Takdirnya sebagai perempuan yang bisa hamil dan mempunyai anak di perkawinannya diputuskan ditunda karena kesibukan pekerjaannya. Punya anak pun tidak dianggap penting.
Mungkin dia tidak merasa berkorban, namun memutuskan untuk menunda kehamilan padahal mampu bisa dianggap mengorbankan kesempatan untuk mempergunakan hak dan kemampuannya.
Pengorbanan yang sangat disadari oleh Soo-Yeon supaya bisa mencapai tujuannya adalah harga dirinya. Dia mau diperbudak oleh Ji-Ho si seniman supaya pria itu mau menjadi tamu event galerinya. Dia juga menurut apapun yang diinginkan Han Yong-Seok, pimpinan utama pemilik galeri, supaya diangkat menjadi direktur.
3. Punya Kuasa
Tokoh perempuan kuat di film ini tidak hanya Soo-Yeon tapi ada juga jaksa perempuan, Cho Yeong-Seon. Keduanya berhadapan ketika Soo-Yeon dituduh melakukan pencucian uang dengan membeli lukisan di sebuah lelang di Paris.
Yeong-Seon terkenal sebagai jaksa yang gila kerja dan ambisius. Persis sama dengan Soo-Yeon!
4. Harus Setara
Beberapa adegan menunjukkan bahwa Soo-Yeon ingin selalu setara dengan laki-laki, terutama suaminya, Tae-Joon. Satu contoh, Tae-Joon punya ambisi untuk menjadi kandidat partai, dan Soo-Yeon merasa berhak punya ambisi menjadi direktur galeri juga. Dengan cara yang sama, yaitu menghalalkan segala cara.
Ketika Tae-Joon merokok, Soo-Yeon juga minta sebatang rokok dan mereka merokok bersama. Adegan ini sangat simbolis. Rokok adalah penanda maskulinitas. Soo-Yeon sebagai perempuan ingin diakui maskulinitasnya.
Sebagai suami istri mereka saling mendukung, tapi bila bicara hak, Soo-Yeon terlihat memaksa mendapatkan kesempatan yang setara.
5. Kemiripan