"Abela, aku sangat menyayangimu. Hanya kau lah yang paling mengerti diriku dari seluruh perawat yang ada di gedung terbengkalai itu," ia terus memelukku sambil bergoyang ke kanan dan ke kiri.Â
Aku dan Susan terus bercakap-cakap hingga tak terasa dua puluh menit berlalu. Stasiun yang sibuk dengan banyaknya orang dan kereta kuda yang bergilir masuk tinggal beberapa meter lagi.Â
Setelah turun dari kereta kuda, aku berpamitan dengan Susan dan membayar kusir kuda tadi. Aku juga menyuruhnya untuk mengantar Susan kembali dengan selamat.Â
Setelah berpamitan dengan Susan, aku berjalan ke arah loket dan ikut mengantri bersama orang-orang. Ketika aku sampai di barisan depan, aku memesan tiket tujuanku yang akan berangkat setengah jam lagi. Kemudian aku keluar dari barisan dan berjalan diantara manusia untuk mencari tempat duduk.Â
"Abela!"
Aku langsung mencari sumber suara yang meneriakkan nama ku. Setelah kepala ku berputar seperti orang linglung, aku melihat seseorang yang meneriakkan namaku.Â
"Oh Athy! Aku kira siapa. Suaramu melengking sekali."
"Jika aku tidak berteriak seperti itu, kau tidak akan dengar," ucapnya setelah berlari kecil mendekatiku.Â
"Tapi kau bisa menepuk pundak ku daripada harus berteriak. Lihat lah orang-orang melihat kita."
"Dan membiarkanmu tenggelam di antara tentara yang pulang bertugas? Aku tidak tahu kau yang terbiasa dengan keberadaan mereka atau dirimu itu tidak sadar bahwa kau itu pendek. Oh aku diminta camp area untuk menulis surat dan kau tahu keadaan disana sangat kacau. Aku tak terbiasa dengan keberadaan tentara yang kau tahu apa yang ku maksud," ucapnya secara lirih diakhir sambil melirik salah satu tentara yang lewat dengan keadaan menggunakan kruk dan perban di paha hingga kepala.Â
Benar apa yang dikatakan Athy, aku mungkin sudah terbiasa dengan keadaan tentara yang kehilangan anggota badan ataupun luka basah yang baunya menyengat. Tapi tidak dengan Athy, seorang penulis surat asal perusahaan terkenal yang  terletak di kota.Â