Senin pagi di kantor, bossku memberi kejutan.
"Arimbi, panggil Iko, Raka dan Risa, kita menemui klien baru di luar kantor," katanya penuh instruksi. Biasanya sekretarisnya yang menghubungi kami. Mungkin ini mendadak dan spesial, Daniel masuk ke ruangan kami langsung.
"Aku tunggu di basement," katanya lagi tanpa memberi tahu apa yang harus disiapkan. Lebih baik kami mengantisipasi semuanya. Aku minta semua bawa laptop dan harddisk eksternal terbaru.Â
Mobil besar kantor sudah siap. Daniel sudah duduk di tengah. Aku langsung menuju ke jok belakang. Iko menyusul di sampingku.
"Kok pada di belakang?" tanya Risa. Dia grogi karena baru pertama kali ini pergi dengan boss besar.Â
"Etikanya, jok belakang diisi duluan," jawabku yang ternyata salah karena Daniel sudah pertama kali masuk tapi duduk di tengah yang ada armchairnya. Â
"Jadi aku tidak beretika, Rim?" suara dalamnya menusuk jantungku dan tatapan matanya tajam ketika menoleh ke belakang.
"Eh, Boss, eh Pak ...."
"Daniel, ingat?" kata-kataku dipotongnya.
"Eh, seat di belakang sopir memang etikanya untuk Anda, Daniel," jawabku dengan kalimat aneh. Aku merasakannya karena Iko melongo di sampingku mendengar cara aku ngomong dan panggilanku pada boss kami.
Risa lalu menghempaskan badannya di samping Daniel. Seat yang paling nyaman seharusnya, karena individu dan ada armchairnya. Tapi ketika kamu duduk berdampingan dengan boss, mana ada kata nyaman? Apalagi Risa anak baru.