Versi lengkap draft RPM Konten bisa dilihat di: http://vyx.me/1oqzn
Secara garis besar, pemerintah c.q. Menkominfo masih berkeinginan untuk melakukan penyaringan dan pemblokiran situs-situs tertentu yang berada di Internet. Namun, pemerintah tidak mampu menciptakan suatu sistem yang bisa diterima oleh semua belah pihak, baik itu ISP sebagai Penyelenggara jaringan, Penyelenggara konten, ataupun pengguna internet secara luas. Batasan konten yang dilarang pada RPM ini hanya mengacu ke UU ITE dan UU Pornografi, yang sampai sekarang pun tidak mempunyai perangkat aturan penjelas untuk memutuskan mana konten yang dilarang dan mana yang diijinkan. Beban dan tanggung jawab untuk memilih dan memutuskan ini kemudian dilimpahkan kepada Penyelanggara (yang disebutkan secara rancu, apakah penyelenggara jaringan atau penyelenggara konten), dan juga ke Tim Pertimbangan yang disebut-sebut bersifat independent. Jika terjadi dispute pada pelaksanaan pemfilteran, Menkomino dapat dengan mudah lepas tangan, karena keputusan detail pemfilteran berada di tangan Penyelenggara dan Tim Pertimbangan.
1. Definisi PENYELENGGARA
Pada RPM disebutkan bahwa PENYELENGGARA adalah Orang atau Badan Usaha yang menyelenggarakan Sistem Elektronik (serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik).
Di sini terlihat bahwa penyelenggara digeneralisasi dengan satu definisi. Pada kenyataan di lapangan, yang dimaksud sebagai penyelenggara bisa termasuk: Penyedia Jasa Jaringan Internet (NAP dan ISP), Warnet, dan juga Penyedia Konten (Portal berita, pemilik situs apapun, blogger, dll).
Tidak dibedakannya kelas penyelenggara ini membuat beberapa kerancuan pada pasal-pasal aturan berikutnya, karena tindakan filtering yang bisa dilakukan oleh penyelenggara tersebut berbeda.
Sebaiknya dilakukan pembedaan kelas penyelenggara:
a. Penyelenggara Jaringan, terhadap konten di luar jaringannya
b. Penyelenggara Jaringan, terhadap konten di dalam jaringannya
c. Penyelenggara Konten, untuk konten yang dibuat sendiri
d. Penyelenggara Konten, yang bersifat “user generated content”
Tindakan masing-masing kelas penyelenggara itu pasti akan berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan.
2. Tanggung Jawab Penyelenggara
Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa Penyelenggara dilarang membuat aturan penggunaan layanan yang menyatakan bahwa Penyelenggara tidak bertanggungjawab atas penyelenggaraan jasanya yang digunakan untuk memuat, mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya, dan/atau menyimpan Konten.
Ketentuan ini harus dihapuskan, karena Penyelenggara tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya untuk konten yang tidak dibuat langsung oleh penyelenggara.
3. Penyaringan berdasarkan Pelaporan
RPM mengatur bahwa penyaringan dilakukan berdasarkan pelaporan/pengaduan. Harus disadari bersama, bahwa ini merupakan sensorship. Proses memutuskan dilakukan penyaringan berada di level Penyelenggara, dan dilakukan apabila jumlah pelapor minimal 1000 (seribu), dan pelapor harus bisa membuktikan identitas dirinya dengan benar.
Hal ini bisa berimplikasi ke beberapa hal: (1) karena berbasiskan pelaporan, bisa jadi ISP A melakukan pemblokiran terhadap konten tertentu, karena menerima lebih dari 1000 laporan, sedangkan ISP B tidak melakukan pemblokiran, karena menerima kurang dari 1000 laporan. (2) Aturan yang mengharuskan adanya identitas pelapor juga bisa menghambat proses pelaporan ini.
Perbedaan Konten yang diblok antar penyedia jaringan bisa mengakbatkan ketidakpastian di pengguna, dan mudah disalahgunakan untuk persaingan tidak sehat.
Pelimpahan wewenang memutuskan di level Penyelenggara juga dapat dipertanyakan dasar hukumnya, mengingat Penyelenggara tidak dalam kapasitas berhak dan/atau berkewajiban untuk memutuskan hal tersebut.
4. Penandaan Konten yang sedang dalam proses
Hal ini mungkin bisa dilakukan jika Penyelenggara adalah pemilik situs yang salah satu konten di dalamnya dilaporkan. Tetapi aturan ini tidak relevan jika penyelenggara adalah Penyelenggara jaringan.
5. Tim Pertimbangan
RPM masih tidak mengatur secara tegas wewenang tim ini. Bagaimana tim yang ditetapkan dengan Keputusan Dirjen memiliki wewenang untuk menentukan mana konten yang ilegal. Bagaimana untuk menjamin netralitas tim ini, bahwa pengambilan keputusan bisa adil, baik dari sisi akal sehat, maupun dari sisi kepentingan agama, atau kelompok tertentu.
Tidak dijelaskan juga mekanisme yang mengatur apabila Tim Pertimbangan ini ditengarai melakukan kesalahan saat mengambil suatu keputusan. Bagaimana proses untuk melakukan sanggahan dan keberatannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H