Mohon tunggu...
LKPIndonesia
LKPIndonesia Mohon Tunggu... Human Resources - Peneliti

LKPI

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UU ITE dan Permasalahan Yang Mengitarinya

22 Juni 2023   10:52 Diperbarui: 22 Juni 2023   16:22 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dosen Prodi Ilmu Hukum  Universitas Dharma Andalas (UNIDHA), Desi Sommaliagustina menilai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diubah dengan UU 19 Tahun 2016, menimbulkan permasalahan yang berakibatkan dilematisnya korban kekerasan seksual untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya. 

Kenapa demikian? Hal itu disebabkan dengan adanya pasal karet di UU ITE para korban kekerasan seksual berpotensi mendapatkan perlakuan yang tidak adil yang berujung kriminalisasi. Itu bisa terjadi ketika korban pelecehan seksual menyampaikan atau mengungkapkan kejadian yang dialaminya.

"UU ITE membuat dilemanya korban kekerasan seksual disaat ingin menyampaikan dan mengungkapkan apa yang dialami. Apalagi kalau dilengkapi dengan dokumen digital," ujar Desi dalam diskusi publik yang ditaja LKPIndonesia, Selasa (20/6/2023) malam.

Ia menjelaskan, mayoritas kondisi korban tidak tahu ada mekanisme pelaporan atau tidak percaya dengan instansi terkait akan menangani kasus kekerasan seksual. Dalam hal ini kebanyakan ketika korban masih mahasiswa. Maka kebanyakan korban kekerasan seksual memilih untuk curhat atau menyampaikan ekspresi di media sosial yang berujung viral dan dijadikan senjata balik oleh pelaku untuk mengancam. Seperti yang terjadi pada kasus yang viral baru-baru ini, yang dilakukan oleh oknum mahasiswa Universitas Andalas.

"Beberapa kasus berdampak jadi ancaman pelaporan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ada yang mengancam fotonya disebarkan seperti yang viral di Twitter baru-baru ini," ucap Desi

Dia menyebutkan ini merupakan salah satu dampak buruk Pasal 27 UU ITE yang menjadi pasal karet. Lantaran pada pasal itu penyebaran konten seksual merupakan delik formil yang memungkinkan korban justru dikriminalisasi.

"Pasal ini memang problematik, jadi yang membuat dan menyebarkan konten itu bisa jadi dituduhkan ke korban. Pasal ini tidak melihat dari konteks korban kekerasan seksual itu sendiri," urai dia.

Di sisi lain, Dosen yang juga Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas ini juga menemukan bahwa kasus kekerasan seksual yang viral ini cukup kompleks dampaknya terhadap penyintas. Kebanyakan penyintas dan korban justru mengalami trauma mendalam saat kasusnya viral dan diperbincangkan publik. Bahkan ada beberapa kasus ketika masuk ke media massa korban malah dieksploitasi. Dampaknya korban langsung membutuhkan pendampingan psikiater karena mengalami trauma berat.

"Curhat di media sosial itu menambah informasi yang belum tentu benar. Maka menurut saya bagi korban kekerasan seksual, kebebasan berekspresi lebih baik ditahan dulu," tuturnya

Ia berharap ke depannya UU ITE segera direvisi dan para korban kekerasan seksual khususnya tidak berpotensi dikriminalisasi.
Sebab para korban memerlukan pendampingan trauma dan pemulihan mental yang cukup panjang.

"UU ITE tidak melihat ada kerentanan spesifik akibat adanya relasi kuasa. UU ITE penting, tapi harus direvisi dalam konteks kekerasan seksual lebih baik ke UU TPKS," tutup Desi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun