Mohon tunggu...
Yayu Ramdhani
Yayu Ramdhani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Everything is related to everything else, but near things are more related than distant things." (Tobler's first law of geography)

Selanjutnya

Tutup

Money

Predator

26 November 2013   21:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:38 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1385475595301721712

Tanah atau lahan ketika dihidupkan dengan penggunaan tertentu akan menjadi buas dan serakah memakan lahan lainnya. Perangainya seperti predator yang tak kenal ampun dan belas kasih. Mereka benar-benar menjadi mahluk hidup yang mempunyai ciri-ciri seperti makan, tumbuh, dan berkembang biak. Hukum rimba kemudian berlaku, yang kuat akan memakan yang lemah. Yang lemah menjadi produsen makanan untuk yang kuat. Penataan ruang yang diharapkan bisa menjadi pagar pembatas dari karakter hukum rimba, nampaknya tak cukup kokoh alias gampang diterobos. Pada akhirnya, pagar tata ruang hanya mengiringi kemana predator itu bergerak melahap mangsa.

***

Kegiatan-kegiatan di sektor ekonomi, keuangan, dan perindustrian yang lebih dominan dilaksanakan di perkotaan tidak memerlukan lahan yang terlalu luas. Meskipun begitu sarana fisik pendukungnya seperti kebutuhan tanah untuk lokasi kantor, pabrik, dan perumahan para pekerja dengan fasilitas dan akses yang baik jelas perlu tanah yang cukup luas.

Perumahan untuk pekerja tingkat menengah ke bawah tidak mampu berkompetisi dengan tipe lain seperti gedung perkantoran, mall, hotel, apartemen mewah atau perumahan elit. Komplek-komplek perumahan menengah ke bawah kemudian menjauh dari pusat kota. Menjauh ke pinggiran untuk berkompetisi dengan lahan-lahan pertanian dan kampung-kampung di sekitarnya. Dua tipe penggunaan tanah di pinggiran kota bukanlah kompetitor ulung. Mereka dengan mudah menjadi santapan rumah-rumah para pekerja kota. Para pekerja kemudian menjadi penglaju.

Komplek-komplek perumahan yang menjamur di pinggiran kota tumbuh menggeliat memicu berkembangnya sarana perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Di sisi kiri kanan jalan utama yang membelah komplek-komplek perumahan, tempat tinggal berubah wujud menjadi tempat usaha. Dengan kata lain, di tempat strategis rumah tempat tinggal disantap predatornya, disantap tempat-tempat usaha.

Wilayah tempat tinggal yang terus berkembang ternyata tak selalu menguntungkan. Akses ke tempat kerja yang jauh semakin tidak nyaman. Lalu lintas macet. Entah karena terkontaminasi perangai hedonic atau memang karena pelayanan kendaraan umum ke tempat kerja yang masih di bawah standar. Meskipun jalanan macet para penglaju tak punya pilihan. Mereka ramai-ramai mengendarai kendaraan sendiri ke tempat kerja. Setiap jam kedatangan dan waktu pulang kerja berbagai kendaraan tumpah ruah memenuhi jalan.

Berapa kerugian yang timbul karena penglaju telat datang ke tempat kerja? Hmm… entahlah, yang jelas terlihat banyak usaha untuk memperlancar akses dari pinggiran ke pusat kota. Jaringan jalan bebas hambatan bertumbuhan. Tujuan mulianya adalah sebagai salah satu cara untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Fasilitas umum ini butuh lahan, tidak aneh jika jalan bebas hambatan dikategorikan sebagai predator lahan juga.

Jika kemacetan lalu lintas diibaratkan sebagai gulma ilalang, solusi untuk mengatasinya dengan pembangunan jalan bebas hambatan seperti solusi membasmi ilalang dengan memangkas daunnya saja. Teratasi hanya sekejap, sarana jalan bebas hambatan yang terus tumbuh seakan dipersiapkan untuk menyambut kedatangan beribu kendaraan baru. Menyajikan lokasi-lokasi kemacetan yang baru pula. Kondisi yang berputar tersebut jelas memberikan alas yang tepat untuk perkembangbiakan jenis predator ini.

Urbanisasi merupakan gambaran nyata dari tipe penggunaan tanah perkotaan yang memangsa tipe penggunaan tanah perdesaan. Urbanisasi terus berlangsung dengan berbagai tipe dan pola yang sistematis. Lahan-lahan perdesaan disantap mengikuti pola konsentris merambat dari pusat kota. Dirambah sepanjang jalan yang menggurita ke berbagai pelosok. Ada juga dengan cara dicaplok, melompat dari satu titik ke titik lain membentuk kota-kota satelit baru secara instant. Dalam proses urbanisasi, lahan-lahan perdesaan menempati posisi terlemah. Sebagai produsen dalam rantai makanan penggunaan tanah.

[caption id="attachment_280490" align="alignleft" width="300" caption="Sejauh mata memandang, hutan rimba telah disantap perkebunan sawit (foto:koleksi pribadi)"][/caption]

Wilayah perdesaan merupakan tempat dilaksanakannya kegiatan-kegiatan sektor yang berbasis lahan. Juga merupakan tempat berkegiatan mereka yang bermatapencaharian berbasis lahan. Pola umum tipe penggunaan tanah perdesaan membentuk lingkaran konsentris dengan titik pusat perkampungan kemudian berturut turut sawah, ladang, belukar, dan terakhir hutan. Pola ini mencerminkan piramida makanan yang dilihat tegak dari atas. Puncak dari piramida adalah permukiman sedangkan alas terbawah berupa hutan. Hutan menjadi produsen untuk setiap jenis penggunaan tanah yang ada di atasnya, demikian juga belukar, ladang, dan lahan pertanian.

Hutan rimba mempunyai fungsi sebagai sumber mata pencaharian, fungsi sakral terkait kepercayaan setempat, dan berbagai fungsi lain yang manfaatnya langsung dirasakan masyarakat sekitar. Hutan juga memegang peranan penting terkait efek gas rumah kaca, pemanasan global, siklus hidrologi, dan lain-lain yang butuh mengernyitkan dahi untuk memahaminya. Yang terakhir ini adalah kata-kata para ahli di bangku sekolah, boleh percaya boleh tidak.

Hutan dengan segudang fungsinya, dari kacamata ekonomi hanya punya kayu. Hutan rimba dikavling-kavling dengan payung hak pengusahaan hutan melalui ijin usaha pemanfaatan hasil hutan berupa kayu. Setelah sumber kayu bernilai eksport habis, tentu saja nilai ekonominya melemah menjadi sasaran empuk predatornya. Perkebunan meneteskan air liur kemudian melahap sisa-sisa pohon dan segala isi hutan yang tertinggal di atasnya. Di atas tanah maha luas dengan keanekaragaman isi hutan pada akhirnya hanya tegak satu macam pohon saja. Sejauh mata memandang hutan rimba berubah wujud jadi hamparan perkebunan kelapa sawit atau akasia.

Memang tidak semua kavling pengusahaan hutan lantas berubah menjadi perkebunan setelah masa produksi menurun. Ada juga pengusaha hutan yang ngotot dengan usaha penghutanan kembali di bekas-bekas areal kerjanya. Uang dan sabar menunggu puluhan tahun menjadi modal utama. Betulkah hanya dua hal ini? Ternyata tidak. Predator yang dihidupkan oleh masyarakat terus mengancam dan menggerogoti. Lahan pertanian dan perkebunan kecil banyak bertumbuhan melahap kawasan hutan.

Cobalah tanyakan kepada mereka, kenapa merambah dan menjarah hutan? Jawaban yang didapat tidak jauh dari kalimat ini: “Ini hutan kami, dulu mereka menebang, kami diam. Kini giliran kami menebang, kenapa tidak ada yang diam?”

Hutan terus dirambah, diklaim sluas-luasnya. Lahan kritis, lahan marginal, lahan tidur, dan berbagai istilah untuk tanah tidak produktif timbul dimana-mana. Lalu ada nasihat sesat: “Kavling-kavling saja kawasan hutan itu, pemerintah kan punya acara yang judulnya pelepasan kawasan hutan… setelah itu, jual saja....”. Ah, predator lahan berkeliaran dalam berbagai wujud dan cara.

Tata ruang seyogyanya bisa menjadi pagar pembatas predator lahan yang ganas membabi buta. Melindungi nilai tanah yang lemah secara ekonomi tetapi mempunyai fungsi strategis seperti fungsi lingkungan, sosial dan budaya. Secara teori memang salah satu manfaat dari tata ruang adalah demikian. Perubahan penggunaan tanah diharapkan terkendali mengikuti penataan yang telah diamanatkan Undang-undang. Dalam prakteknya, pagar tak begitu kokoh sehingga terjadi kompromi melalui revisi tata ruang. Kompromi ini nampak jelas membalikkan harapan. Bukannya perubahan penggunaan tanah yang mengikuti tata ruang, malah tata ruang yang mengikuti perubahan penggunaan tanah.

Revisi tata ruang yang diamanatkan Undang-undang telah berbelok arah. Para predator leluasa menyantap korbannya sesuka hati. Oleh karena itu marilah beternak predator. Pandai-pandailah membedakan apakah ternak kita itu predator atau mangsa. Sederhananya, nilai ekonomi atau nilai keuntungan yang bisa didapatkan dari suatu tipe penggunaan tanah menjadi parameter apakah itu berstatus sebagai predator atau prey (mangsa). Hicks… ;-((

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun