[caption id="" align="aligncenter" width="650" caption="nophi.net"][/caption]
Untuk mendukung argumentasi dari judul di atas, saya merujuk pada penjelasan Ahli Amandemen Pertama, Marvin Ammor (a Legal Fellow with the New America Foundation Open Technology Initiative and an Affiliate Scholar at Stanford Law School's Center for Internet & Society) yang dikemukakan di sini
DASAR
Dalam uraianya, Ammor merujuk pada PIPA , halaman 33 dan 56, dan Amandemen untuk Sopa Halaman 4 dan 20-21. Sedangkan untuk memahami referensi "registrar" and "registry", dapat melihat penjelasannya  di sini
PENGERTIAN
Ada dua hal mendasar yang saya soroti dalam uraiannya, yang pertama tentang pengertian "website" dan yang kedua adalah terkait "tool" pembantu penghindaran. Kemudian untuk melengkapinya pemahaman teknis, saya menggunakan cara kerja Google index untuk mesin pencarinya.
Pengertian website dalam RUU tersebut tidak berbicara mengenai situs dalam pengertian atau  penilaian secara umum, namun juga menyoroti bagian tertentu dari situs. Apabila bagian dari situs (misalnya sebuah halaman) memuat konten yang dinilai ilegal, maka situs secara keseluruhan dinilai atau dinyatakan telah melanggar.
"Tool" (alat) pembantu penghindaran, adalah sebuah alat atau teknik dimana pengguna dapat mengiklankan diri atau mengajak orang lain untuk mengunjungi, menggunakan, membeli atau men-download sebuah file yang dinilai ilegal dari sebuah situs yang dianggap illegal pula.
Google index adalah hasil dari sebuah proses yang dilakukan oleh Googlebot indexer dimana robot Google ini "merangkak", mencari, menemukan dan mengambil halaman sebuah web dan memberikan teks lengkap dari halaman yang ditemukan. Halaman-halaman ini disimpan dalam database indeks Google. Indeks ini diurutkan menurut abjad istilah pencarian, dengan setiap entri indeks menyimpan daftar dokumen di mana istilah itu muncul dan lokasi dalam teks mana itu terjadi. Struktur data ini memungkinkan akses cepat ke dokumen yang berisi istilah permintaan dari pengguna melalui mesin pencari. Apabila suatu situs dianggap melanggar maka undang-undang memaksa Google untuk menghapus semu hal yang menyangkut situs tersebut dari index Google.
CONTOH KASUS
Sebagai contoh kasus agar dapat memahami pembahasan ini, saya ambil contoh sebuah situs yang juga dijadikan sebagai contoh argumentasi kedua RUU ini, Â yaitu MegaUpload, yangjuga dikategorikan sebagai situs asing (di luar Amerika Serikat).
Anda pasti sudah tau bahwa pada situs ini kita dapat melakukan upload dan share aplikasi atau dokumen lainnya secara "bebas". Siapa saja dapat men-download file-file tersebut baik secara gratis atau berlangganan. Cara kerja situs inilah yang dinilai melanggar perlindungan terhadap hak cipta dan hak-hak inteletual.
Ketika situs ini dianggap illegal oleh undang-undang, maka situs tersebut harus dihilangkan dari mesin pencari apapun yang ada. Dalam contoh, Google harus menghapus semua index yang terkait dengan nama megaupload.com, agar supaya semua orang tidak lagi menemukan nama situs tersebut dari mesin pencari Google.
Sampai disitu apakah megaupload.com tidak mungkin mempromosikan diri lagi ? Tidak ! Masih ada jalan lain. Pemilik konten pada megaupload dapat membuat iklan sederhana atau memuat suatu konten yang berisi ajakan atau promosi kepada pembaca melalui situs tertentu (yang legal).
Didalam konten yang dimuat tersebut, pemilik memberikan tautan (link) kepada pembaca dimana tautan tersebut dapat saja tidak langsung mengarah pada megaupload namun menuju web perantara (redirect) yang pada akhirnya menuju pada megaupload juga.
Nah, ketika Google meng-index situs dimana konten tersebut dimuat, maka siapa saja dapat menemukan kata-kata ajakan yang "mengiurkan"  tesebut melalui mesin pencari Google. Ketika pengguna menuju pada halaman hasil pencarian, dengan mudah ia akan diarahkan kembali ke megaupload. Bebaslah mega-upload dan men-download  ! Sederhana bukan ?
YOUTUBE,TWITTER DAN FACEBOOK DAPAT DITINDAK Â BAHKANÂ DITUTUP !
Seperti pembahasan contoh di atas, pemilik konten memgaupload dapat memuat konten "samaran" Â secara "licik" melalui situs tertentu yang dinilai legal. Â Pilihan terbaik untuk melakukan hal ini sebagai sasaran empuk adalah media sosoal seperti Youtube, Twitter dan Facebook.
Melalui situs-situs inilah pemilik konten illegal tersebut mempromosikan diri. Apalagi konten yang dimuat pada situs-situs tersebut juga di index oleh Google, maka dengan cepat pula orang dapat menemukannya melalui mesin pencari Google.
Lalu siapa yang harus disalahkan dan ditindak ? Yang pasti pemuat konten mungkin dapat "lenggang kangkung" namun Youtube, Twitter dan Facebook akan menghadapi gugatan tersendiri.
Dengan menggunakan definisi website di awal, bahwa apabila bagian dari situs memuat konten illegal maka situs tersebut dapat ditindak. Seta kemudian menggunakan definisi bahwa "any tool that helps anyone "circumvent" the bills' remedies are illegal". Â Maka baik Youtube, Twitter atau Facebook dapat dituntut dan ditindak.
Kalau sudah begini maka Youtube, Twitter maupun Facebook harus bekerja ekstra keras dan ketatat. Bisakah ? Hmm tidaklah mudah ! Bisa dibayangkan Facebook harus ikut mensensor setiap konten yang dimuat oleh 800 juta penggunanya. Belum lagi perlu waktu untuk menindak saat mendapat laporan, tenggang waktu tunggu tersebut telah dimanfaatkan dengan baik oleh pengguna untuk mengakses konten yang illegal tersebut.
Apa yang dibahas diatas baru berkisah pada tiga media sosial terkemuka yang sebenarnya menjadi contoh kasus untuk menilai situs lainya di dunia, termasuk Indonesia tentunya. Karena RUU ini pada dasarnya ditujukan untuk situs-situs internasional (diluar Amerika Serikat) yang dianggap banyak memuat konten illegal. Tanpa sadar "senjata makan tuan", RUU ini dapat menyeret juga sebagian besar situs milik warga Negara Amerika Serikat sendiri.
Jadi masih efektifkah RUU ini diberlakukan atas nama bangsa Amerika Serikat dan pemilik hak cipta dan hak intelektual ? Saya tidak tahu penilaian anda ! Namun menurut saya, sebaiknya diperbaiki atau malah perlu dibatalkan saja pengesahannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H