"Mau minum apa?" terdengar Mona menawarkan ke cowok itu dari arah dapur. Wah, mereka tidak segera pergi? Kimaya pusing. Lalu daripada terpenjara di kamarnya sendiri, dia memutuskan untuk keluar dan berharap semua kesedihannya menghilang dengan hadirnya Mona.
"Kimaya?" suara cowok itu segera masuk ke telinganya ketika dia keluar kamar dan merasa silau dengan sinar siang dari beberapa jendela. Suaranya familiar, tapi siapa?
"Aku Adian," suara berat itu kembali bergema di telinganya. "Kamu lupa? Kita bertemu di bandara beberapa hari lalu."
"Ngapain kamu di sini?" walau bingung Kimaya tidak ingin harga dirinya terbanting oleh Adian musuh bebuyutannya di SMA. Walau cowok itu tidak pernah mengakuinya.
"Berharap ketemu kamu," suara itu mendekat. Mata Kimaya sudah agak terbiasa dengan cahaya ruangan. Ada tubuh cowok yang tinggi atletis, dan berbau wangi. Senyumnya cerah dan sangat familiar, sekali lagi. Iya, Adian yang dulu.
"Oh," jawab Kimaya singkat. Dia lalu menuju dapur untuk ambil minum. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering.
Mendadak Kimaya menyadari kalau Mona sudah menghilang entah ke mana. Hanya tinggal dia dan Adian di ruangan itu. Mungkin Mona di kamarnya, batinnya.Â
"Kamu sudah lama sampai?" Adian seperti ingin mengajak mengobrol santai. Kimaya belum siap, hatinya masih lelah.
"Masih capek," jawaban singkatnya diharapkan dipahami oleh Adian bahwa Kimaya tidak ingin bertemu dengannya.
"Okay, istirahatlah dulu, mau tidur lagi?" tanya Adian yang sangat tidak diduga oleh Kimaya. Aku pikir dia ingin menahanku buat ngobrol lama. Hmm, kayaknya tidak sopan kalau aku tidak ramah sama dia.
"Ah, udah nggak ngantuk lagi, yuk duduk di sofa itu, paling nyaman buat nyantai," ajak Kimaya dengan kesadaran tinggi. Adian tersenyum lega. Dia lalu mengambil cangkir kopinya yang belum sempat diminum.