Mohon tunggu...
Uwes Anis Chaeruman
Uwes Anis Chaeruman Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati Teknologi Pendidikan

Pemerhati pendidikan, dosen tidak tetap UNJ, Kasubdit Pembelajaran (Ditjen Belmawa, Kemendikbud), Advisory Board Member of ASEAN Cyber University Porject, Anggota Dewan Penasehat APSTPI, Anggota IPTPI, Anggota AECT.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Urun Ide Mendudukan Fungsi Ujian Nasional

26 Desember 2019   16:43 Diperbarui: 31 Desember 2019   05:10 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini marak isu terkait dengan penghapusan ujian nsional yang disampaikan oleh Mas Mendikbud.

Penulis mengutip pernyataan Mas Mendikbud dari DetikNews, 11 Des 2019, bahwa UN akan berkahir tahun 2020 program pengganti UN akan berlaku mulai 2021. Artinya, akan ada skema baru terkait dengan UN tersebut. 

Dalam kesempatan ini, penulis ingin berbagi telaah tentang hal tersebut.

Dulu, penulis pernah mencermati hal ini, khususnya tema tentang, apa yang salah dengan UN? 

Menurut hemat penulis, kekeliruan pertama yang sangat mendasar adalah UN dijadikan sebagai faktor penentu kelulusan. Sehingga, arti seorang peserta didik, seolah-olah ditentukan oleh "nilai UN". 

Sejak lahir, tahun 2004, telah terjadi banyak perdebatan. Bahkan, pernah MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah terhadap keputusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terkait UN ini. 

Ketika UN menjadi faktor penentu kelulusan, maka fungsi evaluasi terabaikan. Pakar evaluasi, Stuflebeam menyatakan bahwa evaluation is not to proof, but to improve.

Secara sederhana, UN itu bukan untuk memvonis peserta didik, tapi instrumen untuk memperoleh informasi/feedback untuk meningkatkan proses pendidikan. 

Padahal, permasalahan ini telah terjadi di tahun 1960an. Hilda Taba (1962), penulis buku "Curriculum Development: Theory and Practice" menyatakan bahwa ada perbedaan antara "evaluation dan marking".

Ia menjelaskan bahwa menganggap evaluasi sebagai upaya memberi nilai (marking) adalah pemahaman paling sempit tentang makna evaluasi yang sebenarnya. Jadi, fungsi UN bukan bukan hanya sekedar "marking" tapi fungsi evaluasi. 

Dengan demikian, UN sedianya bukan hanya sekedar upaya memberikan tes (ujian) dan nilai (marking). Lebih jauh, UN berfungsi memberikan klarifikasi proses belajar mana yang berhasil dan bagian mana yang tidak berhasil.

Informasi ini digunakan untuk melakukan perbaikan terhadap kurikulum (bukan memvonis lulus tidak lulus), beserta seluruh komponen sistem pendidikan (tenaga pendidik, tenaga kependidikan, sarana prasaranaa, sumber belajar, dan lain-lain). 

Sama halnya dengan peringkat PISA dan TIMs. Ketika peringkat tersebut turun, maka pertanyaanya adalah, "apa yang keliru dengan sistem pendidikan kita?" Bukan, pertanyaan parsial, "Apa yang salah dengan siswa kita atau apa yang salah dengan guru kita?"

Jadi, UN sejatinya dijadikan sebagai salah satu instrumen monitoring dan umpan balik (feedback). Informasi yang diperoleh dijadikan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional itu sendiri, baik dari sisi kurikulukm secara keseluruhan, kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan dan lain-lain.

Kekeliruan kedua, menurut hemat penulis, UN sebagai penentu kelulusan bertentangan dengan hakekat penyelenggaraan pendidikan nasional.

Tujuan penyelenggaraan pendidikan adalah mengembangkan segala potensi peserta didik, bukan hanya kemampuan menhafal dan menjawab soal. Sebagai konsekuensi, apa yang terjadi di lapangan? 

Sangat mengkhawatirkan, sekolah menjadi "pusat bimbingan belajar". Guru lebih menekankan pada "drill and practice", orangtua cenderung berupaya mengirim anaknya ikut "bimbingan tes"., atau juga penerbit yang menerbitkan buku-buku yang lebih menekankan pada cara praktis menyelesaikan soal ujian, dan bahkan beberapa oknum mencara berbagai cara agar semua peserta didik lulus ujian nasional, walaupun harus mengajarkan bahwa "cheating" adalah sah.

Ibarat pepatah, "Kemarau satu tahun dihapus hujan satu hari".

Selanjutnya, berdampak pada proses pembelajaran di kelas. Dengan UN sebagai patokan, maka pembelajaran di kelas cenderung lebih bersifat "expositiry".

Artinya, siswa sebagai penerima informasi dan guru sebagai pemberi informasi. Ini yang dinamakan sebagai proses pembelajaran tingkat rendah.

Dengan demikian, UN memberikan dampak terhadap terjadinya pengabaian prinsip pembelajaran yang seharusnya terjadi.

Padahal, jika kita mengacu pada prinsip pendidikan menurut UNESCO, seharusnya sekolah adalah wahana untuk learning to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together. 

Lantas, apakah UN harus di hapuskan?

Jika sebagai satu satunya faktor penentu kelulusan, seperti sekarang ini, maka UN sebaiknya dihapuskan. Tapi, jika didukan pada fungsinya sebagai instrumen evaluasi yang sebenarnya, maka harus ada format baru UN.

Seperti apa format baru tersebut?

Penulis menawarkan rekomendasi menurut Livingston (2006) dan kawan-kawan. 

Pertama, UN format baru harus memiliki fungsi diagnostik dan formatif, yang memberikan umpan balik untuk memperbaiki sistem pendidikan secara sistemik.

Kedua, UN format baru harus menjamin fungsi keputusan pembelajaran (instructional decision). Artinya hasil UN format baru dijadikan sebagai dasar dalam merancang, mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran yang tepat.

Ketiga, bisa saja, UN format baru menjadi fungsi seleksi dan penempatan. Artinya, hasil ujian dapat menjadi dasar menentukan peserta didik x cocok belajar dalam bidang y, misalnya.

Keempat, UN format baru memiliki fungsi bimbingan dan konseling. Terakhir, UN format baru harus menjadi fungsi pengambilan kebijakan pendidikan nasional secara holistik. 

Demikian, mohon koreksi dan kritik, sekiranya terapat banyak kelemahan di sana-sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun