PENULIS
Muhamad Fagi Difinubun
Dosen Universitas Amal Ilmiah Yapis Wamena
_JEJAK OPINI_
Gerakan pembebasan terhadap perempuan seringkali diwarnai dengan narasi-narasi pertentangan antara laki-laki dan perempuan. Teori patriarki yang menganggap penyebab penindasan terhadap perempuan adalah superioritas laki-laki dan budaya yang mengkonstruk perempuan menjadi manusia kelas dua juga turut melanggengkan pertentangan ok antara laki-laki dan perempuan. Meskipun banyak dalam gerakan perempuan yang mengatakan bahwa musuh utama bukanlah laki-laki tetapi yang harus dilawan adalah budaya patriarki, akan tetapi perlu kita ingat bahwa arus utama yang dibawa oleh teori patriarki adalah dominasi laki-laki.
Patriarki adalah sebuah sistem sosial-politik yang mendukung dengan tegas bahwa laki-laki secara menyeluruh mendominasi dan lebih unggul dari segalanya dan kepada semua orang khususnya perempuan, dan mempertahankan dominasi tersebut melalui berbagai bentuk kekerasan. Pemahaman demikian yang banyak digandrungi oleh gerakan perempuan, yang menurut penulis dapat mengaburkan akar dari penindasan terhadap perempuan dan justru menimbulkan sentiment-sentimen di dalam gerakan.
Kalangan yang mendaku menjadi feminis radikal misalnya, ia melihat bahwa problem utamanya adalah patriarki, memposisikan jika perempuan adalah satu kelas dan laki-laki adalah kelas lain. Coba kita bayangkan, andaikata gerakan kita adalah gerakan melawan satu manusia dan manusia yang lain (perempuan vs laki-laki), tentu yang ada bukanlah keadilan dan kesetaraan justru akan menimbulkan dominasi satu atas yang lain. Siapa yang kalah dan siapa yang menang. Sementara di lain hal, sistem yang mendasari penindasan terhadap perempuan terus berlangsung.
Mari kita keluar dari hingar bingar dunia yang mengagungkan teori patriarki dan melihat sesuatu yang lebih materiil, yang menjadi akar dari penindasan terhadap perempuan.
Penyingkiran terhadap perempuan bermula ketika kemunculan kepemilikan privat. Pada masyarakat komunal-primitif, di mana roda kehidupan dapat berjalan dengan digerakkan oleh seluruh anggotanya, sangat minim diskriminasi sistemis dan bahkan tidak ada. Tidak ada kepentingan untuk melakukan diskriminasi karena semua anggota memiliki keterlibatan yang sama, baik laki-laki maupun perempuan. Penyingkiran tehadap golongan tertentu lahir ketika kehadiran surplus yang terkonsentrasikan kepada segelintir kelompok atau kelas yang berkuasa.
Pat Brewer dalam essainya "The Dispossession of Women : A Marxist Examination of New Evidence on the Origin of Women's Oppression" menjelaskan bahwa penyingkiran perempuan berlangsung dilatarbelakangi kepemilikan privat. "Dengan agrikultur berdasarkan bajak, tanah menjadi suatu sumber kekayaan privat utuk pertama kalinya. Pemrosesan produk-produk susu sekunder dan pengembangan wool untuk pemintalan bermakna menyebar luasnya pula kegiatan memelihara binatang-binatang ternak dalam jumlah besar. Peralihan ini diiringi oleh pembagian-pembagian ekonomi sosial yang jauh lebih signifikan dari sebelumnya ---pembagian kekayaan dan kemiskinan sekaligus pemilikan tanah" .