Cabaret? Apaan tuh? Sebagian orang mungkin ada yang belum tahu apa itu Cabaret Show. Iya kan? hayo ngaku..! Yupss,, jadi begini ceritanya. Malam Sabtu kemarin, tepatnya 17 Januari 2014, saya diajak seorang teman untuk jalan-jalan menikmati kota Jogja sebelum pulang kampung. Maklum, berhubung kita ini kan masih mahasiswa jadi Malioboro menjadi salah satu tempat favorit untuk dikunjungi. Nah, begitu tiba di sebuah pusat perbelanjaan, tepatnya di Mirota Batik, Malioboro, lantai 3 ternyata ada pertunjukan cabaret. Widihh,, aneh kedengarannya, kok ada cabaret show di Yogyakarta ya. Setahu saya, cabaret biasa diadakan di Thailand, Pattaya, dan Phuket. Lah kok ini di Jogja... Alhasil, dengan membayar tiket masuk sebesar 20 ribu, kita pun menikmati pertunjukan cabaret ini.. Sebelum saya cerita lebih jauh, sepertinya akan lebih baik ya kalau saya jelaskan dulu apa itu cabaret. Jadi, cabaret adalah pertunjukan musik, komedi, tari, drama, dan aspek lainnyayang khusus diperagakan oleh para waria di atas panggung. Konon, cabaret mulai muncul pada 1655, sementara 1912 cabaret diartikan sebagai representasi dari restaurant atau night club. Content dari cabaret ini berbeda-beda. Dalam rentang sejarah eksistensinya, cabaret dibuat dengan berbagai macam muatan, contohnya Belanda dan Jerman memasukkan content politic satire, Amerika Serikat memasukkan juga format stand-up comedy, sementara di Perancis yang memiliki sejarah cabaret tertua biasanya melakukan penampilan dengan jumlah penari yang besar. Nah, trus apa sih bedanya cabaret yang ditampilkan di negara-negara itu dengan yang di Jogja? Pertama, lokasi pertunjukan ini diadakan tepat di lantai 3 Mirota Batik, di sebuah restorannya yang bernama Oyot Godhong. Kedua, dilihat dari harga tiket, kalau di luar negeri harganya bisa mencapai 250 ribu, sementara di Jogja berkisar 30ribu untuk VIP, dan 20 ribu untuk reguler. Kemudian, para penonton akan mendapatkan tiket berupa stiker yang ditempel di baju mereka. Biasanya pertunjukan diadakan setiap Jumat sampai Minggu pada pukul 19.00 dengan durasi sekitar 1,5 jam.
Lanjut ke content pertunjukannya. Yang saya lihat kemarin, cabaret show ini dibuka dengan tari Jawa yang diperagakan oleh para penari pria (tapi sepertinya ada 1 penari wanita). Mereka menari dengan lemah lembut layaknya wanita. Setelah itu, para waria tampil membawakan performance lip-sync, menyanyikan lagu-lagu para artis seperti Rosa, BCL, Lady Gaga, Titi DJ, Ayu Ting-ting, dan lainnya. Mereka tampil dengan gaya khas dari masing-masing artis. Pertunjukan semacam ini membuat para penonton berhaha-hihi karena melihat tingkah para waria yang berimprovisasi dengan gaya mereka. Terlihat pula, gaya-gaya seronok nan erotis yang cenderung saru mereka justru menambah gelagak tawa para penonton (termasuk saya yang tak kuat menahan tawa). Terlebih lagi, mereka suka ngelunjak masuk ke area penonton dan menggoda mereka. Ditambah dengan aksi memanjat balkon, mendekati penonton, dan bergoyang di depan mereka. Pada akhir pertunjukan, semua pemain maju ke depan dan beraksi bersama. Sempat juga saya lihat mereka berciuman di akhir performance ...Wahh,, pokoknya jahiliyah sekali... Bumi sudah begini tua, ditambah dengan aksi para kaum gay (sepertinya sebagian dari mereka adalah gay dan mungkin sebagian lagi memang hanya bertingkah layaknya waria), zaman pun sudah mulai berantakan. Kenyataannya, tak dapat disangkal lagi bahwa mereka telah mengubah kodrat mereka sendiri sebagai kaum lelaki.
Di sisi lain, saya merasa mereka perlu memberi apresiasi, bukan untuk kegilaan mereka dalam menyalahi kodrat, namun dilihat dari perjuangan mereka untuk mempersiapkan performance. Jauh dari sisi ke-glamour-an yang dipertunjukan, tentu mereka punya tujuan utama yaitu mengais rejeki. Pemilik dari Mirota Batik, Hamzah Hendro Sutikno, yang juga pemilik House of Raminten ini mungkin hanya ingin memberdayakan (atau melestarikan ya?) para kaum gay agar lebih produktif. Notabene-nya HoR ini juga disebut-sebut sebagai tempat ngumpul para LGBT di Jogja. Tapi ya jauh dari lubuk hati, saya sangat menyayangkan hal itu. Sayang kebanyakan maho itu ganteng-ganteng.. Kembali ke cabaret yah,, kebanyakan dari para penari atau pemainnya mempunyai profesi yang berbeda-beda dalam kesehariannya. Ada yang sebagai pekerja biasa, ata juga mahasiswa. Saya pun tidak tahu apakah mereka semua tergolong juga dalam LGBT atau menjadi drag-queen hanya pada saat pertunjukan saja. Entahlah... Yang saya nilai positif dari HoR dan Mirota Batik (di luar dari perannya menyelenggarakan cabaret) adalah tempat itu menjadi salah satu tempat yang menyuguhkan keaslian Jogja, khas dengan produk, pelayanan, dan bau kemenyannya. Jadi jika Anda mencari tempat yang Jogja banget ya di situ, dan terserah Anda juga jika mau mencoba "mencicipi" suguhan cabaret ini atau tidak. Bukan tujuan saya untuk mempengaruhi Anda untuk menonton pertunjukan ini, namun saya hanya ingin berbagi pengetahuan untuk bisa diambil hikmahnya. Semoga tulisan saya bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya