusnya pengadilan ini bukan untuk mengadili pribadi Indar, melainkan perusahaan tempatnya bekerja.

Selama proses peradilan, karena isinya adalah perdebatan masalah teknis yang cocok menjadi acara debat ilmiah telekomunikasi, tanpa menyadari bahwa ada tersangka yang duduk menunggu kepastian nasib akan menjadi koruptor atau orang merdeka. Sambil bertanya-tanya "Sidang ini mengadili saya atau PT IM2?" Inilah posisi dan perasaan Indar untuk mencari keadilan hakiki, begitu pilu ketika ia menerima kenyataan adanya menambahan hukum dua kali lipat dalam proses banding

Dibanding Indar, sang pelapor perkara ini, Denny AK, justru divonis bersalah dengan hukuman 18 bulan penjara karena terbukti memeras Indosat.

Pengamat hukum dari Universitas Trisakti Andi Hamzah mengaku ada kejanggalan (tempo.co, 06/01/2014), Menurutnya secara logika hukum pengadilan tingkat banding seperti Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung tak bisa memutus hukuman lebih berat dari putusan semula di Pengadilan Negeri. Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung hanya bisa memperkuat putusan Pengadilan Negeri atau mengurangi putusan awal di Pengadilan Negeri. "Memang aneh, kenapa Pengadilan Tinggi memperberat hukuman, apa dasarnya," kata Andi

Kejanggalan lain dapat juga diketahui, seperti diberitakan majalah tempo, edisi 13 Januari 2014, kekacauan logika hukum sudah terlihat sejak Indar di adili di pengadilan Tipikor. Indar yang didakwa menyalahgunakan frekuensi 3G Indosat sehingga negara di rugikan Rp. 1,3 Triliun berdasarkan versi audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).  Dalam perjalanan proses peradilan, ternyata belakangan hasil audit BPKP mengenai kerugian negara itu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan  Tata Usaha Negara.

Atas keputusan PTUN tersebut, jaksa memodifikasi dakwaan padahal persidangan sudah berlangsung. Majelis Hakim bukannya menolak tuntutan jaksa karena dakwaan yang berubah secara tidak sah dan telah cacat hukum,  malah tidak peduli dan mengabaikannya. Jelas-jelas, Indosat terbukti sudah membayar biaya sewa frekuensi, sehingga tak ada lagi unsur kerugian negara.

Hal ini dapat dibuktikan dengan surat Menteri Kominfo kepada kejaksaan yang memastikan bahwa kerjasama penyelenggara Internet 3G dan IM2 yang dipermasalahkan itu sudah sesuai dengan aturan Hak negara atas pembayaran pita frekuensi yang dijadikan dasar tuntutan karena sudah dipenuhi.

Bahkan Kasus yang menarik perhatian organisasi telekomunikasi internasional Global System for Mobile Communications Association (GSMA) dan International Telecommunication Union (ITU). Keduanya telah menyatakan bahwa model bisnis kerjasama Indosat dan IM2 adalah sah dan sesuai dengan peraturan yg ada. (kompas.com 5/1/2014)

Menurut Ir. Nonot Harsono melalui buku "Kuliah Telekomunikasi di Pengadilan TIPIKOR" (Indonesia Center for Telecommunication Law- ICTL, 2013. Halaman 5). untuk melihat persoalan ini secara obyektif, Majelis Hakim  dituntut memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup di bidang telekomunikasi dan segala persoalan teknisnya. Untuk belajar ilmu dasar telekomunikasi secara kilat,  tentu saja  tidak akan cukup bila melihat waktu dan kondusif  belajar ilmu dasar telekomunikasi di Pengadilan Tipikor karena tata cara pengadilan yang telah baku tidak akan memberikan suasana belajar yang semestinya. Perkara yang amat sederhana di luar pengadilan menjadi amat mencekam di dalam Penadilan Tipikor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun