Walau setiap episodenya kurang dari 30 menit, serial Emily in Paris ini selalu sarat akan konflik. Di Season 1 banyak tentang stereotipe orang Perancis yang dibentuk oleh orang Amerika, yaitu Emily. Hanya saja dimaknai secara langsung.
Di Season 2 ini, stereotipe masih ada namun agak halus, memakai konflik cinta segitiga antara Emily-Grabriel-Camille. Hubungan Emily dengan Bossnya, Sylvie, juga memunculkan itu.Â
Season 2 Episode 5: An Englishman in Paris
Di episode ini ada tambahan karakter yang menunjukkan inklusifitas serial ini, Alfie, teman kursus Bahasa Perancis yang berasal dari London. Selain itu, inklusifitas pada karakter gay dimunculkan juga. Tentang si gay Julien yang tertarik pada Benoit, teman ngamen Mindy.
Tentang pembentukan stereotipe, Emily mendapatkan tandingannya. Seperti backlash, kena serangan balasan dari Sylvie.Â
Ketika membicarakan produk gelang dengan sentuhan bentuk hati lalu Emily menyebut tentang Valentine's Day, Sylvie menyampaikan bahwa romantisasi sangat dikomersialkan di Amerika. Hmm, padahal Paris kan dianggap kota paling romantis di dunia? A City of Love, kata Emily.
Daftar lagu playlist yang disodorkan Emily: 'Put A Ring on It', 'Diamonds', 'Diamonds and Pearls', 'Gold Dust Woman', menegaskan stereotipe itu.
Alfie, orang Inggris, juga membuat tandingan stereotipe tentang Emily yang sangat jelas menampilkan representasi orang Amerika. Katanya, Emily suka iced latte dan pantai, suka baca buku dan zodiaknya Gemini. Tentu saja langsung diprotes Emily.
Dan Alfie adalah peserta kursus yang sangat terpaksa belajar Bahasa Perancis hanya gara-gara kewajiban perusahaannya. Maka, cocok sekali dengan karakternya, ketika dia mengajak Emily ke resto Breakfast in America, untuk berdiskusi tentang tugas kursus.
Alfie ikutan menambah stereotipe Paris:
1. kota yang katanya romantis di buku, film dan media sosial
2. nyatanya kota yang penuh dengan asap rokok
3. trotoar yang kotor
4. jebakan buat turis
5. macet
6. harga makanan yang terlalu mahal
7. seniman palsu
Herannya, Emily membela Paris habis-habisan. Menyatakan bahwa London pun tak jauh beda.
Yang asik di episode ini, kita bisa belajar tahap-tahap marketing untuk pembukaan restoran baru, punya Antoine dan Gabriel yang diserahkan kepada Savoir, notabene Emily.
1. Menciptakan awareness - melalui konten Instagram
2. Soft opening - with a bang! Yang heboh!
3. Membentuk identitas - membuat konten behind the scene: Gabriel memasak!
Savoir menjadi tempat konflik cinta segitiga Emily-Gabriel-Camille terutama karena Camille dan Gabrielmenjadi klien Savoir. Bisa ditebak apa yang terjadi. Ketiganya bertemu di Savoir.
Saya suka dengan pendapat Sylvie tentang keputusan Emily yang menjaga jarak dengan Gabriel supaya cowok itu kembali ke Camille.
Sylvie mengatakan, ketika di Paris, jatuh cintalah - walau Emily selalu bilang dia hanya setahun di sini. Bikin kesalahan, kata bossnya lagi. Tinggalkan jejak yang bermakna ketika kamu sudah tidak di sini. Tinggalkan kenangan buat orang-orang yang ditinggalkan, Itulah hidup!
Kalau cuma setahun di Paris, manfaatkan sebaik-baiknya! Yang artinya, berhati-hati adalah membosankan.
Sebenarnya, pikiran Emily untuk berhati-hati karena cuma setahun di Paris sejalan dengan keputusan Alfie yang tidak mau serius belajar Bahasa Perancis.Â
Buat apa belajar sesuatu yang tidak berkelanjutan, menurutnya. Tidak mau melakukan sesuatu yang tidak berlanjut. Itu hanya fantasi, demikian juga kota Paris, yang dianggap sebagai fantasi.
Dan, kepercayaan Camille tentang banyak hal aneh terjadi di Paris, menyelesaikan permasalahannya dengan Emily.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H