[caption id="attachment_104991" align="aligncenter" width="655" caption="Ilustrasi - mi9.com"][/caption]
Ketika aku megenalmu, kau hanya anak bau kencur kemarin sore, berseragam putih abu-abu. Tidak ada yang istimewa. Walau kau putri seorang bangsawan kaya raya, tetap saja kau masih terlalu muda untuk belajar bercinta. Parasmu mungkin dikagumi teman sekelasmu, tapi bagiku kau hanyalah seperti pajangan etalase toko pakaian remaja, atau sebuah sampul majalah anak ingusan.
Sehari-hari yang kubaca hanyalah pesan singkatmu yang membosankan. Kau terus berusaha meyakinkanku, bahwa kau telah siap bercinta dan mendampingiku. Â Walau kubalas pesanmu, bukan berarti aku menerima permintaanmu. Aku hanya menghargai kakakmu, sahabat karibku, yang selalu berusaha menjodohkan kita.
Ketika kau tampil di pesta ulang tahun ayahmu, kau selalu berusaha mendekatiku dan menggandengku. Dengan bangga, seolah kau menyiarkan ikatan kita. Kau memang mempesona. Denting piano yang  kudengar dari kepiawaianmu, kau memang mempesona. Namun itu hanya ilusiku semalam. Keesokan hari, kau lenyap dalam kenyataanku.
Tak kusangka lima tahun berlalu, setelah kau kembali dari studimu di luar negeri. Kita bertemu lagi dalam acara yang sama, ulang tahun ayahmu yang ke 63. Namun kali ini berbeda, kau tidak menghampiriku dan menyapaku, hanya senyumanmanistersunggingdibibirmu saat kau menatapku. Dari jauh, aku hanya bisa tertegun, mendengar kepiawaianmu melantunkan sebuah lagu klasik yang tak asing bagiku. Kau kembali menjadi ilusiku semalam. Namun keesokan harinya, kau tidak lenyap dalam pikiranku. Bahkan malam-malam berikutnya.
Pada hari menjelang pernikahan kakakmu. Aku menerima pesan singkatmu. Kau hanya menanyakan kedatanganku, karena saat itu aku sedang bertugas di luar daerah. Â Aku hanya dapat menjawab, mungkin. Hal yang sama juga kusampaikan kepada kakakmu, sahabatku itu.
Batinku berkecamuk, antara pilihan tugas atau menghadiri undangan kakakmu. Aku hanya mempunyai waktu sehari untuk mengambil keputusan. Dan akhirnya kuputuskan untuk hadir. Â Entah untuk menghargai persahabatanku atau berjumpa denganmu. Jujur, saat itu yang terlintas dalam bayanganku, kau akan menggandengku lagi seperti lima tahun yang silam.
Saat acara resepsi pernikahan kakakmu, mimpiku memang terwujud. Kau menggandengku dan memperkenalkanku kepada kawan-kawanmu. Kau begitu anggun dan percaya diri berada disampingku, bahkan tak sedetikpun kau melepaskanku dari genggaman jari-jari manismu dilenganku.
Orang tuamu tersenyum melihat kita. Apalagi kakakmu itu. Seolah merestui hubungan kita yang tidak jelas itu. Kau mampu membuatku gugup dan berkeringat. Memaksa perasaanku menjadi tak karuan. Namun sepertinya kau menyadari itu, tanpa rasa malu kau menyeka keringat diwajahku  dengan sapu tangan harummu, kaupun mampu menenangkanku.
Menjelang penghujung acara malam itu. Tidak lagi melalui pesan singkat ponselmu, kau tegaskan sikapmu. Kau katakan ucapan yang sama lima tahun yang lalu, bawa kau telah siap bercinta dan menjadi pendampingku. Â Seketika lidahku kelu, tak mampu berucap kata,.
Apa yang harus kuperbuat. Anak kemarin sore itu, menjelma bak bidadari idamanku. Wanita dewasa yang cantik rupawan. Bukan lagi sebuah pajangan etalase toko julukanku dulu.