Sebagai anak pertama, Kakeknya memberi nama Eko. Namun, untung orang tuanya cukup modern, diganti menjadi Iko. Kalau sedang memperkenalkan namanya, dia selalu ingat sejarah ini. Buatnya, ketika masih SD, nama Eko terdengar seperti nama guru matematika.
Dilahirkan di keluarga konglomerat yang memiliki berbagai jenis perusahaan nasional dan internasional, garis hidupnya sudah sangat jelas. Ketika dia sudah menikah, tampuk CEO Octantis berhak dimilikinya secara otomatis.
Selain itu, Iko memang sudah punya modal sejak lahir. Selain imut dan menggemaskan ketika bayi, bahkan katanya bisa juara lomba balita kalau diikutkan, ketika mulai sekolah ketampanannya sudah terlihat. Sejak SD sudah melanggan jadi ketua kelas dan kesayangan guru. Kalau yang terakhir ini karena cerdas dan penurut, plus cakep.
Sampai di SMP dan SMA selalu didorong untuk ikut jadi kandidat Ketua OSIS dan lolos. Waktu SMP pun dia menjadi Kapten Futsal. Berpindah ke SMA jadi Kapten Basket dan pimpinan band memegang drum. Banyak teman perempuannya berlomba untuk mendapat perhatiannya.
Namun sejak SD, Iko sudah menyadari popularitasnya di masyarakatnya dan di dunia perempuan. "Kalau kamu pengin dapat cewek, gampang, Ko, tinggal noleh aja sudah ada yang mau digandeng," sahabatnya Kori selalu mengingatkan dan menyadarkannya.
Malah yang terjadi kebalikannya, Iko tidak bisa percaya pada teman-temannya yang perempuan. Yang dia pahami, mereka mendekatinya karena kepintaran, kekayaan dan popularitasnya. Tidak ada yang murni, berteman hanya karena dia.
Ketika kuliah lebih parah lagi. Dari Kori, dia tahu bahwa dia jadi taruhan, tidak hanya para cewek tapi juga cowok. Pernah akhirnya dia dipaksa menjemput Dinda, cewek tercantik seangkatannya, untuk ikut Welcoming Party. Ketika mengambil HPnya yang tertinggal di mobil, dia mendengar sekelompok mahasiswa membagi hasil taruhan buat kesuksesan Dinda.
Sejak itu, dulu Iko yang dikenal ramah tapi tetap menjaga jarak, berubah menjadi cowok dingin, pasif dan suka menyendiri. Teman dekatnya bisa dihitung tak sampai lima jari. Kori dan beberapa teman band dari SMA. Semua cowok. Mereka tidak ada yang pernah membuatnya menjadi taruhan.
"Kamu malah menaikkan harga di mata cewek-cewek," keluh Kori suatu hari. "Tambah cool, katanya."
Iko tidak peduli. Sejak SMA dia yakin tidak ada cewek yang akan menaklukkan hatinya. "Semua fake," katanya selalu pada Kori, yang semakin khawatir akan masa depan sahabatnya. "Tak ada cewek yang bisa membuatku menoleh."
"Jangan gitu, Ko, karma loh," teriak Kori kuat-kuat yang dipercayanya bisa menghilangkan kutukan pada Iko.
"Aku tidak percaya karma," kata Iko menutup diskusi yang dianggapnya tidak menguntungkan ini.
Hingga akhirnya Iko bertemu Arimbi, rivalnya dalam memasuki perusahaan marketing bonafid yang diimpikannya. Hanya ada satu lowongan. Akhirnya dia dan Arimbi yang diterima karena perusahaan tidak mau kehilangan keduanya.
Saat itu Iko menoleh pada Arimbi yang duduk di sampingnya, di depan boss Daniel yang memberikan jawaban proses lamaran mereka.
Dilihatnya Arimbi adalah cewek biasa, tapi membuatnya menoleh dan memperhatikannya lekat-lekat. Rambutnya panjang tapi tidak terlalu rapi. Bajunya polos tanpa terlihat modis. Makeupnya tipis, hanya lipstik warna natural dan bedak tipis yang membuat mukanya tidak mengkilap. Cewek biasa tapi mengambil perhatiannya. Iko merasa tidak nyaman.
Arimbi hanya sekali menoleh padanya dan setelah itu tatapannya lurus ke depan, ke Pak Daniel si pengusaha muda.
Lalu dia ingat ancaman Kori tentang karma. "Apakah aku tertarik pada cewek yang jauh di bawah standar cewek-cewek yang mengejar aku?" katanya dalam hati, dan langsung saja Iko membuang jauh-jauh pikiran itu.
Namun Arimbi semakin hari membuatnya terperangkap. Keduanya sadar kalau bersaing mencari posisi diangkat menjadi karyawan tetap secepat mungkin. "Apakah karena persaingan ini?" pikir Iko. Selama ini dia hanya bersaing dengan cowok.
Dia tepis rasa ketertarikan pada Arimbi, dipegangnya alasan bahwa Arimbi beda, dia pesaing, yang harus diamati gerak-geriknya.
Hanya saja Iko merasa tidak nyaman kalau Arimbi tidak masuk kantor. Dia ingin bertemu dan berdebat dengan cewek itu setiap hari. Iko menyadari perkembangan ini tapi dia tidak mau menerimanya. Semakin dia menolak, semakin sering dia mengajak Arimbi dalam satu tim proyek iklan.
Tahun kedua bekerja, Iko mendapati dirinya sering ke rumah Arimbi tanpa sebab. Cewek itu pun biasa saja menerimanya. Bahkan memperlakukannya seperti orang serumah, menyambutnya dengan handuk melilit di kepalanya dan celana pendek serta kaus apa adanya. Iko kadang tercekat dengan pemandangan yang sangat biasa itu.
Kori akhirnya yang menegaskan bahwa karma itu sedang berlangsung. Suatu hari mereka berdua sedang membicarakan rencana jamming band bersama teman lama di suatu cafe. Tiba-tiba saja Arimbi muncul bersama salah satu klien pria yang dikenalnya.
"Rim," panggilnya, sekejap setelah menyadari cewek itu Arimbi. Yang dipanggil hanya menunjuk ke klien yang berjalan mencari meja di depannya.
Tanpa sadar, Iko berdiri dan mendekati keduanya yang sudah mulai duduk dan membaca menu. Dia menyapa klien mereka dan minta Arimbi bergabung dengannya setelah urusan dengan klien selesai.Â
"Tadi itu siapa?" tanya Kori yang belum pernah bertemu dengan rekan kerja Iko.
"Rimbi, teman satu tim di proyek," kata Iko sambil menyeruput jusnya.
"Kamu suka sama dia, ya?" Kori mengulum senyum.
"Enggak, ya, sudah aku bilang, aku hard to get, you know."
"Apa? Hard-to-get kok manggil duluan? Apalagi nyamperin di meja segala? Sekarang nggak lepas memandang ke arah situ lagi?"
"Aku nggak ingin dia pergi tanpa sepengetahuanku."
"Nah itu, apalagi, Iko. Sudah ngaku aja, karma itu benar-benar ada."
 "Enggak."
"Hey, cewek tadi kayaknya cuek saja sama kamu? Tuh, satu bukti kelakuanmu dulu dibalas sama dia."
"Rimbi memang begitu sifatnya. Aku sudah biasa."
"Nah, nah, sekarang dia berdiri saja kamu sudah bereaksi mau nyusul ke sana. Sudahlah, Iko, akui saja kamu ada rasa sama dia."
"Kami satu tim, wajar kan kalau saling ..."
"Enggak wajar. Pernah kamu disapa yang katamu juga teman satu tim, yang menurutku cantik, kamu cuek saja, nggak blingsatan seperti ini."
"Oh, Risa? Dia pegawai baru."
"Risa namanya? Seingatku dia kayak suka sama kamu. Oh, atau karena dia ngejar-ngejar kamu seperti cewek-cewek di masa lalumu?"
"Mungkin."
"Nikahi saja si siapa? Oh ya, Rimbi, Ko. Sudah waktunya kamu menjadi CEO Octantis."
"Aku nggak yakin dia mau."
Kori terbahak mendengar kalimat Iko yang akhirnya menunjukkan bahwa dia suka sama Arimbi. Namun Iko benar-benar serius mendengarkan usulan Kori tersebut, dia akan memikirkannya.
Arimbi akan menjadi partner hidup yang baik. Dia dekat dengannya ketika bekerja dan juga di luar pekerjaan, bahkan sampai mengurusi mobil tuanya, dia bisa diandalkan.
Pertanyaan besarnya, apakah Arimbi suka padanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H