Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu Kembali

4 Mei 2022   22:27 Diperbarui: 4 Mei 2022   22:33 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lea dan Osa

Deringan HPnya sedari tadi dibiarkan oleh Osa karena suara ringtonenya bukan yang dia harapkan. Lea memundurkan pulangnya kembali Jakarta. Arus balik macet banget, pesan singkatnya dikirim ke Osa sudah seminggu yang lalu. Tanpa lanjutan telpon.

"Osa, sejam lagi reading episode awal loh," Iva mengingatkan aktornya yang masih merenung sedari tadi. Dia juga sudah mencoba menghubungi Lea supaya cepat kembali, paling tidak menelpon Osa. Keberadaannya sangat berpengaruh pada kinerja cowok itu.

"Lea akan segera kembali, sudahlah," kata Iva lagi dengan lebih lembut. Dia merasa jengkel pada Lea yang sangat menggampangkan keistimewaannya di hidup Osa. Sejak mengenal cowok itu, Iva sudah menjadi long-lasting secret admirer. Bukan karena tidak ada kesempatan, pesaingnya ribuan dari fans dan haters. Apalagi semenjak Lea masuk dalam hidup Osa. Semua serba Lea.

Tapi Lea, cewek itu seakan tidak tahu atau tidak mau tahu. Dia datang dan pergi seenaknya. Bahkan setelah pamit mudik sebulan pun dia dengan mudah memperpanjang sampai entah kapan kembali ke kota yang sama dengan Osa.

"Wait, Osa, pernahkah kamu mengungkapkan perasaanmu pada Lea?" Iva memutuskan untuk membicarakan Lea daripada pekerjaan. Benar saja, Osa langsung menoleh padanya.

"Perasaan apa?"

"Kamu suka Lea?"

"Aku?" Osa terlihat kebingungan. "Aku cuma ingin bicara sama Lea biar dia segera balik. Bukan masalah perasaan suka."

"Jadi? Selama ini Lea tidak tahu kamu suka sama dia?" Iva semakin yakin kejengkelan dia bertambah pada Osa, sampai tingkat tertinggi. Tidak ada gunanya mengkhawatirkan Lea karena cowok itu pun tidak pernah mengumumkan apapun pada Lea.

"Aku suka sama Lea? Va, jangan random gitu. Nanti Lea dengar dia bisa salah paham," Osa terlihat kesal. Namun cara ini yang terbaik untuk mengembalikan Osa ke dunia nyata. Aktingnya harus fokus, apalagi naskah episode awal dari season dua sinetronnya yang kejar tayang ini barusan diterimanya beberapa jam yang lalu. Dia butuh segera mempelajarinya.

---

"Hey, kapan kamu balik sini?" Osa segera menyambar HPnya setelah reading selesai. Dia tidak peduli pada teman main perannya yang masih ingin mengobrol dengannya. Dia lihat ada satu miscall dari Lea.

Iva mendesah entah lega atau kesal, dia sendiri tidak tahu. Lega karena akhirnya Lea dan Osa berkomunikasi? Atau kesal karena Osa tidak mau menemui para pemain yang lain? Lawan mainnya di season ini kebetulan cewek seorang model yang barusan naik daun. Harusnya Osa mendekatkan diri sama orang-orang baru. Tapi ini malah mengecewakan mereka.

"Eh, Kak, manajernya Osa, ya?" Diva lawan main Osa memanggil Iva. Manajer ini mulai deg-deggan dengan apa yang dimaui Diva.

"Iya, Diva, bagaimana?" tanya Iva sopan.

"Bisakah kita ngadain dinner bareng sama Osa? Atau mungkin aku berdua saja sama dia? Kami perlu mencocokkan chemistry," kata Diva dengan percaya diri. Iva tahu, itu hanya alasan untuk mendekati Osa yang tampan tapi misterius.

"Nanti akan diatur oleh produser. Manajer Diva yang akan mendapat kabarnya," kata Iva diplomatis. Osa tidak pernah dinner dengan lawan mainnya. Dia paling anti sosial dengan rekan kerjanya. Itu yang selalu membuat Iva pusing, walau Osa tetap saja mendapat peran yang bagus karena ketampanan dan kualitas aktingnya.

"Oh, aku ingin ketemu privat di luar kerjaan ini, Kak," Diva masih berusaha. 

"Osa ada job lain selain sinetron ini, Diva. Dia masih harus latihan vokal untuk bandnya, ada pertunjukan minggu depan. Jadi biasanya agenda diatur oleh antar produser yang paling tahu update situasinya," Iva berusaha menjelaskan detil dan panjang lebar supaya Diva paham kode yang dia berikan.

"Emm, itu Osa telponan sama siapa? Dia tertawa terus?" Diva ternyata berusaha mengulik kehidupan Osa.

Kepala Iva terasa berat, memilih antara jujur atau melindungi privacy Osa. 

"Oh, mungkin sama produser standup comedy yang dikenalnya," tiba-tiba saja Iva mendapat ide itu, yang tidak jujur tapi juga tidak bohong. 

"Oh oke, nomor Osa, Kak, boleh minta?" Diva menaikkan level usahanya.

"Kalau itu maaf, silakan minta ke Osa sendiri. Tapi kalau mau janjian sama Osa, bisa melalui nomor saya yang dipunyai manajer Diva," Iva senang bisa berkelit dengan alasan yang sudah dipakainya ratusan kali pada lawan main Osa, baik itu cewek maupun cowok.

Setelah Diva lenyap dari pandangannya bersama rombongan krunya, Iva kembali mencari Osa yang juga ikutan lenyap dari titik dia telponan dengan Lea tadi. 

"Aku jemput kalau masih macet," suara Osa terdengar jelas di pintu yang dibuka Iva. Ternyata masih telponan dengan Lea, hanya chargernya nempel di HP dan di colokan. Segitunya, desah Iva.

"Aku bisa kirim chopper, Lea!" teriak Osa dengan nada riang, lalu diikuti tawanya yang merdu di telinga Iva. Sayang itu tawa bukan buat aku, batin Iva. Tapi aku harus bersyukur, masih bisa memandang Osa setiap waktu, sebagai manajernya, bisiknya pada diri sendiri.

Satu kertas kuarto bertuliskan 'sejam lagi cabut' dipampangkan di depan Osa. Cowok itu hanya melambai tanpa berhenti bicara.

"Lea, cepat balik," akhirnya Iva tidak tahan untuk tidak berteriak. Melepaskan kekesalan dan kekecewaannya. Teriakannya ditimpali tawa Osa yang renyah, untunglah cowok itu segera menghentikan percakapannya dengan Lea.

"Lama banget telponan?" Iva terdengar seperti pacar yang cemburu. 

Osa tertawa, "Karena Lea jauh."

"Kamu lamar saja Lea, Os," tak sadar kalimat itu meluncur di mulut Iva, menunjukkan keputusasaannya.

"Lamar?" Osa melotot dan dengan nada emosi. Duh, Osa marah, batin Iva.

"Kalau kamu nikahi Lea, dia akan selalu di dekat kamu," suara Iva memelan. Dia sebenarnya yang ingin dilamar Osa.

Osa tidak menjawab apapun. Dia keluar menuju lokasi studio tempat syuting hari ini. Iva menghela napas lega, dia tadi salah omong, untuk Osa dan untuk dirinya sendiri.

---

"Hey, Osa, habis syuting kita makan keluar, yuk?" sapa Diva meriah. 

"Kamu kontak Iva saja," jawab Osa dingin. Seakan merasakan es tiba-tiba, Diva langsung terdiam.

Akting Osa sungguh bagus, puji Diva. Karena Osa menjadi hangat padanya sesuai perannya di sinetron sebagai seorang detektif yang melindungi saksi kunci, diperankan oleh Diva sendiri. Cewek itu memilih halu, menikmati akting Osa seakan cowok itu melakukannya di dunia nyata. Suara 'cut' dari sutradara mengembalikannya ke perasaan kecewa karena Osa langsung menjauh.

Diva semakin mengagumi kualitas Osa sebagai aktor profesional. Tidak hanya tampan, enak dilihat, tapi juga selalu tahu apa yang dilakukan. Selalu sekali take untuk syuting peran Osa. Dia terlihat fokus mendengarkan petunjuk sutradara. Diva sendiri minimal tiga take, padahal dia sudah lumayan sering syuting. 

Selesai syuting sore itu, Diva menemukan Osa di balkon sambil menimang-nimang HPnya. Cewek itu sekali lagi ingin mencobai peruntungannya.

"Mau kopi, Osa?" sapa Diva sambil menyerahkan satu mug ke tangan Osa.

"Oh, thanks, tapi aku tidak minum kopi," jawab Osa tapi masih menerima mug dengan sopan.

"Kenapa?"

"Bikin susah tidur," jawaban Osa sangat klise tapi buat Diva ini info menarik.

"Oh, sorry. Jadi hanya kopi yang membuat kamu susah tidur?" pancing Diva. Anehnya, dia tidak merasa kesal melihat Osa menaruh mug itu di meja sampingnya karena Osa sepertinya siap mengobrol.

"Enggak juga, ada yang lain, kalau banyak pikiran," jawab Osa, tidak terlalu dingin lagi. Diva lega, ada harapan.

"Sekarang banyak pikiran?" Diva menanyakannya dengan tersenyum, dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Dia nikmati wajah tampan Osa tanpa memikirkan kata-kata di naskah.

"Cuma satu, menunggu teman balik mudik," mata Osa mengawang ke arah lampu-lampu kota di kejauhan.

"Teman?" Diva agak terusik.

"Iya, eh sebentar," HP Osa berbunyi dan dengan jelas Diva melihat wajah cerah cowok itu ketika melihat siapa yang menelpon.

"Aku balik dulu, ya?" pamit Osa sambil menempelkan HPnya di kupingnya. Diva merasa ada yang hilang.

"Bagaimana? Masih macet di TV? Itu, kan TV?" suara Osa terdengar menggema di lorong. "Apa? Besok kamu mau naik kereta? Mobil kamu gimana? Ok, kapan-kapan kita ambil bareng. Aku menunggu kamu kembali ..."

Sayup-sayup suara Osa terdengar oleh Diva, dia menunggu satu nama disebut tapi tak kunjung terdengar. Dia tidak tahu, yang menelpon itu cowok atau cewek. Dia ingin tahu.

+

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun