Mohon tunggu...
Valencya Poetri Widyanti
Valencya Poetri Widyanti Mohon Tunggu... -

Pemikiran itu seperti parasut, ia tidak dapat berfungsi dengan baik jika tidak mengembang.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tersembunyi Ujung Jalan

26 Juli 2014   19:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:06 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

10 Langkah Kecil

Satu setengah jam, pesawat telah membawaku menuju Korea. Aku harus menginap semalam karena penerbanganku ke Jakarta masih besok pagi, pukul tujuh. Bergegas aku menuju hotel yang terletak di lantai atas bandara, seperti petunjuk pegawainya. Memesan satu kamar ukuran kecil.

Kurogoh tasku, mengulurkan beberapa ribu won yang kubawa dari jepang, Hide yang mempersiapkannya. Dia memenuhi janjinya, bahkan sampai hal terkecil pun dia telah sediakan.

“Lelaki sejati akan menjaga kata-katanya, Debi. Bahkan jika jarak antara hidup dan mati tinggal satu tebasan pedang, dia tetap akan memenuhi janjinya.”

Selalu itu yang diucapkannya. Kalimat yang tak bisa kubalas dengan jawaban apapun selain pelukan. Menikmati rasa damai dalam dekapnya. Kubuka pintu sesuai nomor yang tertera di kartu.

Anehnya, aku merasa terbang kembali ke Minami. Suasana kamar ini persis seperti yang kutata di aparto Hide. Rumah yang rencananya akan kami tinggali. Nuansa coklat yang mendominasi adalah pilihan kami. Warna yangmenurut kami melambangkan keteduhan.

Pelan kubaringkan tubuhku di atas kasur. Membiarkan airmata menjadi pengantar lelah sepertinya cara terbaik untuk bisa tertidur.

~o~

Jakarta yang selalu panas.

Hampir 5 jam berada di udara dengan badai di atas laut Filipina yang tak henti-hentinya membuat panik.

Aku berpikir, tak ada yang lebih istimewa atas kepulanganku, selain bakti terhadap orang tua. Meski hatiku berkata lain, bahwa bakti yang kujalankan kini tak ubahnya seperti kepatuhan atas pemaksaan.

Sebuah pemikiran yang mungkin membuatku enggan untuk dijemput siapa pun, selain Om. Aku sama sekali tak ingin ada penyambutan yang menyakitkan. Seperti halnya selebrasi atas kekalahanku.

Nyatanya, yang kutemui di pelataran bandara adalah Om dan kedua orang tuaku. Pemandangan yang seketika membuatku ciut. Langkahku memendek, seolah tak ingin cepat-cepat sampai. Bukan kerinduan yang memberatkan langkahku. Melainkan, sorot tajam dari sepasang mata lelaki tak kukenal yang berdiri di antara keluargaku.

Ahh! Inikah lelaki pilihan itu?

~O~

BERSAMBUNG

Ilustrasi: riopurboyo.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun