Ketika pesawat mulai merapat ke bandara dengan pelan, Lea mulai panik. Bagaimana kalau Osa dikenali orang? Ini Jakarta, bukan Sumba. Osa bukan hanya populer, fans dia banyak, tidak hanya fans sebagai aktor tapi juga pemusik. Apalagi di dunia media sosial begini, akan cepat menyebar keberadaan dia.
"Sa, kamu butuh menyamar!" suara Lea mengagetkan Osa yang sedang melamunkan apa yang ingin dia lakukan bersama Lea malam nanti.
"Oh, ya!" Osa hanya bersama Lea, tidak dengan manajernya Iva dan staffnya yang pasti bisa melindunginya dari pandangan orang. "Aku akan memakai topi dan jaketku aku tinggikan."
"Kamu malah dikira oppa-oppa Korea!" Lea gemas. "Semakin banyak orang yang liatin kamu. Lalu akhirnya mengenali kamu, semakin berabe. Sudah, kamu menyamar jadi cewek saja. Nanti aku pinjami syalku dan kainku. Wajah kamu ada cantiknya, kok."
Osa terbahak dan dia menerima tantangan itu walau pasti akan terasa aneh. Dia ingin Lea benar.
Ketika mereka berjalan keluar dari pesawat, Osa masih memakai topi kuningnya yang dia benamkan dalam-dalam. Dia berusaha tidak bertemu mata dengan penumpang dan para pramugari. Tapi ketika melewati pintu pesawat, dia dengar malah seorang pramugara terkesiap, tapi dia tidak menyebut nama Osa.
Ke luar lorong, Lea langsung membongkar tasnya untuk mengeluarkan syal dan kain. Untung warnanya gelap, jadi tidak terlalu heboh kayak mau main sirkus.
"Celana kamu dilipat dong," kata Lea sambil mengatur syal supaya luwes dipakai Osa. "Nanti pakai gaya turislah, kacamata kamu tetap dipakai. Bulu kaki keliatan juga ga papa. Pokoknya lebih baik kamu dikira orang gila daripada sebagai Osa, ngerti?"
Osa menurut saja dan menikmati petunjuk Lea dan sentuhan tangan cewek itu ketika mengatur rambutnya dan memasang kain di sekitar pinggangnya.