"Saya Sapto, Pak Kades. Ini anak saya. Wati." Suara itu tak parau terdengar seperti perkiraannya. Sangat lembut namun tegas. Seperti suara pria gagah yang sedang berusaha mempertahankan sesuatu berharga miliknya.
"Monggo pinarak. Silakan masuk." Kades Yudi mempersilakan tamunya seperti biasa. Yang dipersilakan masuk beriringan mengikuti tuan rumah.
Di kamar mereka, Tri dan Indra saling melirik dan memelankan suara yang tadinya tidak juga keras. Nyaris seperti suasana kuburan di perbatasan desa yang sepi dan mencekam, suara dari luar rumah pun sepertinya memang sengaja dibuat redam. Orang-orang yang berpapasan dengan ayah-anak itu di jalan sebelumnya, beberapa ada yang mengikuti diam-diam. Bertemu orang-orang lainnya mereka saling memberi isyarat tanpa berkata-kata. Itu dia, itu dia orangnya! Napi yang 15 tahun lalu bunuh Pak Kepala Desa!
Sapto dan Wati duduk di kursi sofa yang amat lembut rasanya ketika mereka sengaja raba perlahan. Sapto merasa puas sangat setelah meraba lengan-lengan sofa yang bukan main nyaman terasa dibandingkan dengan lantai penjara yang lima belas tahun ditidurinya.
"Selamat atas bebasnya Pak Sapto. Saya yang seharusnya menyambut di rumah panjenengan. Tapi kayaknya saya keduluan. Sepurone, Pak." Suara Kades Yudi terdengar begitu nyaring hingga ke sudut-sudut ruang kamar Tri dan Indra. Kedua pemuda itu tak perlu repot menempelkan telinga ke daun pintu untuk menguping.
"Maturnuwun, Pak Kades. Saya hanya ingin melaporkan diri. Saya mungkin warga lama, tapi sekarang saya juga warga baru. Sudah seharusnya saya lapor." Ujar Sapto yang tak juga gugup terlihat.
"Terimakasih, Pak. Saya yang warga baru. Baru dua tahun ditugaskan disini. Istri saya masih suka bolak-balik ke Surabaya. Semoga bapak berkenan dengan kepengurusan selama saya disini." Kades Yudi berkata dengan begitu ramah seperti biasa. Tak lupa ia berteriak kepada Yu War yang ada di dalam rumah untuk lekas membuatkan minuman.
Tri lekas memberitahu Asti lewat pesan chat. Yang dikirimi pesan sudah tahu apa kiranya isi chat yang diterima. Gadis itu sedang ikut mengintip bersama Bu Sri melalui sela-sela daun jendela yang ada di samping rumah. Sesekali ia kehilangan konsentrasi karena sibuk menggaruk jari-jarinya yang gatal akibat alergi.
"Anak saya Wati. Dia sudah besar. Tapi dia tidak kenal saya. Saya sudah dipenjara sejak anak ini masih lima tahun. Tidak ada yang bawa dia menengok saya. Ibunya tiada kabar sejak, ngakunya, merantau. Bapak tahu dia kemana?"
Kades Yudi menggeleng. Raut wajahnya tiba-tiba berubah sendu mengikuti nada bicara Sapto yang berganti seperti orang sedang malu-malu. Gadis disampingnya tak kalah malunya. Sedari datang ia hanya bisa menundukkan kepala tanpa ada ingin untuk mendongak barang sesudut dua sudut.
Kades Yudi hanya pernah menjumpai gadis ini satu kali sebelumnya. Saat ia tiba pertama kali di desa ini dua tahun lalu, ia berkeliling desa untuk melihat-lihat dan menyapa warganya. Gadis itu tinggal sendirian di sebuah gubuk. Tetangga kanan-kirinya bilang ia nyaris tak pernah keluar. Ketika bertemu dengannya saat itu pun, ia harus mengetuk pintu gubuk itu sebanyak sepuluh kali lebih, barulah dibukanya oleh si gadis. Saat itu raut wajahnya masih sama. Tak terlihat jelas oleh tunduk malunya yang urung berubah. Malang sungguh gadis ini.