Setelah hatinya hancur bertemu ibu Yuda yang menganggap dia yang membuat cowok itu tiada, Kimaya hanya kuat semalam tinggal bersama keluarganya di Jogja. Pagi-pagi subuh dia sudah lari ke bandara untuk kembali ke Bali, mendekati roh Yuda yang terakhir hidup di sana.
Dia tidak menghubungi siapapun, termasuk Mona. Dia ingin sendiri untuk menghadapi kenyataan bahwa Jogja bukan lagi pilihan yang menyenangkan. Yuda sudah menjadi kutukan di kota itu. Kimaya sudah sign out dari Jogja selamanya. Bali adalah hidupnya.
Siang sampai di rumah kontrakan, Kimaya tidak bertemu siapapun. Lega. Mona pasti sudah sibuk di kampus, pikirnya. Itu yang dia inginkan. Semua jendela dia tutup. Isi rumah gelap, dia nyalakan musik lembut. Meditasinya dimulai, berharap bertemu Yuda dalam imajinasinya.
Tiba-tiba suara barang-barang berjatuhan membangunkannya dari ketenangan. Ternyata Kimaya tertidur. Mentalnya terlalu lelah untuk bermeditasi.
"Ini rumah kok gelap banget!" suara Mona memecahkan keheningan dan kegelapan ketika semua korden jendela dan pintu-pintu dibuka. Menghembuskan hawa hangat Bali yang ramah. Kimaya tersenyum. Yuda ada dalam hawa itu.
"Tadi sepertinya tidak begini," suara berat cowok membuat perut Kimaya mengkerut. Mona membawa cowok ke rumah? Dia harus pergi sebelum bertemu mereka. Pikiran mencari jalan keluar berkelebatan seperti maling yang tidak mau ketahuan pemilik rumah.
"Pasti Kimaya sudah pulang," bisikan Mona ternyata sampai di kupingnya. Wah, ketahuan. Kimaya lalu berpura-pura tidur di kamarnya yang masih gelap.
Pintu kamarnya terdengar dibuka perlahan. Mona sangat paham kalau sahabatnya butuh tidur, dia tidak mau membangunkannya walau tadi kursi dan meja sudah ribut berjatuhan ditabraknya karena rumah gelap.
Pintu terdengar ditutup kembali. Kimaya tidak mendengar helaan napas dan suara apapun di dalam kamarnya. Mona pasti tidak masuk ke kamar. Dia duduk dan menunggu semua orang pergi. Cowok itu pasti tidak akan lama.