Awal tahun 2025 membawa tantangan baru bagi masyarakat Indonesia. Kebijakan pemerintah yang mulai memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% per 1 Januari 2025 pada beberapa komoditas memicu perdebatan dalam masyarakat. Dampak secara langsung maupun tidak langsung pada beberapa komoditas barang dan jasa mulai dirasakan masyarakat. Sebagai bahan pokok yang tidak tergantikan, kenaikan harga beras kembali menjadi sorotan utama di tengah masyarakat, terutama mereka yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah. Meski tidak termasuk barang kena PPN 12%, harga beras pada tahun 2025 disinyalir ikut meningkat lantaran biaya produksi yang meningkat akibat penambahan pajak.
Seiring dengan diberlakukannya PPN sebesar 12%, harga beras terus mengalami lonjakan yang signifikan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tren kenaikan harga beras dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, rata-rata harga beras tercatat sebesar Rp10.656,00 per kilogram. Angka ini meningkat sebesar 16,98% menjadi Rp12.466,00 per kilogram pada tahun 2023, dan kembali naik sebesar 10,04% menjadi Rp13.717,00 per kilogram pada tahun 2024. Kenaikan ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2025. Fenomena ini memicu kekhawatiran, khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah yang semakin kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Lantas, apakah fenomena tersebut berpengaruh dengan daya beli masyarakat?
Kenaikan harga beras yang pesat ditambah dengan penerapan PPN sebesar 12% memberikan dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat yang merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya untuk konsumsi barang maupun jasa. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi month-to-month pada Desember 2024 didominasi oleh kelompok pengeluaran makanan, dengan angka mencapai 1,33%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non-makanan. Fenomena ini menggambarkan bahwa beban rumah tangga semakin berat, terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok yang semakin mahal.
Selain kebijakan PPN 12%, inflasi juga berperan penting dalam kenaikan harga beras. Inflasi mendorong kenaikan biaya produksi, termasuk harga pupuk, pestisida, dan biaya transportasi. Hal ini menyebabkan harga beras di tingkat petani dan distributor ikut melonjak. Ketika inflasi meningkat, daya beli masyarakat melemah karena nilai uang yang mereka miliki berkurang. Situasi ini semakin diperparah dengan kenaikan harga beras, sehingga masyarakat menghadapi beban ganda. Mereka harus mengorbankan pengeluaran untuk kebutuhan lain demi membeli beras, yang merupakan kebutuhan pokok.
Penurunan daya beli masyarakat memiliki efek domino terhadap perekonomian secara keseluruhan. Ketika konsumsi rumah tangga melemah, pertumbuhan ekonomi nasional ikut terhambat. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memengaruhi investasi dan penciptaan lapangan kerja. Namun, dari sisi pemerintah, penerapan PPN 12% bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial. Tantangannya adalah memastikan bahwa program kompensasi, seperti bantuan sosial dan subsidi pangan, tepat sasaran agar dapat meringankan beban masyarakat.
Untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan harga beras dan penerapan PPN 12%, pemerintah perlu mengambil langkah proaktif, yaitu dengan memberikan subsidi beras kepada kelompok rentan untuk mengimbangi kenaikan harga beras dan melakukan pengawasan terhadap harga beras di pasar untuk mencegah kenaikan harga yang tidak wajar Langkah ini diharapkan dapat membantu meringankan beban keluarga miskin dan mampu meminimalkan dampak negatif kebijakan ini.
Oleh : Valencia Febiola Saputri, Resti Yulianda Putri, dan Ilham Dwi Kuncoro (Mahasiswa Politeknik Statistika STIS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H