Seminggu cepat berlalu ketika rindu belum berujung usai. Itu yang dirasakan Adian saat Kimaya sudah siap packing balik ke Denpasar esok hari.Â
"Kamu tidak memperpanjang liburanmu, Kim?" Adian masih berharap, sambil meremas-remas ransel Kimaya hingga kusut. Dia gemas karena sahabatnya itu dengan ringan meninggalkannya.
"KRS, Bro," cewek itu geli melihat Adian yang gagah dan biasa tegas, hari ini seperti kucing manja yang ngambeknya tak habis-habis. "Aku nggak bisa bimbingan kuliah online, dosenku ingin ketemu aku."
"Aku tahu ...," cowok itu kembali mencari sasaran barang Kimaya untuk pelampiasan kesalnya. Dia masih kangen. Seminggu terakhir, Kimaya malah sibuk dengan keempat sahabatnya. Dia ikut bersama mereka, tapi kualitas pertemuan itu terpecah ke lima orang. Kimaya bukan miliknya seorang.
"Kamu ke Bali lagi aja, Mona pasti senang ketemu kamu," Kimaya mencoba menghibur dan ingin kasih kesempatan untuk sahabatnya di Bali yang naksir Adian.
"Aku, dengar ya Kim, aku ingin spending time with you, only," tegasnya. Kalau pakai Bahasa Inggris, artinya Adian serius. Kimaya tergelak.
"Anna itu kayak apa sih orangnya?" Kimaya mengalihkan percakapan ke mantan pacar Adian yang diputus karena cowok itu di Bali terlalu lama.
"Enggak kayak kamu," jawab Adian dengan suara merajuk.
"Kamu sekarang pengin jadi pacarku? Ganti suasana?" Kimaya masih merasa geli dengan tuduhan keempat sahabatnya bahwa Adian sebenarnya nembak dia ketika bilang bahwa sejak SMA Adian sudah suka sama Kimaya.
"Kalau jadi pacarmu bikin aku bisa spending time with you only? Ayuk," Adian mendongak dan menatap Kimaya tajam. Keheningan tiba-tiba menyelimuti ruangan itu. Kimaya terkesiap dengan perubahan atmosfir ini.
Kimaya sadar sesadar-sadarnya bahwa cintanya hanya ada cinta pertama. Sama Yuda yang sudah tiada. Dia tidak bisa lagi melihat ke hati yang lain. Dia akan tambah merasa bersalah. Selama tiga tahun terakhir, Yuda sudah menguasai seratus persen rasa bersalahnya karena mengecewakan cowok itu. Yuda bukan apa-apanya, tapi namanya mendapat tempat khusus di hati Kimaya.
Saat ini dia merasa sedih karena tidak bisa mengabulkan keinginan Adian. Cowok ini baik, sangat baik bahkan. Tapi Adian bukan Yuda. Adian tidak mungkin menggantikan Yuda, seperti yang diinginkan Mona. Yuda adalah selamanya buat Kimaya.
Walau sebelum ke Jogja seminggu yang lalu dia sudah mencoret nama Yuda. Tapi hanya sebagai coretan kesedihan yang dia hapus dengan rapi. Nama Yuda tetap dia hargai selamanya. Bukan Adian.
"Aku antar kamu ke bandara saja," tiba-tiba Adian menyadari kediaman Kimaya ini pasti berhubungan dengan Yuda. Kembali ke Yuda lagi. Dia tidak ingin itu karena usahanya membuat Kimaya lupa Yuda akan sia-sia.
Detik ini mereka berdua menyadari bahwa hubungan mereka berubah. Tidak sehangat beberapa menit yang lalu. Adian langsung menjaga jarak ketika melihat Kimaya diam. Kimaya juga tidak ingin memberi harapan pada sahabatnya ini.
Adian merasa sangat kehilangan. Tapi tidak untuk Kimaya. Dia ingin segera kembali ke Bali karena sudah merasa jauh lebih siap dan lebih kuat dibanding seminggu yang lalu.
"Kim?" suara kecil Nishi membelah kesunyian yang semakin mencekam. "Kamu jadi balik ke Denpasar besok? Hey, Adian?"
Meriah sekali satu dari keempat sahabat SMA Kimaya, Nishi, yang pernah naksir Adian yang sangat populer di SMA. Kepopulerannya sangat sempurna, juara kelas, kapten basket, hampir menjadi Ketua OSIS, tampan dan misterius. Rebutan para cewek se-SMA.
Adian menyingkir ke depan rumah, duduk di beranda, meraih majalah entah apa untuk menyingkirkan kekakuannya di rumah itu. Menjauh dari Kimaya dan Nishi membuatnya bisa bernapas lega. Dia sendiri heran kenapa perubahan drastis ini terjadi. Sangat menyesal dan kecewa.
Didengarnya percakapan ramai antar dua cewek itu di dalam rumah. Nishi mengomentari banyaknya oleh-oleh yang dibawa Kimaya untuk teman-temannya di Bali. Emang teman kamu ribuan? Suaranya terdengar iri. Tawa renyah Kimaya terdengar ke telinga Adian yang memerah.
"Aku pulang dulu, Kim," Adian beranjak dari kursi dan hanya bicara di depan pintu. Kimaya menoleh kaget. Ekspresinya tidak bisa ditebak oleh cowok itu, apakah Kimaya kecewa atau senang? "Besok aku antar."
Kimaya hanya mengantar Adian di beranda, melihat cowok itu masuk ke mobil dan melambaikan tangannya ketika mobil itu berlalu. Tiba-tiba Kimaya tergugah dengan pertanyaan yang diucapkan pada dirinya sendiri, "Kenapa Adian bawa mobil hari ini? Biasanya sepeda motor?"
"Mungkin mau ngajak kamu ngedate di tempat jauh, gunung? Pantai?" suara Nishi masuk ke telinganya dekat sekali di sampingnya. "Kamu masih belum menerima Adian, Kim? Sorry, aku tadi mau batal masuk sebenarnya, takut ganggu kalian berdua. Cuma, tadi aku lihat ada sesuatu, ada masalah?"
Kimaya tidak bisa menceritakan apapun pada Nishi. Dia memang tidak punya cerita. Hanya menggeleng, Kimaya kembali ke kopernya untuk merapikan semua bawaannya dan memeriksa kalau ada yang masih harus dia beli.
Berdua mereka pergi ke toko batik untuk mencari syal buat Mona. Hari itu berlalu dengan cepat dan Kimaya tertidur kelelahan karena berputar-putar di sekitaran Malioboro bersama Nishi. Akhirnya Navina, Shana dan Vanah juga bergabung dan mereka makan malam bersama di sebuah lesehan nasi rames.
---
"Kim, dicari Adian, tuh," suara ibunya mengetuk pintu ketika dia selesai mandi. Rajin bener anak itu, batin Kimaya.
"Flight kamu masih lima jam lagi," Adian bersandar di salah satu pilar di teras. Wajahnya bersih, segar dengan kaus abu-abu muda dan jeans biru. Rambutnya ada efek basah sehabis keramas. Tapi muka itu tanpa senyum. Walau tetap cakep.
"Lalu?" Kimaya masih sibuk dengan handuknya, mengeringkan rambutnya yang cukup panjang ketika liburan ini. Sedetik kemudian Kimaya melihat bahwa Adian tidak membawa mobil tapi datang dengan sepeda motornya. Apa artinya?
"Aku hanya mau bilang, aku nggak bisa antar kamu ke bandara, jadi kamu punya waktu buat cari taksi atau naik kereta api bandara," kalimat itu meluncur cepat dari mulut Adian. Secepat gerakannya memeluk Kimaya dan pamit dari rumah itu. Kimaya masih terpana.
"Di?" suaranya tercekat memanggil Adian yang sudah melewati pagar rumah dan hilang di belokan jalan. Lubang besar tiba-tiba muncul di hati Kimaya. Namun dia menolaknya mentah-mentah.
Segera Kimaya pamit ke orang tuanya dan menelepon Nishi yang sebenarnya ingin mengantarnya ke bandara karena masih ingin banyak cerita.
Di sepanjang jalan selama dua jam itu, Nishi tidak banyak bicara. Dia tahu Kimaya sedang banyak pikiran. Pandangan sahabatnya itu ke arah luar jendela terus.
"Kamu bahagia kembali ke Bali, Kim?" bisik Nishi perlahan tapi cukup jelas di telinga Kimaya.
Pertanyaan itu dijawab dengan isakan Kimaya. Lalu Nishi meminggirkan mobilnya.
"Jangan, Ni, terus saja ke bandara ...," kata Kimaya tegas.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H