Pim adalah masa lalu Axl. Mereka bersekolah bersama sejak SMP sampai ke bangku kuliah. Dari awal kenal, Axl sudah mengejar-ngejar Pim. Bukan karena dia suka tapi karena tantangan dari teman-temannya. Dia ingin memenangkan taruhan, bisa mendekati Pim dan menjadikannya pacarnya.
Tapi Pim tahu taruhan itu dan tidak pernah membiarkan Axl mendekatinya. Bahkan Pim membencinya karena itu. Persahabatan mereka tidak lagi sama. Axl juga tidak peduli, yang dia pedulikan adalah kalah taruhan.
Ketika kuliah, mereka ada di kampus dan jurusan yang sama, Manajemen. Hanya teman-teman mereka berbeda. Tidak ada lagi yang mendorong dan memanas-manasi Axl untuk menaklukkan Pim. Axl pun menjauh walau masih berharap bisa menang taruhan. Ini hanya untuk cerita ketika reuni SMP atau SMA.
Ketika masa kuliah pun kelas mereka selalu sama. Untuk membentuk kelompok, Axl masih berusaha satu kelompok dengan Pim. Tapi selalu gagal karena dosen yang membagi kelompok kebetulan tidak bisa mempersatukan mereka. Axl pun tidak berusaha mengajak Pim bicara, dia terlalu sakit hati dicuekin Pim.
Ketika reuni, Axl selalu menjadi bulan-bulanan karena menjadi satu-satunya peserta taruhan yang gagal. Semua teman di cirlenya berhasil mendekati cewek yang menjadi taruhan, kecuali Axl.
"Itu gara-gara sudah ketahuan," kata Axl kesal bila diejek Dio, ketua gengnya.
"Iya, aku yang memberi tahu Pim, karena aku yakin kamu bisa, maka aku berusaha menggagalkan kamu, Axl," Dio terbahak. Mereka tidak saling benci karena tahu pertaruhan itu hanya main-main saja.
"Kamu merusak suasana, jadi bikin susah," gumam Axl yang sudah tidak berminat lagi.
Sejak kuliah teori selesai dan semester disibukkan dengan magang, KKN dan skripsi, Axl sudah tidak memikirkan Pim lagi. Apalagi di semester terakhir sebelum magang, Pim sempat melabraknya karena pertaruhan itu.
"Axl, aku mau bicara sebentar," waktu itu mereka baru selesai melihat hasil nilai semester terakhir. Axl tersenyum sedikit karena baru pertama kali ini Pim memanggilnya. Biasanya dia yang lebih berinisiatif.
"Ada apa, Pim? Mau kencan denganku sore ini?" Axl langsung main tembak.
"Hentikan usahamu, Axl. Aku selamanya hanya akan menganggap kamu teman," kata Pim tegas. Tangannya mengepal karena emosi dan terhina dia dijadikan taruhan.
"Hm, friendzone?" Axl masih dengan nada menggoda. Pim sebenarnya nilainya 9 untuk penampilan dan kecerdasannya. Tapi Axl tidak ada rasa apapun sama dia. Hanya taruhan.
"Bahkan teman pun tidak," Pim kelihatan hampir berteriak karena gemas. "Jauhi aku."
"Memangnya selama ini aku ngapain?" Axl bingung sendiri bagaimana menjauhi Pim karena dia tidak melakukan apapun selama masa kuliah.
"Perlu bukti?" desis Pim. "Kamu selalu duduk di belakangku. Kamu selalu memilih kelas yang jadwalnya sama dengan aku. Kamu selalu menguntit aku di kantin. Kamu selalu parkir di samping motorku. Kamu ikut ekskul yang sama juga dengan aku - untung kamu tidak lolos, tapi aku tahu. Banyak deh. Sekarang kamu daftar magang di lokasi sama dengan aku."
"Tidak, untungnya tidak," Axl terkejut dengan detil yang diberikan Pim. Dia sendiri tidak sadar telah melakukan itu. Kebiasaan waktu SMP saja, waktu mulai taruhan.
"Tidak bagaimana? Aku tahu kamu mengajukan surat ke TU, aku baca," tukas Pim.
"Iya, sebelumnya begitu, biasa tidak lolos, aku sudah lolos di tempat lain, bye, Pim, kamu aman," kata Axl mengeloyor pergi. Membuat Pim semakin kesal karena marahnya belum selesai.
Ingatan memori itu mengembalikan Axl pada masa terakhir berpisah dengan Pim. Pim marah. Setelah itu dia hanya mengirim ucapan ulang tahun, sampai mereka selesai kuliah dan wisuda bersama. Pim tidak pernah membalas ucapannya tapi Kia, sahabat Pim tahu, dia yang mengingatkan Axl untuk kebiasaan itu.
"Pim, selamat ulang tahun," sapa Axl ketika panggilan telponnya diangkat dan mendengar sapaan Pim yang lembut.
"Ini, Axl?" kata Pim kaget. Baru pertama kali cowok itu menelponnya selama ini.
"Iya, panjang umur, ya," kata Axl lagi.
"Oke, makasih," Pim bingung karena masih kaget.
"Bye, Pim," kata Axl. Lalu menutup panggilannya karena HPnya sudah terasa licin kena keringat di telapak tangannya yang tiba-tiba banyak.
[Bersambung]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H