Mohon tunggu...
Valencya Poetri Widyanti
Valencya Poetri Widyanti Mohon Tunggu... -

Pemikiran itu seperti parasut, ia tidak dapat berfungsi dengan baik jika tidak mengembang.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tersembunyi Ujung Jalan

27 Juli 2014   11:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:03 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

12 Hongkong, Pelarian yang Menakjubkan

Adalah tsunami yang meluluhlantakkan Sendai. Aku kehilangan kontak dengan Hide dan Ibu. Berbulan-bulan berharap, aku seolah hilang pegangan. Ditambah lagi, kegagalanku untuk mengurus visa ke Jepang. Karena terhalang o;eh proses perceraian. Apa boleh buat, rencana tinggallah rencana.

Adalah kenyataan yang sulit kuterima, tapi harus kujalani. Aku kembali tinggal di rumah ibu setelah dengan terpaksa kujual rumah pada teman masa kecilku. Semua kulakukan semata-mata untuk menebus sertifikat tanah milik bapak.

Pada beliau, aku tak ingin menampakkan kekecewaan, meski kerap kulihat gurat sesal yang teramat dalam di matanya, terutama saat menatapku. Aku harus tegar, dengan cara inilah Bapak akan merasa tenang. Aku percaya pada setiap hal yang Tuhan ijinkan terjadi padaku, Itu karena aku pasti mampu melaluinya.

Berawal dari ajakan Wiwik, yang menyulut bara di hatiku juga melecut semangat di punggungku.

“Biar kutalangi rumahmu, Wi. Kamu bisa nyicil perbulan dari gajimu setelah selesai potong gaji.” Begitu kata Wiwik.

Maka tanpa menunggu lama, aku mendaftar di salah satu PT sesuai petunjuk Wiwik. Bahkan dia yang membantuku mencarikan majikan.

Tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiranku, jika aku akan menjalani profesi sebagai asisten rumah tangga. Aku sama sekali tak punya pengalaman. Namun aku bertekad, tak ada satu hal pun yang tidak bisa dipelajari. Buktinya, aku memang mampu.

Dua tahun pertama, aku mampu menebus kembali rumahku, bahkan merenovasinya. Kuputuskan menambah kontrak di majikan yang sama, untuk modal usaha.

Aku beruntung, majikanku begitu baik. Mereka menganggapku keluarga, bahkan menghadiahkan sebuah kamera DSLR yang setara dengan dua bulan gajiku. Mungkin karena mereka tahu, aku begitu menggemari fotografi setahun belakangan ini.

Adalah Anti, cewek setengah macho yang kukenal di komunitas bmi pecinta fotografi. Dari dia, aku belajar banyak cara dan teknik fotografi.

Seringkali kami berjalan hingga jauh tak terkira hanya untuk mencari tempat yang pas memotret senja. Beberapa kali dia mengajariku teknik bulp, “Seperti ini cara menangkap cahaya.” begitu ujarnya, setiap kali memotret cahaya lampu kendaraan.

Kerap juga kami hunting krisan di taman-taman. Kegiatan inilah yang sebenarnya selalu kutunggu. Diam-diam, aku selalu menumbuhkan kenangan tentang Hide. Aku tahu, dia sangat menyukai krisan, bahkan menjulukiku dengan “my yellow chrysant” yang berkilau dalam kesederhanaan.

Selain Anti, ada juga Rien, jomblo galau yang narsis. Kerap ia menjadi sasaran empuk untuk dijadikan kelinci pemotretan. Kenarsisannya membuat kami tak perlu repot mencari sasaran. Ah, terima kasih Tuhan! Di negeri istimewa ini, Kau kembali mempertemukanku dengan orang-orang yang luar biasa.

~O~

BERSAMBUNG

Ilustrasi:uniknya.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun