Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

FITRA: DPRD dan Eksekutif 'Kongkalikong' Perkaya Diri dan Partai

1 Oktober 2012   04:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan ini disampaikan oleh Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), Uchok Sky Khadafi, seperti yang diberitakan VIVAnews, hari ini.

Menurutnya, "DPRD lumpuh, karena mereka bukan melakukan pengawasan terhadap eksekutif, tapi lebih bekerja sama dengan eksekutif untuk mencari materi dari program-program APBD demi kebutuhan pribadi dan partai mereka.

Tak heran kalau pendapat ini benar,  pasalnya sesuai data Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan ) untuk Semester II  Tahun 2011 menunjukan  Total kerugian negara dari seluruh provinsi, menurutnya  mencapai Rp 4,1 triliun.

[caption id="attachment_215555" align="aligncenter" width="601" caption="Sumber : Data Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan ) untuk Semester II Tahun 2011"][/caption]

Setelah mencari-cari angka kerugian tersebut, melalui laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK, saya sendiri belum dapat merangkumkannya dengan tepat, Namun jika angka ini dipakai sebagai pegangan kerugian negara, maka anda perlu juga melihat tabel laporan BPK untuk periode yang sama, dimana disebutkan bahwa rincian temuan pemeriksaan BPK secara keseluruhan selama semeter II tahun 2011 yang meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinereja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, memperlihatkan terjadinya 12,612 kasus dengan total nilai sebesar Rp. 20.255 Triliun. Khususnya untuk kasus pemeriksaan keuangan sendiri berjumlah 4.507 dengan nilai Rp. 1.741.780.000.000. Sedangkan untuk kerugian negara/daerah/perusahaan sebanyak 2.319 kasus senilai Rp. 1,66 triliun (baris pertama tabel di atas).

Jika diamati lagi terlihat adanya selisih kerugian negara dengan sebesar 3,56 Triliun antara tabel di atas dengan laporan Fitra. Lalu dimana sisanya? Mungkin Fitra telah merangkumkan secara detil, karena diakhir laporan BPK, terdapat banyak tabel lampiran yang dapat saja dikelompokan oleh Fitra sebagai kerugian negara.

Terlepas dari perbedaan data yang belum saya temui secara tuntas, jika nilai yang disebutkan dapat diterima dengan berbagai pertimbangan, maka perlu diketahui penyebab terjadinya kerugian negara tersebut.

Menurut BPK dalam laporan resminya tersebut, penyalahgunaan keuangan negara disebabkan karena adanya belanja fiktif, kekurangan volume pekerjaan dan atau barang, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume, pemahalan harga (mark up), pembayaran honorarium dan atau biaya perjalanan dinas ganda, fiktif dan atau melebihi standar dan penggunaan uang untuk kepentingan pribadi. Untuk jelasnya dapat dilihat pada grafik di bawah.

[caption id="attachment_215556" align="aligncenter" width="504" caption="Sumber : Data Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan ) untuk Semester II Tahun 2011"]

1349065123674507939
1349065123674507939
[/caption]

Sebagai catatan penting, jika kita kembali ke tahun 2005, berdasarkan hasil pemeriksaan tahun 2005 sampai dengan tahun 2011, BPK telah memberikan rekomendasi  temuan sebanyak 216.122 kasus dengan nilai sebesar Rp. 121,34 triliun untuk ditindaklanjuti, yang hingga saat ini masih menyisakan 41.718 kasus yang belum ditindaklanjuti dengan nilai sebesar 24,37 triliun. Seperti yang dapat dilihat pada tabel hasil pemantauan BPK di bawah ini.

[caption id="attachment_215557" align="aligncenter" width="589" caption="Sumber : Data Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan ) untuk Semester II Tahun 2011"]

134906517421767435
134906517421767435
[/caption]

Walau  upaya mengembalikan kerugian negara masih terus diupayakan, namun jika dianalisa lebih lanjut terhadap beberapa fakta di atas, dapat diyakini bahwa korupsi tidak mudah diberantas dan masih menggunakan pola lama yang terus terperlihara. Lalu siapa-siapa lagi yang mampu memelihara kebiasaan ini tanpa rasa takut sedikitpun pada hukum yang berlaku tegas untuk tindak pindana korupsi?  Ada benarnya dugaan FITRA, bahwa fungsi pengawasan DPRD "tumpul" terhadap eksekutif bahkan terkesan melakukan 'kongkalikong' untuk kepentingan pribadi maupun partai.

Sebagai catatan akhir, jika kembali pada laporan FITRA seperti diberitakan Vivanews hari ini,  dari total kerugian negara sebesar Rp4,1 triliun menurut rangkuman mereka, Provisi DKI Jakarta menduduki peringkat pertama, dengan jumlah kasus sebanyak 715 dan dengan nilai kerugiaan negara mencapai Rp721,5 miliar.

Sedangkan daftar "dosa" provisi lainya disajikan oleh Vivanews untuk 33 provinsi, dengan kasus terkecil dialami provinsi Bangka Belitung dengan kerugian negara mencapai Rp 1,9 miliar.

Entahlah, apa yang akan terjadi pada hasil pemeriksaan tahun 2012 ini dan berlanjut hingga awal pemilu tahun 2014 nanti.  Mungkin jika pendapat FITRA  agak diperjelas sedikit, maka sumber pendanaan partai tak akan mungkin jauh dari upaya menggrogoti uang negara yang harus dikawalnya dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun