Rukun Tetangga (RT) yang bernama Koprizal, Â selaku Ketua RT 02 RW 02 yang berlokasi di Desa Tanah Merah Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar menjadi sorotan publik hingga menuai polemik.Â
Pemberhentian Ketua
Polemik ini berawal dari RT yang juga menjabat sebagai Koordinator Lapangan terkait pengelolaan sampah di Desa Tanah Merah. Pengelolaan sampah ini  dibawah naungan BumDes hingga hutang kepada BumDes oleh Ketua RT . Dari data yang masuk ke LKpIndonesia dan pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Desa (Kades)Tanah Merah melalui rapat terkait polemik ini, pemerintah desa melakukan pemecatan terhadap Ketua RT tersebut karena perilakunya. Jika cuma terkait perilaku, tentunya hal ini tidak sesuai prosedur dilakukannya pemecatan (sesuai surat panggilan hingga SK Pemberhentian Ketua RT.02), seharusnya dilakukan pembinaan terlebih dahulu. Bukan main pecat sini pecat sana!
Sebenarnya bukan kali ini saja hal ini dilakukan oleh Pemerintahan Desa Tanah Merah, jauh sebelumnya pemecatan RW/RT, perangkat desa  juga pernah dilakukan (imbas dari Kades tersangkut kasus korupsi ADD). Bukan sampai disana saja, dari kejadian aksi pecat memecat ini hingga lahir Peraturan Desa Tanah Merah Nomor: 08 Tahun 2019 terkait Pedoman Pengangkatan dan Pemberhentian Lembaga Kemasyarakatan Desa Tanah Merah (Tak digunakan saat pengeluaran SK sebagai dasar pemberhentian RT). Selain itu, Ketua RT yang dipecat ini ada memiliki hutang kepada BumDes (pernyataan Kades Tanah Merah), kenapa bisa? Ada apa sebenarnya, ini harus ditelusuri kebenarannya lebih lanjut oleh BPD.Â
Melihat gambaran singkat diatas tentunya kasus ini memicu pertanyaan mendasar tentang kewenangan kepala desa dan batas toleransi dalam pemberhentian RT. Di satu sisi, kepala desa memiliki hak dan tanggung jawab untuk memimpin desa dan memiliki wewenang. Di sisi lain, proses pemberhentian harus dilakukan dengan mengikuti prosedur yang benar dan berdasarkan alasan yang jelas dan tidak diskriminatif tentunya.Â
Peraturan DesaÂ
Keberadaan Peraturan Desa dalam perundang-undangan di Indonesia. Peraturan Desa tidak disebut dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada UU 12/2011. Namun, keberadaannya diakui berdasarkan pada Pasal 8 UU 12/2011 yang dimaknai peraturan yang dibentuk oleh kepala desa.
Penegasan keberadaan Peraturan Desa kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Desa. Pasal 117 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 7 UU Desa mendefinisikan peraturan desa sebagai berikut:
Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Adapun Peraturan Desa adalah salah satu dari peraturan yang ada di desa selain Peraturan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa.Â
Patut digarisbawahi, Peraturan Desa sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan  tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, Peraturan Desa juga tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Maksud dari kepentingan umum adalah kondisi terganggunya kerukunan masyarakat, terjadinya diskriminasi berbasis SARA, terganggunya pelayanan publik, hingga terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Peraturan Desa Tanah Merah Nomor: 08 Tahun 2019 terkait Pedoman Pengangkatan dan Pemberhentian Lembaga Kemasyarakatan Desa Tanah Merah terindikasi maladministrasi dan legalitasnya menuai perdebatan alias cacat dimata hukum.
Sesuai data yang masuk dan penelusuran oleh Tenaga Ahli LKpIndonesia, hal ini ada buntut dari permasalahan pribadi yang dibawa ke ranah pemerintahan. Tentunya ini tidak bisa dibenarkan, apalagi mekanisme pemecatan mitra desa yang dilakukan tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan sarat maladminstrasi. Apa itu Maladministrasi, mari kita ulas.