Tragedi ledakan bom di wilayah Sarinah pada Kamis (14/1/2016) lalu, membuat siapapun masyarakat Indonesia tidak ingin tinggal diam. Semuanya angkat bicara, mulai dari politisi, pengamat intelejen, selebriti hingga netizen turut mengungkapkan duka cita nya kepada 26 korban ledakan di ibukota. Secepat terjadinya pengeboman di kawasan Sarinah, secepat itu pula arus informasi menyebar melalui berbagai media komunikasi.
Hingga hari ini, berita seputar tragedi pengeboman di Jakarta masih mendominasi pemberitaan baik media cetak, layar kaca maupun dunia maya. Mulai dari hujan broadcast peringatan di smartphone, ucapan belasungkawa para netizen, bincang selebriti yang turut pula mempublikasi testimoni publik figur Indonesia, hingga media berita yang mulai sesuka-sukanya menggiring opini menerka-nerka siapa dalang dibalik aksi teror itu. Muncullah segenap nama-nama kelompok yang katanya ekstrimis, fundamentalis, atau apalah itu namanya, di duga-duga oleh para pengamat intelejen sebagai sang pelaku. Tentu tak ada yang ingin ketinggalan memberitakan duka Indonesia hari itu. Ah biasa! Akan selalu begitu alurnya...
Namun, jika begini jadi teringat apa yang dikata sang Maxwelll Comb dan Donald Shaw tentang Agenda Setting-nya, “bahwa media massa mempunyai kemampuan untuk memindahkan wacana dalam agenda pemberitaan kepada agenda publik” katanya. Menyimak bagaimana tragedi enam ledakan pagi tadi menjadi sorotan utama seluruh media Indonesia, boleh jadi merupakan peluang bagi pihak-pihak berkepentingan untuk ‘mengalihkan isu penting’ yang juga terjadi pada beberapa hari kemarin. Sebagaimana asumsi Teori Agenda Setting, yang meyakini bahwa media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan lebih pada salah satu isu, untuk membiarkan publik memilih isu mana yang lebih penting dibandingkan isu lainnya.
Tentu, saya tidak bermaksud mencederai dan menganggap remeh temeh tragedi pengeboman di kawasan Sarinah. Hanya saja, sungguh saya ingin mengajak kawan tercinta untuk menolak lupa tentang moment penting lain yang juga terjadi pada awal tahun ini.
Siapa yang ingat, jika hari Kamis (14/1/2016) adalah deadline divestasi saham freeport?
Dibandingkan berita tragedi pengeboman jakarta, pemberitaan Deadline Divestasi Saham Freeport beberapa hari ini, cukup sukar ditemui kabarnya di media-media nasional. Ya, menjadi wajar adanya, mengingat ledakan itu menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia, sementara Divestasi Saham Freeport hanya dimengerti oleh para penguasa.
Namun, sekali lagi kawan, sungguh saya ingin mengajak kawan tercinta untuk menolak lupa. Ditengah duka yang melanda Indonesia, marilah tetap awas dan kritis mengawal kebijakan pemerintah kita.
Jadi, mari kita pelajari!
14 Januari 2016 adalah hari terakhir ‘Deadlline’ divestasi saham freeport sebesar 10,64 % yang ditawarkan kepada pemerintah Indonesia. Berdasarkan berita yang dilansir metrotvnews.com, pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerima penawaran divestasi saham PT Freeport Indonesia (PT FI) sebesar 10,64%, sebagaimana diungkapkan Menteri ESDM, Bambang Gatot Subroto, ketika konferensi pers di Balai Kartini kamis (14/1/2016). Namun, tentu kabar ini lebih tidak menarik dibandingkan perihal bom yang menggegerkan Jakarta beberapa hari yang lalu bukan?
Tak apa, mari tetap lanjut amati!
Nah, mengenai hal pemerintah yang dalam beberapa kabar pemberitaan mendesak PTFI untuk segera memberikan penawaran saham-nya, adalah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu kewajiban PTFI sebagai perusahaan yang melakukan aktifitas penambangan minerba untuk memberikan sahamnya kepada pemerintah sebesar 30 % dalam kurun waktu hingga tahun 2019.