Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Seringkali, pemerintah desa tidak transparan dalam pengelolaan keuangan desa. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan memicu konflik di masyarakat.
Ketidakmampuan Merumuskan Kebijakan yang Tepat: Kurangnya kapasitas dan pengetahuan menyebabkan pemerintah desa tidak mampu merumuskan kebijakan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Â
Kurangnya Partisipasi Masyarakat: Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan di desa. Hal ini menyebabkan kebijakan yang dibuat tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat.
Kekeliruan pemerintah desa dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif; Dana desa yang tidak digunakan dengan tepat sasaran, akan menghambat pembangunan infrastruktur dan program-program kesejahteraan masyarakat.Â
Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dapat memicu kecurigaan dan konflik di masyarakat. Ketidakmampuan merumuskan kebijakan yang tepat dapat memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial di desa.
Maladministrasi dan Rangkap Jabatan
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat membuat masyarakat tidak percaya kepada pemerintah desa. Ketika masyarakat tidak dilibatkan makannya dengan mudahnya tindakan rangkap jabatan terjadi.Â
Rangkap jabatan sendiri dipahami sebagai kondisi di mana seseorang memegang jabatan atau memiliki lebih dari satu cabang kekuasaan di saat bersamaan. Perangkat Desa tidak boleh rangkap jabatan dengan sumber gaji yang sama dari Negara, baik itu ABPN maupun APBD. Pada pasal 51 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa disebutkan kepala desa dan Perangkat Desa dilarang rangkap jabatan.
Ketika rangkap jabatan itu terjadi di Pemerintahan Desa, maka indikator Maladministrasi akan terjadi. Menurut Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Dalam buku saku Memahami Maladministrasi, Hendra Nurtjahjo dkk mendefinisikan maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik yakni meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut.
Perlu diketahui bahwa pihak atau subjek yang dapat dikatakan melakukan maladministrasi adalah penyelenggara negara yaitu pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Â
Selain itu, termasuk juga Badan Usaha Milik Negara ("BUMN"), Badan Usaha Milik Daerah ("BUMD"), Badan Hukum Milik Negara ("BHMN") serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.