Pertama kali saya ke Itaewon waktu ada Itaewon International Festival, Minggu, 16 Oktober 2022. Saat itu sesudah makan siang dan udara cukup hangat. Bulan Oktober adalah musim gugur di mana daun-daun berubah warna dan November mulai rontok.
Festival itu diikuti oleh perwakilan booth dari berbagai negara yang dikelola oleh kedutaan besar masing-masing negara. Saya menyempatkan menemui booth Indonesia dan melihat banyak mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Korea memakai baju daerah. Mereka juga menarikan beberapa tarian rakyat di depan booth. Jalanan menjadi macet, tapi aman.
Itaewon terdiri dari jalan besar, tempat banyak booth atau kios didirikan, serta panggung musik untuk DJ. Jalanan kecil juga banyak. Lorong-lorong menyambut pengunjung dengan cafe-cafe kecil berisi maksimal 25-30 orang. Resto-resto dan street food juga banyak.Â
Geografis Itaewon cukup beragam. Di jalan besar agak datar. Tapi di sekitar jalan kecil dan lorong banyak yang menanjak. Kalau yang suka menonton drama Korea pasti tidak asing dengan tanjakan ini.
Sangat prihatin dan ikut sedih juga, ketika saya mendengar insiden di Itaewon pada Sabtu malam, 29 Oktober 2022. Padahal saat itu belum malam Halloween yang jatuh pada hari Senin, 31 Oktober 2022. Hanya karena malam minggu dan mendekati weekend, orang-orang merayakannya pada saat itu.
Saya akan menyampaikan beberapa hal terkait pengalaman budaya saya selama 20 hari tinggal di Seoul dan ke mana-mana tiap hari serta mewawancarai banyak orang.
1. Itaewon lokasi internasional
Drama Korea "Itaewon Class" (2020) sangat merepresentasikan lokasi ini. Saya mengenal area Itaewon pun dari drama ini, maka wajib saya mengunjungi Itaewon. Memang daerah internasional dan area paling multikultur seantero Korea. Bahkan, resto-resto Indonesia paling bisa ditemukan di sini.
Perbedaan lokal dan internasionalnya saya rasakan ketika MRT yang saya naiki menjelang mendekati stasiun Itaewon. Banyak bule berambut pirang. Bahasa Inggris dan bahasa asing lain selain Korea terdengar di sana-sini. Kereta yang biasanya sepi walau penuh menjadi cukup ramai orang bercakap.
2. Halloween di Itaewon
Westernisasi sangat kentara di Seoul. Berdasarkan sejarah, Korea sangat dipengaruhi oleh Amerika, termasuk industri film dan medianya. Apalagi teknologinya, mereka sangat berkiblat pada Amerika. Terlebih adanya orang-orang Amerika yang menyeponsori berdirinya beberapa universitas dan gedung rumah sakit.
Halloween bukan hal yang baru terutama bagi kaum muda Korea. Toko-toko sudah menyediakan pernak-pernik Halloween sejak awal Oktober. Bukan mall besar, tapi toko lokal sudah menyediakannya. Ini menunjukkan Halloween adalah perayaan biasa.
Walau Itaewon lokasi internasional, tidak berarti hanya sedikit orang Korea yang ke situ. Justru karena mau merayakan Halloween yang notabene perayaan asli Amerika, para muda berbondong-bondong ke Itaewon. Dibuktikan dengan banyaknya korban yang meninggal, dominan masih orang Korea.
3. Budaya di Seoul
Walau sudah beberapa kali ke negara asing, termasuk Rusia dan Amerika, saya masih terkesan dengan kedisiplinan dan kerapian orang Korea. Dilihat dari sejarah budayanya, mereka juga pernah dijajah Jepang cukup lama, lebih lama dari Indonesia. Militarisme cukup kuat, termasuk wajib militer sampai sekarang masih dilakukan, bahkan BTS pun tidak terhindar dari kewajiban tersebut.
Kedisiplinan ini terwujud dalam kebiasaan setiap hari. Saya memakai aplikasi navermap bila ke mana-mana untuk naik bis atau MRT. Telat sedikit atau salah sedikit, saya bisa ketinggalan bis yang saya impikan dan bubar semua rencana yang sudah rapi. Karena kedatangan bis dan MRT serta kereta api sangat tepat waktu.
Bahkan waktu ke Busan, saya naik KA Mugunghwa (termurah) dan jadwalnya jam 6.54 pagi berangkat. Benar saja, 30 menit sebelumnya gerbong sudah tiba dan saya langsung naik.Â
Eh, tepat pukul 6.54 gerbong bergerak jalan.Â
Wow, saya terkesan. Menitnya saja aneh tapi kenyatannya benar dilakukan.
Kerapian dan kedisiplinan dilihat dari antrian. Walau banyak orang, semua antri rapi sampai panjang sekali. Bisa antri masuk resto favorit, mereka mau berlama-lama berdiri di luar pintu resto. Atau antri beli menu di foodcourt. Karena semua serba pasti, walau antri, mereka pasti dapat giliran dan tidak terlalu lama.Â
Yang saya catat, orang Korea kalau makan cepat sekali.
Keanehan tapi senang yang saya alami adalah waktu mau masuk lift, masuk ke gerbong KA dan masuk bis. Saya hanya berdiri di dekat pintu masuk, semua yang baru datang langsung berdiri di belakang saya dengan rapi dan mengular. Pernah juga kaget ketika menoleh ke belakang, merinding melihat kedisiplinan mereka.
4. Itaewon multikultur menjadi salah satu penyebab insiden
Analisis ini hanyalah pendapat saya pribadi sebagai peminat budaya dan berdasarkan diskusi teman British yang tinggal lama di Korea. Bahwa berdasarkan jenis lokasinya, Itaewon dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai negara dengan budaya yang berbeda. Dalam hal ini tingkat kedisiplinan dan kerapian yang berbeda juga. Bahkan jalan di sisi kanan atau kiri, masing-masing negara berbeda, dan di Korea jalan di sisi kanan.
Bahasa yang dipakai beragam. Saya jadi ingat Menara Babel yang runtuh karena Tuhan membuat orang-orang Babel tidak bisa berkomunikasi karena bahasa mereka berubah menjadi berbeda dan asing.
Miskomunikasi juga terjadi ketika perayaan Halloween tersebut. Banyak yang tidak paham ketika lorong penuh, misalnya. Atau orang harus maju atau mundur. Serba kacau.
Saya menyebut orang-orang Korea sangat suka sepi. Mereka sibuk dengan gadget atau buku di keramaian. Ketika Halloween, musik menggelegar di mana-mana. Walau dengan sesama orang Korea, mereka tidak bisa berkomunikasi karena tidak bisa saling mendengar. Bahkan ketika insiden terjadi, musik tidak dimatikan karena tidak terpusat di satu titik.
Populasi orang Korea tidak banyak dan suka menjaga jarak atau space, tapi waktu Halloween semua populasi layaknya terpusat di satu titik, Itaewon. Berdempetan. Personal space tidak ada. Crowd atau keramaian memang bukan budaya Korea, semua menjadi kacau, tidak teratur, ramai dan serba ketidakpastian. Banyak kesalahpahaman.
Saya tidak ingin berandai-andai karena semua sudah terjadi. Pengalaman buruk semoga bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.Â
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H