Bom-bom yang meledak kemarin itu bisa dibilang sebuah upaya komunikasi. Ada pesan yang hendak disampaikan. Ada pula pihak komunikan yang diharapkan menangkap isi pesan tersebut. Namun berbeda dengan pola bom-bom Timur Tengah, di negeri ini tidak ada yang kemudian mengaku bertanggung jawab sebagai pengirim pesan. Mereka tidak sejantan itu.
Karena alasan-alasan tertentu, dalam berbagai kasus serupa pihak komunikator tidak bersedia mengungkapkan jati dirinya. Di luar tujuan menebar teror pada kalangan tertentu, apakah mereka sudah cukup puas kalau pesan yang hendak disampaikan ditangkap dan dicoba dipahami. Dipahami oleh siapa? Bukan dipahami oleh masyarakat awam seperti kita. Tapi oleh pihak otoritas, baik itu otoritas dalam negeri maupun otoritas asing. Si pengirim pesan tidak begitu peduli kalau masyarakat mengeluh, mencemooh, menghujat bahkan mengutuk mereka.
Bom yang meledak kemarin tentu saja bukan bentuk komunikasi yang normal atau wajar. Tentu tak perlu dijelaskan di sini apa dan bagaimana itu bentuk komunikasi yang normal. Kalau saja mau dikategorikan, pemboman kemarin adalah sebuah bentuk desperate communication. Apakah di mata mereka komunikasi yang normal sudah tidak ada gunanya? Sudah kehilangan efektivitasnya? Sudah lewat waktunya …..?
Kalau benar begitu, tak terbayangkan nyala api dendam yang membakar hati para pembom itu. Betapa tidak… Nampaknya mereka tak keberatan tercabut nyawanya seketika di tempat, tercabik-cabik seluruh bagian tubuhnya. Mereka siap menjalani hidup sebagai buronan, dicap sebagai orang paling berbahaya yang terpaksa berpindah-pindah tempat hidup tak nyaman bergantung rasa kasihan dan perlindungan komplotan jaringan mereka. Namun apakah mereka siap menanggung resiko nasib keluarga yang besar kemungkinan akan senantiasa dihujat masyarakat?
Sungguh dibutuhkan masyarakat pemaaf yang bersedia menerima para kerabat pelaku yang tak patut tertimpa beban kesalahan anggota keluarga mereka yang tersesat jalan. Sungguh dibutuhkan kebesaran jiwa kita untuk turut mencari tahu apa yang menyebabkan api amarah itu begitu menyala-nyala. Sungguh dibutuhkan pemimpin negeri sejati yang mampu memberantas kemiskinan dan ketidakadilan di negeri ini yang selama ini boleh jadi telah menjadi kayu bakar dendam kesumat tak terperikan itu.
Karena kalau tidak ….. kekerasan akan berbalas kekerasan, amarah akan ditingkahi amarah yang lebih besar, dan seterusnya dan seterusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H