"Kim, ada apa? Buka pintunya, dong. Jangan dirasakan semua sendiri, Kim," Mona panik karena dia tahu, setelah balik dari Jogja Kimaya berubah. Terlalu sedih. Terlalu pendiam.
"Ada apa?" suara berat Adian sudah ada di belakang Mona. "Maaf, aku masuk karena pintu depan terbuka dan aku mendengar kamu panik. Kimaya di dalam?"
Mona hanya sanggup mengangguk. Tubuhnya merosot ke sofa dekat situ.
"Kim, ini Adian. Aku bawa makanan kesukaan kamu. Nasi padang dengan rendang, tidak terlalu pedas, dijamin," Adian berusaha berkata selembut tapi sekeras mungkin biar sampai di telinga Kimaya.
Tidak dinyana pintu kamar Kimaya terbuka perlahan. Mona melongo melihat rambut sahabatnya awut-awutan seperti tidak disisir setahun. Air matanya membasahi seluruh muka sehingga maskara yang non permanen itu luntur di sekitar mata, bahkan mengalir membentuk garis hitam di salah satu pipinya.
Tanpa bicara apapun, Kimaya melalui Adian yang berdiri di samping pintu, menuju ke kamar mandi.Â
"Kamu duduk di situ saja, Adian," kata Mona yang sedikit terhibur dengan keberadaan Adian, yang hari ini luar biasa aura ketampanannya. Dia hanya memakai baju tipis berwarna biru pastel dengan celana jeans biru gelap. Sesimpel itu untuk menegaskan maskulinitas yang sejak hari pertama bertemu sudah dilihat dengan jelas oleh Mona.
"Kimaya kenapa?" mata Adian masih menatap ke arah kamar mandi di mana Kimaya menghilang.
"Kamu suka sama dia?" Mona sudah tidak tahan lagi untuk bertanya. Jawaban ini penting untuk dia dan Kimaya.Â
"Tidak. Aku hanya ingin bersama Kimaya, seperti dulu, bersahabat," kata Adian dengan muka dan suara datar.
Seingat Mona, Kimaya tidak menganggap Adian sahabat, tapi pesaing di SMA dalam hal apapun. Bahkan ceritanya Kimaya sempat hilang duit sejuta hadiah kejuaraan karena Adian. Betapa gemasnya Mona waktu mendengar cerita itu karena Kimaya bukan berasal dari keluarga kaya.